Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kebijakan Kompleks dan Elusif di Keramaian Pasar

19 Oktober 2019   10:24 Diperbarui: 20 Oktober 2019   10:16 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Scott Olson/ Getty Images (www.npr.org)

What happens when the average person on the street tries to explain a public policy issue? It tends to make them rethink their position.

Pada suatu pagi saat mengantri mencuci mobil di tempat pencucian, saya kebelet hendak buang air besar. Sialnya, tempat pencucian mobil itu tidak menyediakan toilet dengan closet.

Saya pergi ke pasar tradisional yang tidak terlalu jauh dari tempat pencucian itu. Di sana ada sebuah toilet mungil yang hanya menyempil di bawah tangga ke lantai dua pasar. Toiletnya bersih walaupun agak pengap.

Sudah menjadi kebiasaan, aku suka membaca berita sambil berjongkok berlama-lama di toilet. Mungkin dari sanalah asal ambeian yang akut ini. Tapi, bagiku toilet memang tempat membaca yang paling unik. Dari sana sering datang inspirasi.

Menikmati bacaan dari dalam toilet pengap itu, kusulut sebatang rokok. Di luar toilet terdengar suara kebisingan pasar yang sepertinya tidak bertoleransi dengan waktu. 

Klakson kendaraan menjerit-jerit, berebut saling mendahului. Ada juga suara ibu-ibu yang gesit beradu tawar dengan pedagang pakaian dalam yang memang dekat dengan toilet.

Juga suara penjual buah yang lantang memanggili orang lewat di lorong tangga lantai dua, tempat toilet mungil menyempil yang sedang kutekuri dengan bacaan itu. Penjual buah itu adalah sekaligus juga pengutip uang sewa toilet.

Kuhentikan bacaanku. Sejenak aku berpikir, adakah orang-orang yang di pasar ini merasa terlibat sebagai bagian proses demokrasi dalam perumusan berbagai kebijakan di negara ini? Bukankah kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat? Bahwa sesaat lagi akan ada perubahan susunan keanggotaan para pembuat kebijakan di level nasional dalam pengelolaan negara ini? Akan ada menteri-menteri baru.

Ah, sudahlah. Pasar terlalu bising untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Walaupun tentu saja, di pasarlah salah satu pelabuhan pengejawantahan berbagai kebijakan yang kompleks dan elusive itu berdampak bagi masyarakat. 

Ya, sama kompleks dan sukarnya mengartikan perilaku pasar dan para pelakunya, demikian juga kebijakan sering kali datang dalam proses dan hasil yang kompleks dan sukar dimengerti.

Kebijakan adalah ranah kepemimpinan. Menurut berbagai teori organisasi dan manajemen, inti dari kepemimpinan adalah pengambilan keputusan.

Setiap pemimpin akan mencatatkan sejarahnya masing-masing. Kepemimpinannya akan dikenal lewat apa yang diwariskannya. Setiap kebijakan akan selalu diiringi hal yang positif dan negatif pada waktu yang bersamaan, kompleks dan sukar dimengerti.

Perumusan kebijakan adalah siklus dengan pendekatan suksesif. Kebijakan diterapkan untuk dievaluasi dan seterusnya diterapkan kembali. Hanya satu yang pasti, bahwa bila menyangkut kepentingan umum, kebijakan akan selalu kompleks dan sukar dimengerti.

Sejatinya, para pemimpin publik yang baik akan senantiasa mencoba mengambil mudharat yang paling kecil melalui kebijakannya demi kepentingan yang lebih besar. Harusnya, itu semata-mata untuk kebaikan, dan sejarah yang akan mencatatnya apakah itu benar atau keliru.

Selalu tidak mudah menjejakkan kaki di dua tempat yang berbeda sekaligus pada waktu bersamaan. Ada teori yang mengatakan bahwa cara yang paling gampang untuk menguji integritas seseorang memang dengan memberikannya kekuasaan, dan lihat apa yang dia lakukan dengan kekuasaan itu.

Setidaknya setiap hal yang telah berlalu menjadi pelajaran berharga untuk menjadi lebih baik di hari esok. Itu bukan dalam pengertian sebagaimana kalimat bernada sinis dari sebuah iklan lama sebuah produk minyak kayu putih, "Buat anak kok coba-coba?" Tapi memang lebih baik mencoba dari pada tidak berbuat apa-apa.

Bukankah manusia berencana, tapi Tuhan yang menentukan hasilnya? Bukankah itu terbukti dalam kenyataan di mana burung pipit yang bisa dijual dua ekor seduit, tapi tak seekorpun dari padanya bisa jatuh ke bumi kalau bukan karena kehendak Tuhan. Jadi, bila manusia yang adalah lebih berharga dari pada banyak burung pipit, harusnya lebih mengerti tentang hal itu.

Namun, manusia yang sering terlelap di tengah dinginnya malam dan sayup-sayup suara nafas anak-anak kecil, laki-laki dan perempuan yang tertidur berdesakan dalam kemiskinannya, bahkan sering kali tidak tahu apa yang sedang menimpanya. Atau dalam bentuk lain, bahkan pasar dalam segala kebisingan dan tingkah polah kepongahannya pun tidak sadar apa yang sedang dan bakalan datang menimpanya.

Pernah dalam sebuah polemik terkait kebijakan dalam menjaga stabilitas keuangan, ibu menteri Sri Mulyani kukuh menunjukkan konsistensi sikap tegasnya, dengan mengatakan bahwa kebijakan publik tidak bisa diadili. 

Secara esensi saya pribadi setuju. Setidaknya, kalaupun ada yang mau memaksakan agar kebijakan itu diadili, faktanya tidak mudah mengadili kebijakan publik. 

Kalaupun harus, peradilannya sendiri harusnya berisi orang-orang yang mampu mengatasi kesenjangan waktu dan konteks, serta maksud asli kebijakan itu dibuat pada masanya dengan masa-masa sesudahnya ketika kebijakan itu ingin diadili.

Prinsip Freies ermessen memang tidak mudah dan berisiko, sehingga ia menjadi praktik yang sudah langka dilakukan para pejabat publik. Namun, di sisi lain, praktik "diskresi" yang mungkin saja ilegal malah terang-terangan masih ada dilakukan. Bukankah karena itu masih saja ada kasus-kasus korupsi? Itu sebenarnya mungkin bukan diskresi, melainkan ilegalisme terang-terangan yang menghadirkan kegelapan.

Freies Ermessen dalam sudut pandang hukum administrasi negara, bagaimanapun tetap harus dibingkai dalam hukum yang tertulis. Itu adalah asas diskresi, di mana seorang pejabat diberi kebebasan untuk bertindak berdasarkan pikirannya demi kepentingan umum.

Seperti hasil riset lapangan seorang etnograf lapangan dan antropolog kebangsaan Polandia, Bronislaw Malinowski, bahwa untuk merumuskan suatu kebijakan pembangunan tidak bisa memakai perspektif tungggal, atau bahkan mengadopsi bulat-bulat dimensi berpikir yang dianggap sudah mapan. Seperti misalnya, cara berpikir yang memandang bahwa peradaban Eropa Barat adalah yang terbaik dibandingkan sistem hidup tradisionil dunia ketiga, yang dianggap konyol dan tidak masuk akal dengan segala tradisi, adat istiadat dan keyakinan lokalnya. 

Kata Malinowski, peradaban maju Eropa Barat sebenarnya sama kompleksnya dengan yang tradisionil dengan segala nilai-nilainya yang dianggap terbelakang di dunia ketiga. 

Karena masyarakat tradisionil sendiri dalam merumuskan nilai-nilai hidupnya tetap melalui suatu proses berpikir dan pengkajian yang panjang, sampai menemukan sistem hidup ideal yang dianggap paling akomodatif untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota komunitasnya.

Sehingga adalah fakta, sesuai kondisi lokal, tidak selamanya persoalan pelik dapat diselesaikan melalui pembahasan serius di bangku kelas kuliah, tapi cukup diselesaikan dengan seteko tuak asli di bawah pohon beringin, karena itulah kearifan lokal di sini.

Hal itu juga tercermin dalam refleksi membaca gejolak revolusi jiwa R.A. Kartini. Dia menggugat ketertindasan, kemiskinan dan kebodohan. Itu adalah sebuah gugatan dari masa lampau yang belumlah selesai hingga masa kini.

Catatannya secara bergantian menunjukkan sisi realisme dan idealisme dirinya yang lahir dan hidup pada zaman dimana bangsanya penuh keterbatasan. Sebentar-sebentar ia tampak pasrah pada realitas, namun sebentar-sebentar ia tampak beringas menuntut lahirnya idealisme.

Seorang guru besar ilmu politik pernah mengatakan bahwa salah satu kelemahan bangsa ini dalam merumuskan kebijakan untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan adalah saat para aktor penyelenggara negara, yang entah sengaja atau lalai kepada catatan sejarah, bahwa masalah yang pernah ada tidak cepat hilang. 

Salah satunya adalah masalah tantangan rasa kebangsaan dalam mencapai kesepakatan bersama saat merumuskan dasar negara, yang seolah tetap menyisakan perdebatan dan perselisihan para pihak yang sama-sama merasa terdiskriminasi, diperlakukan tidak adil.

Dalam konsep yang sama meski wujudnya berbeda, rasa kurang adil itu mungkin tidak melulu soal filosofis dan ideologis, melainkan termanifestasi dalam realitas terukur dalam wujud ketimpangan pembangunan, baik pembangunan fisik maupun mental.

Tantangan ini menjadikan semangat Kartini menemukan relevansi. Maka, salah satu tantangan dan harapan yang masih akan diembankan bagi pengurus kebijakan publik ke depannya kembali lagi adalah usaha-usaha bagi terwujudnya keadilan.

Kebijakan memang akan selalu diiringi oleh hal yang positif dan negatif dalam waktu yang bersamaan, kompleks dan sukar dimengerti, merupakan siklus dengan pendekatan suksesif, diterapkan untuk dievaluasi dan diterapkan kembali, yang pasti selamanya kompleks dan sukar dimengerti.

Gambaran alamiah hal itu terlihat bagaimana ketika hujan lebat datang, sementara pada saat bersamaan belahan bumi yang lain mengalami kekeringan berkepanjangan. Itu adalah rahasia sang pencipta. 

Maksudnya, supaya kita tahu apa artinya hidup dalam kekurangan saat mengalami kelimpahan dan apa artinya hidup berpengharapan di masa kesusahan. Ketika hujan lebat datangpun, ia datang membawa berkat sekaligus ancaman bagi sebagian.

Atau seperti mentari yang memberi kehidupan tanpa memandang kebaikan dan keburukan yang telah dilakukan makhluk di bawahnya. Sesungguhnya demikianlah sukacita memiliki para pembuat kebijakan publik yang selalu memikirkan kebaikan untuk publik yang dilayaninya.

Tiba-tiba ada suara seorang ibu memanggil sambil menggedor pintu toilet dari luar, "Ada orang di dalam?" Aku di dalam lekas-lekas berbenah, keluar aku membayar dua kali lipat sewa toilet umum itu, karena memakainya cukup lama, untuk jongkok sambil membaca. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun