"Medan...Medan...,"Â seorang kondektur bus angkutan umum antar kota dalam provinsi (AKDP) berteriak memanggil dari balik jendela dengan suara yang tidak terlalu nyaring untuk ukuran seorang kondektur bus. Pagi itu aku ada keperluan menuju Medan. Berdiri di pinggir jalan, menunggu angkutan umum lewat.
Kondektur itu seorang anak kecil, bermata sayu dan cukup kurus untuk anak seumurannya. Dia terlihat seperti tidak mandi sudah beberapa hari. Umurnya mungkin sebaya anak yang duduk di kelas 1 Sekolah Menengah Pertama.
Duduk di barisan kursi yang dekat dengan pintu, aku hanya terpisah lorong dengan bangku yang diduduki si anak kondektur yang sesekali berteriak lirih, "Medan...Medan...," memanggil calon penumpang dari jendela kecil yang menjadi jalan masuk bagi angin dingin pagi hari menyeruak ke dalam bus. Selebihnya, selama sisa perjalanan ia lebih banyak tertunduk lemah di kursinya, mengantuk mungkin.
Dalam bus yang juga sudah terlihat kumal itu, perjalanan yang akan menempuh waktu selama lebih kurang dua jam tiga puluh menit berjalan seolah sangat lambat. Itu adalah kesan bagi segala sesuatu yang sudah lapuk di makan usia. Di masa jayanya, bus ini mungkin terlihat gagah, kini terlihat merambat tertatih, hampir menyerupai si anak kondektur yang kurang tenaga.
Dua jam menempuh perjalanan, naiklah sepasang kakek dan nenek yang berpakaian cukup rapi. Karena jalannya yang tidak lagi cekatan, kugeser posisi dudukku lebih merapat ke jendela, supaya kakek itu bisa duduk segera di sebelahku. Istrinya duduk di bangku yang ada tepat di depanku.
Setelah cukup nyaman duduknya, kutegur kakek itu, "Mau ke mana kek?", Ia sedikit terkejut, karena kebiasaan saling tegur antar orang asing yang menumpang bus bukan lagi kebiasaan yang sering ditemui di masa kini.
Kalau dulu, jalur perjalanan dari kampung kami ke Medan, ibu kota provinsi adalah jalur yang cocok dalam membangun sebuah percakapan antara sesama penumpang yang kebetulan duduk bersebelahan.Â
Ada percakapan antara orang tua dan anak muda, sesama orang tua, ada juga antar muda-mudi. Yah, itu adalah bagian romansa nostalgia dengan bermacam kenangan serta makna.
Maka tak jarang, kalau dulu anak-anak sekolah atau anak kuliah yang sudah harus merantau ke kota Medan dengan berbagai tujuan dan alasan menemukan kepingan kenangan atau bahkan cinta di dalam bus yang membawa mereka pulang pergi ke sana kemari, dalam perjalanan lebih kurang dua jam.
Tapi itu dulu. Kini, dengan waktu tempuh yang sudah semakin lama, bukan karena jarak yang bertambah, tapi karena kendaraan yang sudah semakin membanjir jumlahnya, manusia-manusia yang semakin sering berpindah-pindah itu kini justru semakin irit berbicara.
Yang paling umum terlihat saat ini, setiap orang sudah sibuk dengan dirinya sendiri. Ada yang asyik dengan gadget yang tehubung dengan headset ke telinganya, menganggung-angguk sepanjang jalan seperti kerasukan roh apa, atau yang terkulai dengan mata terpejam dengan headset yang menyajikan entah apa ke lubang telinganya. Atau ada juga yang ayik bermain game sepanjang jalan.