Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Mengapa Suka Sekali Minta Bantuan pada Orang yang Lebih Sibuk?

1 Desember 2019   22:24 Diperbarui: 3 Desember 2019   03:53 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah ibadah, seorang pendeta yang menyampaikan khotbah dari atas mimbar melontarkan sebuah pertanyaan sebagai pengantar renungan. "Kepada siapakah biasanya kita meminta pertolongan dalam hidup ini?" tanyanya.

Karena pertanyaan itu dilontarkan dari atas mimbar dan sepertinya tidak hendak menunggu jawaban dari jemaat, maka akhirnya sang pendetalah yang menjawab sendiri pertanyaannya.

Namun, di barisan kursi jemaat, di antara sesama kaum bapa yang hadir pada ibadah terdengar gumaman di antara mereka sebagai respons atas pertanyaan itu.

Sebagiannya sudah terangkum dalam 4 kategori manusia yang ada dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana dijelaskan oleh sang pendeta. Katanya, bila dipilah sekurang-kurangnya ada 4 golongan manusia.

Pertama, "orang yang tahu apa yang dia tahu", itu adalah golongan orang yang menyadari bahwa dia pintar.  Kedua, "orang yang tahu apa yang dia tidak tahu", itu adalah golongan orang yang mau belajar.

Ketiga, "orang yang tidak tahu apa yang dia tahu", itu adalah golongan orang yang tidak sadar atau tidak yakin pada potensi dirinya, dan keempat, "orang yang tidak tahu apa yang dia tidak tahu", menurutnya itu adalah orang yang bodoh.

Kita tidak akan membahas terkait golongan orang yang bodoh, karena menurut saya orang yang bodoh sama tidak jelasnya dengan apa yang dimaksud dengan orang yang pintar. Saya justru lebih tertarik dengan apa yang disebut sebagai orang yang sadar dan tidak sadar.

Barangkali ini berkaitan juga dengan pandangan yang menganggap bahwa kesuksesan seseorang ditentukan oleh 1% nasib atau keberuntungan dan 99%-nya adalah kerja keras.

Atau, pandangan yang menyatakan bahwa kepintaran itu hanya 1% dari kesuksesan, selebihnya ditentukan oleh 99% kerja keras.

Di atas semua itu memang patut kita katakan bahwa itu adalah kehendak Tuhan. Namun, kita akan menghindari pembahasan seperti itu, karena ternyata bila membahas tentang Tuhan justru akan membawa kita kepada perbedaan pendapat yang bisa menyebabkan selisih paham.

Bila dalil tentang rasio persentase antara nasib, keberuntungan, dan kepintaran dengan kerja keras serta hubungannya dengan kesuksesan itu hendak dibuktikan, maka kita perlu meninjau banyak kenyataan yang ada di sekitar kita.

Dengan catatan, kita sendiri akan membatasi perdebatan tentang kesuksesan dalam ukuran yang dipakai secara umum.

Karena sesungguhnya, kesuksesan sendiri memiliki ukuran yang berbeda bagi setiap orang. Bagi golongan lainnya, ia mungkin berada di luar keempat kategori yang sudah disebutkan di atas. 

Sebagai kategori kelima, orang yang seperti ini mungkin bisa dikatakan sebagai the other, orang yang lain. Katakanlah, misalnya sebagai contoh, termasuk di dalamnya adalah orang yang dengan kesadarannya sendiri memilih untuk terlihat sebagai orang bodoh.

Karena tampak menjadi korban dengan pilihannya, padahal dia sebenarnya berada pada posisi yang bisa saja mengambil keuntungan untuk menjadi pemenang. Bagian dia yang memilih untuk berkorban, apa yang menjadi kemenangan dan kepuasan adalah sesuatu yang melampaui akal.

Hal-hal yang melampaui akal, lagi-lagi akan kita hindarkan, karena itu akan berhubungan juga dengan hal-hal yang rohanis. Dan hal-hal yang rohanis hanya akan membawa kita kembali kepada perbedaan pendapat yang menyebabkan selisih paham.

Kembali ke hal sadar dan tidak sadar, maka dalam membedakan atau mencari kesamaan antara orang pintar dan bodoh, pada faktanya kita memang hanya akan mendapati antara orang yang bekerja keras dan orang yang malas. 

