Semakin lama menjalani kehidupan, harusnya seseorang makin memahami makna kehidupan, makna kehidupan dalam hidup yang sementara ini. Namun, kenyataannya tidak jarang juga ditemukan justru semakin lama menjalani kehidupan, kita hanya semakin menemukan banyak hal yang bisa ditertawakan dalam kehidupan.
Ada sebuah ajaran hidup yang disampaikan oleh filsuf Tiongkok kuno, bernama Wen Tian Xiang, bahwa "Hidup manusia tidak bisa menghindar dari kematian, maka selama hidup tinggalkan ketulusan hati, sinari dan harumkan riwayat hidup."
Pada zaman dahulu di Tiongkok, hiduplah seseorang yang bernama Cai Shun. Ibunda Cai Shun sangat suka makan buah murbai. Suatu hari Cai Shun memetik dua keranjang murbai untuk diberikan kepada ibunya. Dalam perjalanan pulang ke rumah, ia bertemu dengan perampok.
Sikap Cai Shun yang tulus dan lebih mengutamakan keinginan ibunya daripada dirinya sendiri membuat perampok itu tersentuh, perampok itu pun duduk dan menangis mendengar cerita Cai Shun karena ia teringat akan ibunya sendiri.
Lalu mengapa kita masih menemukan banyak hal yang bisa ditertawakan dalam kehidupan?
Titik tolak berangkat menuju jawaban itu salah satunya berasal dari kenyataan yang ditemukan sebagai bukti dalam ungkapan bahwa "Menjadi tua itu pasti, tapi menjadi dewasa itu adalah pilihan."
Kita mendapati sebuah kelucuan yang lebih tepat untuk ditangisi dari pada ditertawakan, ketika seharusnya orang yang diberi kepercayaan dan diharapkan akan menjadi solusi atas sebuah persoalan justru ikut menambah ruwet persoalan. Atau ketika ada orang yang digadang-gadang sebagai pelayan justru merepotkan minta ampun dengan berbagai tetek bengek permintaan untuk dilayani.
Lingkungan pun justru terkadang ikut menghakimi bila seseorang bersikap dan bertindak di luar pakem, sekalipun hasil akhir sikap dan tindak itu seringkali malah nyata lebih baik dari pada yang sebelumnya. Mengapa seperti itu? Karena sesuatu yang sudah menjadi pakem sudah dianggap menjadi kebenaran, sekalipun itu salah.
"Dulu juga begitu, biasanya pun seperti itu." Begitulah komentar yang sering muncul menghardik orang yang bersikap dan bertindak di luar pakem.
Wen Tian Xiang melanjutkan, bahwa sifat awal setiap manusia adalah baik, tetapi karena pengaruh lingkungan, manusia berubah menjadi jahat. Setiap manusia punya sisi baik dan sisi buruk dalam dirinya.
Maka apabila kita masih memiliki kesempatan dalam hidup, itu sebenarnya hanya karena masih Ada yang bermurah hati dan sabar terhadap kelucuan kita yang menyedihkan. Maka rasanya, menjadi sungguh sangat lucu bila masih ada orang yang bermegah dalam kekonyolannya.
Ada baiknya mengutip renungan Neti, si gadis nakal nan binal, yang lulusan antropologi dan berkeinginan mengabdikan diri menjadi sosiawati, sekalipun untuk itu ia mungkin akan menjadi perawan tua seumur hidupnya, dalam novel "Burung-Burung Rantau" karya Romo Y.B. Mangunwijaya, ketika suatu hari ia mengamati pesawat-pesawat udara yang take off dan landing saat mengantar kakaknya Bowo dan Agatha, orang Yunani, calon kakak iparnya, ke bandara Cengkareng. Bowo dan Agatha berencana berlibur ke Banda.
Terlintas di benak Neti bahwa landasan pacu dan pesawat udara bisa dijadikan simbolisasi struktur sosial di masyarakat. Pesawat jet yang dengan gagah mengudara sesaat setelah melaju kencang di atas landasan adalah gambaran orang-orang sukses, berada, kaya, terpandang, terpelajar, berkedudukan tinggi dan terhormat di masyarakat.Â
Sementara itu, landasan pacu adalah golongan orang hina dina yang keberadaannya mungkin tidak pernah dianggap atau tidak disadari di tengah-tengah masyarakat, seperti orang-orang kecil di kampung kumuh yang dilayani oleh Neti. Padahal landasan pacu itu terbuat dari beton dengan rangka konstruksi baja serta pondasi cakar ayam dari baja tebal yang ditanam dalam-dalam.
Pesawat udara mungkin bisa dengan pongah memamerkan sayap-sayap kokohnya dan badan besarnya yang didorong oleh semburan tenaga jet yang luar biasa bertenaga. Namun, bila pesawat tidak mengambil ancang-ancang di atas landasan pacu yang rata dan stabil dengan pondasinya yang kokoh, maka tidak mungkin itu bisa mengudara barang setinggi beberapa puluh meter saja.
Adakah itu juga gambaran di masyarakat bahwa di balik gilang gemilangnya seseorang, justru ada orang-orang yang teraniaya, yang ikhlas dan mengalah dalam keteraniayaannya demi seseorang lainnya menjadi tampak gagah dan gemilang?Â
Lalu, lucunya lagi, bukan saja orang teraniaya itu tidak dianggap keberadaannya, malah ia ditertawakan dan dicurigai di saat sebenarnya si kecil teraniaya sedang mempersiapkan hal-hal besar bagi kegemilangan si pongah nan penuh curiga. Hanya hati kecil dan suaranya yang paling jernih yang bisa menjawabnya.
Terang sudah terbit bagi orang benar, dan sukacita bagi orang-orang yang tulus hati (Masmur 97:11)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H