Ini adalah sebuah refleksi dan renungan pribadi setelah setahun lamanya ikut menulis di platform blog dan publikasi online yang dikembangkan oleh Kompas Cyber Media sejak 22 Oktober 2008, yang terbuka untuk khalayak ramai, di Kompasiana. Namanya juga terbuka, segala hal bisa diangkat menjadi tulisan atau mengirimkan video di dalamnya. Entah itu adalah konten artikel atau video yang menarik, inspiratif, atau bahkan tidak menarik menurut pembaca dan pemirsa.
Memang ada ditegaskan bahwa, setiap penulis bertanggung jawab atas setiap konten yang ia kirimkan. Itu adalah salah satu hal yang mendasar dalam jurnalisme di mana saja, di samping tentunya, redaksi atau tim moderasi di Kompasiana berwenang untuk melakukan penyesuaian, menyunting, atau menghapus konten yang dinilai melanggar aturan.
Seperti tercerahkan oleh siraman seberkas cahaya yang menyeruak dari langit di antara awan-awan hitam yang berarak, perjumpaan tidak sengaja pada hari itu dengan Kompasiana bagaikan sebuah momen jatuh cinta pada pandangan pertama. Apakah semua hal, termasuk cinta, adalah cerita yang pantas dan penting untuk diumbar kepada orang banyak? Berikut ini ulasannya.
Memang, dalam buku The Rules of Life karangan Richard Templar, penulis menjelaskan bahwa "Kita tidak perlu mengatakan apa pun pada orang lain tentang perjalanan hidup ini, diam saja. Sekalipun kita menemukan cara untuk menjadi lebih positif, lebih bahagia, lebih sukses dalam segala hal yang kita lakukan, karena tidak ada orang yang suka pada orang yang sok pintar." Itulah menurutnya aturan yang pertama: rahasiakan.
Memaknai aturan ini tentu tidak bisa dengan polos dan lugu begitu saja dong, namanya juga jatuh cinta pada pandangan pertama, harus disikapi secara dewasalah. Kalau hanya cinta buta atau cinta monyet, logika kita menjadi lebih tidak berguna, kita menjadi tidak rasional dan tidak objektif. Perasaan melambung dan hanya meluap sebentar, setelah itu menguap, cinta sudah lewat (kata Kahitna).
Tentu saja, aturan untuk "merahasiakan" itu maksudnya bukan secara harafiah, bila merahasiakan dalam arti sebenarnya maksudnya adalah kondisi di mana kita menjadi tertutup dan egois. Memang menjadi orang yang terbuka, apalagi dengan gaya banyak bicara, tampak menjadi serupa dengan orang yang sok pintar.
Tetapi secara moral, keterbukaan juga bisa tampak melalui segala kebaikan yang dijalankan dengan tulus. Nilai moral dari tindakan-tindakan kebaikan yang dijalankan dengan tulus, entah bagaimana selalu saja akan menemukan caranya untuk tersampaikan bahkan menginspirasi orang-orang tanpa ia perlu digembar-gemborkan. Begitu juga halnya dengan keburukan, akan ditemukan sebaik apa pun ia disembunyikan.
Sejalan dengan itu, kesaksian atas sebuah pengalaman yang disampaikan dengan tulus, disertai harapan demi terwujudnya sebuah impian bukanlah sebuah bentuk kesombongan. Bahkan sebenarnya, pengalaman yang tidak pernah disaksikan tidak akan mungkin menjadi panduan untuk diikuti dan menginspirasi.
Hari itu adalah Senin, 29 Oktober 2018. Itu adalah hari dimana saya mendaftar dan mengirimkan tulisan pertama di Kompasiana, yang berjudul "Relevansi Semangat Sumpah Pemuda di Tengah Tantangan Era Post-Truth." Hari itu satu hari setelah peringatan hari Sumpah Pemuda ke-90 pada 28 Oktober 2018. Jadi hari ini, 29 Oktober 2019, adalah ulang tahun pertama saya ikut bergabung menulis di Kompasiana. Setahun sudah saya menjadi Kompasianer. Barangkali ada yang ulang tahunnya sama dengan saya di Kompasiana, saya mengucapkan "Selamat ulang tahun, semoga panjang umur dan senantiasa bahagia."
Tulisan itu saya selesaikan di sela-sela kegiatan menghadiri undangan rapat yang tidak kunjung dimulai, bahkan batal dilangsungkan karena peserta rapat yang tidak memenuhi kuorum. Ada hal dari kejadian itu yang sangat saya ingat dan menjadi "nilai" tersendiri, yang saya patrikan dalam hati hingga saat ini sebagai seorang "penulis" di Kompasiana. Pertama, "Dimanapun dan kapanpun itu, menunggu sesuatu atau seseorang kini bukan lagi pekerjaan yang membosankan bagi saya, karena saya memiliki banyak waktu untuk menuliskan pikiran, perasaan, pengalaman dan keyakinan saya di Kompasiana." Kedua, "Sekalipun itu adalah sebuah rapat, apabila membosankan, saya hanya akan langsung menulis. Bukankah terbuka dan jujur lebih baik, dari pada saya sok merahasiakan kebenaran, ketika saya manggut-manggut tapi sebenarnya mengantuk?"Â
Lalu apa yang bisa saya dapatkan sebagai manfaat dari setahun di Kompasiana? Jadi suka begadang? Ya, dari dulu juga saya tidak mudah tidur saat malam, jadi ketimbang menguap bersama asap rokok, lebih baik saya menulis artikel di Kompasiana. Menambah teman? Ya juga, walaupun teman saya tidak atau belum terlalu banyak di Kompasiana, bagi saya itu juga ada baiknya. Jadi saya bisa lebih intens mengenal teman saya yang sedikit itu.
Ada juga beberapa teman yang intens memotivasi saya setiap kali artikel saya kirimkan. Dia memberi rating dan komentar yang sungguh sangat memotivasi. Bahkan ada juga teman yang memotivasi agar saya mulai berpikir untuk membuat buku saja.
Terkait dengan manfaat yang terakhir ini, pikiran untuk membuat buku, memang ada juga dampaknya dengan seringnya saya mengirimkan tulisan atau artikel di akun medsos. Pernah pada dua bulan yang lalu, saya ditelefon oleh seorang pendeta. Ia meminta agar saya ikut menjadi anggota panitia di seksi humas, publikasi dan dokumentasi dalam sebuah acara yang bertajuk "Malam Penganugerahan Apresiasi Komponis Kitab Ende-Enden Gereja Batak Karo Protestan" yang telah digelar pada tanggal 23 Oktober 2019 yang lalu.
Dalam acara itu, tugas utama saya adalah membuat artikel yang menjelaskan tentang latar belakang, maksud dan tujuan, serta segala macam seluk-beluk acara dimaksud, sebagai publikasi dan sosialisasi kepada jemaat, yang akan dimuat di majalah internal gereja. Lalu yang lebih "besar" lagi, saya diminta menjadi editor untuk publikasi sebuah buku sebagai dokumentasi acara yang berjudul "Bunga Rampai Penganugerahan Apresiasi Komponis Kitab Ende-Enden GBKP."
Buku ini berisi catatan biografi dari 61 orang komponis yang telah menciptakan dan menggubah lagu rohani hingga mencapai 500 judul pada saat ini, yang dipergunakan dalam liturgi ibadah dan perayaan-perayaan di Gereja kami. Buku ini juga berisi tulisan singkat dari setiap komponis, menceritakan kisah inspiratif dan pengalaman pribadi yang melatarbelakangi penulisan seluruh lagu-lagu itu.
Baca juga:
Itu hanyalah sebagian hal yang terjadi, setelah hari ini saya setahun menjadi Kompasianer. Tentu saja tidak salah kalau saya berharap semoga waktu akan mengilhami sisi hati saya yang belum mengembang sepenuhnya sebagai Kompasianer. Semoga akan datang keajaiban, hingga akhirnya Kompasianapun tahu bahwa aku mencintainya lebih dari yang dia tahu. Hehe.
Sengaja, dalam tulisan ini saya sematkan tautan ke beberapa tulisan saya yang lain, untuk menunjukkan apa yang pertama saya tuliskan di Kompasiana, lalu apa yang saya tuliskan sebagai ucapan selamat di hari jadi ke-11 tahun kompasiana, dan selanjutnya tulisan tentang buku pertama di mana saya terlibat di dalamnya sebagai editor setelah dipanggil menjadi panitia karena saya dikenal orang kampung saya sebagai wartawan, sekalipun sudah saya jelaskan bahwa saya hanya menulis di Kompasiana. Dan tentu saja dengan harapan, semoga di hari-hari kedepan semakin banyak hal yang baik terjadi bagi Kompasiana dan saya. Selamat ulang tahun Kompasiana dan Kompasianer, wish you all the best.
#11TahunKompasiana #BeyondBlogging
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H