Buktinya, ada orang, entah di pergaulan, di kegiatan masyarakat, di tempat kerja atau situasi-situasi lainnya, yang kehadirannya sering kali dinantikan dan tampak sebagai orang yang sangat dibutuhkan, yang barangkali tidak ada hubungannya dengan tingkat pendidikan atau kecerdasan.

Bila kita teliti lebih dalam, pada diri orang-orang yang seperti itu melekat sebuah nilai yang sebenarnya bukanlah sesuatu yang bersifat super atau luar biasa, tetapi nyaris susah ditemukan pada sembarang orang. Itu adalah komitmen.

"Karena komitmen dan pengorbanan justru dimiliki oleh orang yang sibuk, maka besar kemungkinan orang yang sibuk jugalah yang paling dapat dipercaya untuk memberikan pertolongan."

Bila menghubungkan kesadaran, akal, kepintaran, nasib, keberuntungan dan kesuksesan, memang akan ditemukan juga nilai-nilai pengorbanan. Tampaknya, orang yang sadar dan berkomitmen adalah juga yang mampu berkorban.

Tentu tidak mungkin hanya menemukan hal-hal yang positif pada diri seseorang, sekalipun dia adalah seorang yang penuh pengorbanan dan komitmen.

Justru di sanalah pentingnya kesadaran. Kesadaran untuk membebaskan diri dari tekanan pengaruh buruk alam bawah sadar yang berasal dari trauma ataupun histeria masa lalu.

Sederhananya, setiap orang perlu dengan sadar menerima dirinya sendiri apa adanya, bahwa tidak mungkin menunggu untuk menjadi sempurna demi hadirnya sebuah komitmen untuk bisa bekerja keras.

Bila menjadi miskin dan bodoh adalah suatu kondisi yang tidak diinginkan, maka justru orang yang bekerja keras adalah orang yang sadar bahwa dia bukan orang kaya dan bukan pula orang pintar, karena itu perlu bekerja keras.

Orang dengan kesadaran seperti itu bila bukan orang pintar, karena tahu apa yang dia tahu, setidaknya adalah golongan orang yang mau belajar, karena tahu apa yang dia tidak tahu.

Ini adalah golongan orang yang menerima dengan kesadaran bahwa kekurangan, kelemahan dan masa lalu yang kelam adalah beberapa hal yang tidak lepas dari kemanusiawian.

Adakah manusia lain yang tidak? Bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa penerimaan adalah awal dari sebuah pemulihan.

Orang-orang yang bekerja keras adalah orang-orang yang menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang berguna, pertama-tama terutama bagi dirinya, dan juga bagi orang lain. 

Yang sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna sebenarnya tidak cocok dikatakan sibuk, barangkali lebih tepat dibilang kurang kerjaan.

Dengan demikian, bila sibuk dimaknai sebagai sebuah kata sifat yang menjelaskan suatu kondisi di mana seseorang dengan sadar bekerja keras melakukan berbagai kegiatan atau pekerjaan yang berguna, baik bagi dirinya maupun orang lain, maka menjadi jelas alasannya mengapa kita justru sering meminta bantuan kepada orang yang sibuk. 

Karena komitmen dan pengorbanan justru dimiliki oleh orang yang sibuk, maka besar kemungkinan orang yang sibuk jugalah yang paling dapat dipercaya untuk memberikan pertolongan.

Sebenarnya orang sibuklah yang mampu mengelola waktu yang dimilikinya dengan baik. Bagi yang tidak punya kesibukan barangkali waktu yang terbatas pun akan terbuang sia-sia. 

Sesuatu yang terbuang sia-sia biasanya karena tersedia dalam kondisi berlebih. Maka tidak heran juga, bagi yang sibuk waktu akan terasa berjalan cepat, sedangkan bagi yang santai waktu terasa berjalan sangat lambat.

Tidak tepat mengatakan sesuatu yang dibuang cuma-cuma karena tersedia berlebihan sebagai sebuah pengorbanan. Seharusnya tidak ada pengorbanan yang tidak berguna. Bila pun ada barangkali itu lebih tepat dikatakan korban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun