Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pak Menteri, di Pundakmu Kami Titipkan Kegelisahan Bapak-Ibu Guru dan Masa Depan Pendidikan Anak-anak Kami

25 November 2019   00:37 Diperbarui: 25 November 2019   20:17 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu dan Teman-temannya Guru SD Negeri 040459 Berastagi (dokpri)

Terpujilah wahai Engkau Ibu Bapak Guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
S'bagai prasasti t'rima kasihku
'Tuk pengabdianmu

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa

Dua bait lirik lagu di atas adalah lirik dari lagu wajib nasional berjudul "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" yang biasa dinyanyikan setiap kali peringatan hari guru.

Sebagai anak yang lahir dan dibesarkan di lingkungan anggota keluarga yang beberapa di antaranya berprofesi sebagai guru, saya melihat kenyataan yang mungkin juga dialami oleh guru kebanyakan, sejak tahun 80-an hingga saat ini. Kedua almarhum kakek saya, dari ayah dan ibu saya, adalah guru yang mengajar di sekolah dasar di kampungnya masing-masing.

Begitupun dengan ibu dan kedua bibi saya yang bersaudara. Ibu mengajar di sekolah dasar, bibi keduanya mengajar di sekolah menengah kejuruan. Saya pun pernah belajar di sekolah di mana ibu pernah mengajar. Juga ayah saya, ia pernah mengajar di sekolah menengah pertama swasta di kampung yang tidak jauh dari tempat tinggal kami pada tahun 80-an, tapi sekarang sekolah itu sudah tutup.

Membayangkan guru saat ini sudah semakin sejahtera karena sudah mendapatkan tunjangan profesi guru memang adalah sebuah kenyataan. Tunjangan yang diterima oleh para guru PNS sebesar 1 kali gaji pokok dan para guru non-PNS menerima tunjangan setara dengan gaji pokok PNS itu, diberikan kepada para guru yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru dalam Jabatan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 36 Tahun 2007 tentang Penyaluran Tunjangan Profesi Bagi Guru.

Ibu bersama dengan teman-temannya guru SD (dokpri)
Ibu bersama dengan teman-temannya guru SD (dokpri)
Namun, memandang kehidupan para guru harus dilihat secara utuh, termasuk dalam masa susahnya jauh sebelum mereka menerima tunjangan profesi itu. Guru dan PNS lainnya pada masanya disebut juga para penerima "beras catu."

Itu adalah semacam beras pembagian yang dijatah setiap bulannya pada masa lalu. Tak jarang dalam beras itu bercampur sisa sekam dan ditanak untuk dimakan oleh seluruh anggota kelurga bapak dan ibu guru.

Bahkan, saya mengingat kalau almarhum kakek saya yang guru SD itu, terpaksa meminta pensiun dini dari guru dan kembali hanya menekuni cocok tanam di ladang dan sawahnya, karena gaji sebagai guru SD tidak cukup untuk menyediakan biaya hidup sehari-hari dan terutama biaya kuliah seorang anaknya, paman saya, di fakultas hukum sebuah perguruan tinggi swasta di Yogya. Itu adalah masa-masa pada tahun 1990 hingga 1995. Itulah yang pernah kami alami.

Ibu dan anak-anak muridnya di kegiatan lapangan terbuka (dokpri)
Ibu dan anak-anak muridnya di kegiatan lapangan terbuka (dokpri)
Lagipula untuk mencairkan tunjangan profesi itu, bukanlah sebuah perkara yang mudah. Para guru harus mendapatkan jam mengajar yang cukup di sekolahnya dan menyiapkan seabrek berkas yang cukup merepotkan.

Ditambah lagi, dengan beragam kebijakan pendidikan yang datang dan pergi silih berganti, tak jarang para guru merasa cukup kewalahan. Seperti misalnya menyiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dikembangkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan pembelajaran peserta didik dalam upaya mencapai kompetensi dasar.

Secara teori memang tujuannya mungkin bagus, tapi jujur saja kata beberapa guru yang pernah saya tanyai, penyusunan RPP itu justru menyebabkan waktu mereka untuk mengajar murid-murid kesannya malah menjadi terabaikan. Ada kesenjangan antara teori dan kenyataan.

Maka saat Nadiem Anwar Makarim resmi dilantik oleh Presiden Jokowi menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024 pada 23 Oktober 2019 yang lalu, berbagai keluhan terkait masalah-masalah dunia pendidikan, termasuk hal-hal yang menjadi keluhan para guru, di pundaknyalah kini semua itu dibebankan. Dengan harapan, tentu saja untuk dapat dibenahi menjadi lebih baik lagi ke depannya.

Dua hari menjelang hari guru yang diperingati setiap tanggal 25 November 2019, pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk dibacakan pada upacara bendera peringatan Hari Guru Nasional Tahun 2019 beredar luas di media sosial. Bagi saya pribadi, itu adalah sebuah teks pidato yang tidak sebagaimana biasanya teks pidato para pejabat yang sering kami dengarkan saat dibacakan di berbagai upacara di kampung ini.

Itu adalah sebuah teks pidato yang hanya terdiri dari dua halaman dan 16 alinea. Setiap alinea rata-rata hanya terdiri atas dua sampai tiga kalimat saja. Sudah termasuk bila salam dan kalimat sela antar alinea juga dikategorikan sebagai sebuah alinea. Juga sudah termasuk dua tagar yang tercantum di dalam naskah, yakni #merdekabelajar dan #gurupenggerak.

Seolah itu mencirikan bahwa teks pidato kali ini datang dari seorang menteri yang mewakili cara berbicara dan jenis bunyi yang akrab di telinga para pendengar masa kini. Apalagi ia merupakan pendiri Gojek, yang ia dirikan pada tahun 2010 silam. Kuat dugaan saya bahwa pidato itu dia susun sendiri, dengan gayanya sendiri.

Penekanan beliau pada teks pidato bahwa perubahan dunia pendidikan tidak mutlak berawal dari atas, mungkin maksudnya dari dirinya sendiri, melainkan berawal dan berakhir dari guru, adalah sebuah harapan bahwa guru dituntut untuk semakin berinisiatif. Penekanan ini juga dibarengi oleh kejujuran bahwa ia tidak akan membuat janji-janji kosong.

Mungkin maksudnya ia ingin menyampaikan bahwa adalah naif bila ia dianggap tidak menyadari besarnya tanggung jawab yang diemban seorang menteri pendidikan untuk membenahi masalah-masalah pendidikan sejalan dengan besarnya kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dan melekat pada jabatannya. Tapi menghadirkan sebuah perubahan adalah hal yang sulit dan akan penuh ketidaknyamanan, setidaknya pada awalnya, sebelum nilai-nilai baru terbentuk dan diterima secara luas.

Ia menawarkan lima langkah praktis dan konkret untuk memulai langkah-langkah perubahan itu, pesannya kepada para guru:

  • Ajaklah kelas untuk berdiskusi, bukan hanya mendengar
  • Berikan kesempatan kepada murid untuk mengajar di kelas
  • Cetuskan proyek bakti sosial yang melibatkan seluruh kelas
  • Temukan suatu bakat dalam diri murid yang kurang percaya diri
  • Tawarkan bantuan kepada guru yang sedang mengalami kesulitan

Hal "gila" lainnya yang juga sudah beredar luas di media sosial terkait rencana kebijakannya yang ingin memangkas jumlah tahun pendidikan SD, SMP dan SMA demi percepatan peningkatan kualitas SDM bangsa ini mengikuti reformasi industri di era 4.0 ini. Tahun pendidikan SD dari 6 tahun menjadi 4 tahun, sementara itu SMP dan SMA menjadi 2 tahun. Menyesuaikan umur itu, ketika melanjutkan kuliah sampai S-3, bisa selesai pada usia 18 tahun. Ia menyadari bahwa rencana ini mungkin akan menjadi pro dan kontra.

Di media sosial sendiri, hal ini mengundang respons yang beragam. Ada yang berkomentar singkat dengan mengatakan mantap, karena akan membantu para orang tua juga mengurangi biaya untuk pendidikan anak-anaknya. Tapi ada juga yang bahkan tidak tahu tanggal berapakah hari guru itu, meskipun persoalan pendidikan tidak hanya selesai dengan memperingati hari guru.

Bila kami sering agak kewalahan mendengarkan sebuah pidato yang dibacakan pada saat upacara, apalagi bila upacara terlambat dilaksanakan dan terkadang tetap berjalan sekalipun hari hujan, maka jenis pidato seperti yang dibuat oleh menteri baru ini, adalah jenis pidato yang sangat inspiratif, berbeda dengan pidato para pejabat selama ini. Semoga yang mendengarnya juga menjadi terinspirasi.

Meksipun pidato saja tidak akan menyelesaikan masalah, tapi dengan mendengarnya para guru barangkali akan merasakan bahwa kegelisahannya telah disuarakan oleh Menteri Pendidikan sendiri.

Semoga ke depan, dengan kebijakan yang lebih baik lagi, para guru dapat lebih fokus mendidik murid-murid, anak-anak kita, lebih dari sekadar dibebani kewajiban- kewajiban administratif.

Ia memang tidak menyebutkannya sebagai revolusi pendidikan, sejalan dengan kalimat-kalimat pidatonya yang singkat-singkat, ia juga tidak ingin memberikan janji-janji kosong.

Sebagai sebuah pidato yang ringkas dan padat makna, semoga itu juga menjadi sebuah kebijakan yang mampu menembus ruwetnya masalah-masalah birokrasi pendidikan. Dengan kesederhanaan dan tatanan bahasa yang tidak banyak beretorika, pesan-pesan dan harapannya cukup dapat dimengerti.

Semoga begitu jugalah nantinya kebijakan pendidikan akan menghadirkan sebuah tatanan pendidikan yang sederhana tapi bermakna, menghasilkan anak-anak didik yang berjiwa sederhana, tapi dengan kecerdasan cemerlang dan tidak tertekan.

Selamat hari guru, wahai Bapak dan Ibu guru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun