Pada masa itu, terdengar suara gemuruh dan dentuman yang bercampur dengan teriakan, tangisan, suara klakson mobil yang seperti saling berebut melarikan diri, maupun kendaraan yang memang diniatkan untuk mengevakuasi.Â
Semua orang takut dan berlari menyelamatkan diri. Pada saat yang sama, makhluk lain, yang juga telah menjadi sahabat mereka sejak lama, yaitu kopi, hanya bisa terpagut diam di tempatnya.Â
Mungkin tidak secara emosional, tapi barangkali impuls-impuls biologis atas perubahan spontan ekologis yang sedang terjadi, mungkin memicu respon alamiah dari si kopi.
Dalam reaksi para warga desa, yang adalah tuan dari si kopi, respon perubahan spontan ekologis itu tergambar sebagai ancaman bahaya yang terlihat dalam teriakan kepanikannya. Mereka berlari meninggalkan tanaman kopi di ladang-ladang, yang telah menjadi jawaban persoalan dan sandaran harapan selama ini.Â
Tanaman kopi itu tentu hanya terdiam dalam cengkraman akar-akarnya yang bertahan di antara setiap dentuman, terjangan batu-batu, semburan tanah dan abu vulkanik yang menghantam semua hal yang dilaluinya, seolah turut hendak mencerabut segala akar dari tanah, sekalipun itu adalah akar yang memberikan manusia kehidupan.
Dalam gambaran gaya bahasa personifikasi, barangkali tanaman kopi di ladang-ladang yang ditinggalkan itu tampak hanya sebagai korban yang pasrah.Â
Sementara dari kejauhan, warga desa yang mengungsi, tuan tanah ladang dan tuan si kopi, hanya mampu menatap pilu tanaman kopinya tanpa bisa berbuat apa-apa. Mungkin mereka berharap, semoga saja kopi mereka bertahan melawan terjangan abu vulkanik, ya mereka sangat berharap.
Setiap dentuman letusan pastinya sangat menyakitkan hati mereka. Seakan mereka merasakan derita yang dirasakan si kopi, yang selama ini memberikan mereka jawaban dan harapan.
Apa lagi hendak dikata? Begitulah rasa itu sering kali meluap dalam isak tangis, sembari terus berharap semoga besok masih bisa melihat tanaman kopi mereka.
Ya betul, begitu bangun pagi, saat gunung tampak tenang dari kejauhan di penampungan-penampungan mereka, secara diam-diam mereka menyelinap menerobos portal jarak batas aman atas ancaman bahaya awan panas, hanya untuk sekadar melihat tanaman kopi mereka.Â
Ketika melihat kopi mereka masih bertahan, mereka tak jarang membersihkan abu vulkanik yang melekat di daun dan ranting, serta memetik buah kopi yang telah matang memerah.