Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Menikmati Hidup dalam Makanan dan Pikiran

14 November 2019   07:57 Diperbarui: 14 November 2019   17:20 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pinimg.com

Apa yang penting terkait memakan makanan terbaik dan memikirkan hal terbaik dalam kehidupan? Jawaban atas hal ini masih berkaitan dengan alasan di balik munculnya dalil yang sudah umum dikenal dalam kalimat "Kita adalah apa yang kita makan" dan "Kita adalah apa yang kita pikirkan."

Menghubungkan kehidupan dengan makanan dan pikiran, adalah sebuah "jembatan keledai" yang membawa kita kepada spektrum jawaban dengan kemungkinan yang nyaris tidak terbatas. Batasannya mungkin sejauh batas koleksi kosa kata. Sama dengan varian makanan yang kini semakin beragam dan dulunya barangkali bahkan tidak terpikirkan, atau sebanyak kemungkinan munculnya jalan pikiran yang tidak terbatas.

Satu hal yang jelas, bahwa ada hubungan antara makanan dan pikiran dengan masalah kesehatan. Bila dulu manusia memahami bahwa banyak penyakit bisa muncul akibat kekurangan makanan, saat ini sudah umum pula dipahami bahwa banyak penyakit justru muncul akibat kebanyakan makanan. Begitupun, ada pula penyakit pada manusia yang muncul karena malas berpikir, tapi justru kini banyak pula penyakit yang muncul pada manusia yang justru kebanyakan berpikir. Kita hanya akan mengambil sebagian hal saja terkait dengan makanan dan pikiran itu.

Ada yang mengatakan, "Makanlah sebelum lapar dan berhentilah sebelum kenyang." Dalam kalimat ini terkandung alasan logis mengapa hal ini bisa dibenarkan. Orang yang makan dengan menunggu saat lapar tiba, pastilah tidak akan berhenti makan sebelum ia kenyang.

Bila menjadi kenyang sama artinya dengan makan banyak, tentu saja banyak pun berbeda sesuai takaran masing-masing, maka kekenyangan makan, dalam artian melebihi kebiasaan, rentan ditimpa berbagai jenis penyakit. Manusia yang kelebihan makan ditemukan pada orang yang menderita obesitas, diabetes melitus, kolesterol yang melampaui ambang normal, hipertensi, dan lain sebagainya. Sementara itu, kalau hidup tanpa makanan atau kekurangan makanan jelas sekali sudah lama dipahami dan terjadi di kenyataan dalam sosok kurang gizi, yang sudah ada sejak dahulu kala.

Begitupun dengan pikiran. Ada yang mengatakan bahwa sebagian besar penyakit justru berawal dari pikiran yang tidak sehat. Alasan logis terkait hal ini bisa diuraikan setidaknya dari sudut pandang arah orientasi pikiran seseorang.

Manusia, sebagaimana makhluk yang hidup lainnya, hidup dalam ruang dan waktu. Waktu hidup di sini dan saat ini adalah masa kini. Manusia masa kini yang hidup dalam belenggu pikiran terlalu berorientasi ke masa lalu, rentan dirundung trauma dan histeria, akibat beban masalah atau persoalan masa lalu, seperti dendam misalnya. Dalam istilah rohani, beban masa lalu itu biasa dikenal dengan istilah akar pahit.

Sebaliknya, manusia masa kini yang hidup dalam belenggu pikiran terlalu berorientasi ke masa depan, rentan juga dilanda kecemasan dan kekhawatiran berlebihan. Bekerja 8 jam sehari seolah tidak cukup, kesana kemari selalu diburu oleh waktu, hidup berlalu dalam ketergesa-gesaan.

Menikmati Hidup sebagai sebuah Jalan Tengah

Karena hidup tidak mungkin tidak makan dan tidak berpikir, maka semua orang perlu makan dan berpikir secara seimbang. Mungkin keseimbangan itu cocok juga bila disebut sebagai sebuah jalan tengah. Dengan kata lain, kita perlu menikmati hidup dengan makan dan berpikir secara seimbang.

Setiap orang memiliki beragam cara dalam menikmati hidup, termasuk soal makanan dan pikiran. Beberapa cara menikmati hidup dalam hal ini antara lain:

  • Berpikir positif
    Salah satu ciri orang yang berpikir positif terlihat dalam caranya memandang orang lain. Orang yang berpikir positif, biasanya akan selalu terlebih dahulu melihat sisi baik orang lain, sekalipun pada akhirnya ia juga menemukan beberapa kekurangannya. Orang yang seperti ini adalah jenis yang cocok untuk dijadikan teman. Bisa dibilang bahwa orang ini adalah jenis teman yang mau dan tahu cara mengkoreksi kesalahan. Tentu saja banyak juga jenis teman yang lain.

  • Melakukan hal-hal yang baru
    Melakukan hal yang baru berarti mau berubah untuk selalu menjadi lebih baik. Untuk berubah bukanlah sebuah perkara yang mudah, tapi juga bukan tidak mungkin. Tidak mudah untuk berubah karena manusia tidak mudah melawan rasa takut. Ia juga tidak mudah untuk meninggalkan sesuatu yang sudah mapan dan terasa nyaman. Mencoba sesuatu yang baru bisa dilakukan melalui hal-hal kecil, semisal seorang bapak yang menata tanaman di pekarangan, alih-alih bermain mahyong atau dadu kocok seharian di kedai kopi pada saat akhir pekan. Ibu-ibu pun mungkin menyukai perubahan ini.

  • Tidak menunda melakukan segala hal yang baik
    Kemungkinan penundaan atas sebuah pilihan untuk melakukan hal yang baik adalah sebuah titik berangkat dalam menimbun perasaan takut dan cemas yang berlebihan. Setiap kali memiliih untuk menunda sebuah sikap dan tindakan yang baik, sama artinya dengan mengurangi kesempatan bagi sebuah ide cemerlang bisa terwujud. Banyak hal besar yang terjadi justru berawal dari sebuah keputusan untuk melakukan suatu ide yang bahkan terlihat remeh dan sederhana.

Kesehatan sesungguhnya terlihat tidak mahal, tapi juga tidak mudah. Sebaliknya, mungkin mudah menjadi sakit, tapi harga yang harus dibayar setelahnya sungguh sangat mahal. Meskipun terlihat sepele, persoalan makanan dan pikiran nyatanya cukup menentukan kehidupan seperti apa sesungguhnya yang telah, sedang dan akan kita jalani dalam ruang dan waktu yang tersedia. Bila dibawa lebih jauh ke dalam hal-hal yang spiritual pun, ternyata ada juga konsep Brahman yang memandang bahwa bahkan di dalam makanan pun ada Tuhan.

Makanan dan pikiran sepertinya bukanlah persoalan yang remeh-temeh untuk diperhatikan. Bila kita adalah apa yang kita makan, dan apa yang kita pikirkan, kita sungguh sangat perlu memperhatikan apa yang kita makan dan apa yang kita pikirkan, kalau tidak demikian mungkin tidak seorang pun akan melihat Tuhan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun