Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kebijakan Kompleks dan Elusif di Keramaian Pasar

19 Oktober 2019   10:24 Diperbarui: 20 Oktober 2019   10:16 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Scott Olson/ Getty Images (www.npr.org)

Prinsip Freies ermessen memang tidak mudah dan berisiko, sehingga ia menjadi praktik yang sudah langka dilakukan para pejabat publik. Namun, di sisi lain, praktik "diskresi" yang mungkin saja ilegal malah terang-terangan masih ada dilakukan. Bukankah karena itu masih saja ada kasus-kasus korupsi? Itu sebenarnya mungkin bukan diskresi, melainkan ilegalisme terang-terangan yang menghadirkan kegelapan.

Freies Ermessen dalam sudut pandang hukum administrasi negara, bagaimanapun tetap harus dibingkai dalam hukum yang tertulis. Itu adalah asas diskresi, di mana seorang pejabat diberi kebebasan untuk bertindak berdasarkan pikirannya demi kepentingan umum.

Seperti hasil riset lapangan seorang etnograf lapangan dan antropolog kebangsaan Polandia, Bronislaw Malinowski, bahwa untuk merumuskan suatu kebijakan pembangunan tidak bisa memakai perspektif tungggal, atau bahkan mengadopsi bulat-bulat dimensi berpikir yang dianggap sudah mapan. Seperti misalnya, cara berpikir yang memandang bahwa peradaban Eropa Barat adalah yang terbaik dibandingkan sistem hidup tradisionil dunia ketiga, yang dianggap konyol dan tidak masuk akal dengan segala tradisi, adat istiadat dan keyakinan lokalnya. 

Kata Malinowski, peradaban maju Eropa Barat sebenarnya sama kompleksnya dengan yang tradisionil dengan segala nilai-nilainya yang dianggap terbelakang di dunia ketiga. 

Karena masyarakat tradisionil sendiri dalam merumuskan nilai-nilai hidupnya tetap melalui suatu proses berpikir dan pengkajian yang panjang, sampai menemukan sistem hidup ideal yang dianggap paling akomodatif untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota komunitasnya.

Sehingga adalah fakta, sesuai kondisi lokal, tidak selamanya persoalan pelik dapat diselesaikan melalui pembahasan serius di bangku kelas kuliah, tapi cukup diselesaikan dengan seteko tuak asli di bawah pohon beringin, karena itulah kearifan lokal di sini.

Hal itu juga tercermin dalam refleksi membaca gejolak revolusi jiwa R.A. Kartini. Dia menggugat ketertindasan, kemiskinan dan kebodohan. Itu adalah sebuah gugatan dari masa lampau yang belumlah selesai hingga masa kini.

Catatannya secara bergantian menunjukkan sisi realisme dan idealisme dirinya yang lahir dan hidup pada zaman dimana bangsanya penuh keterbatasan. Sebentar-sebentar ia tampak pasrah pada realitas, namun sebentar-sebentar ia tampak beringas menuntut lahirnya idealisme.

Seorang guru besar ilmu politik pernah mengatakan bahwa salah satu kelemahan bangsa ini dalam merumuskan kebijakan untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan adalah saat para aktor penyelenggara negara, yang entah sengaja atau lalai kepada catatan sejarah, bahwa masalah yang pernah ada tidak cepat hilang. 

Salah satunya adalah masalah tantangan rasa kebangsaan dalam mencapai kesepakatan bersama saat merumuskan dasar negara, yang seolah tetap menyisakan perdebatan dan perselisihan para pihak yang sama-sama merasa terdiskriminasi, diperlakukan tidak adil.

Dalam konsep yang sama meski wujudnya berbeda, rasa kurang adil itu mungkin tidak melulu soal filosofis dan ideologis, melainkan termanifestasi dalam realitas terukur dalam wujud ketimpangan pembangunan, baik pembangunan fisik maupun mental.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun