Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seisi Dunia Tampak Berjalan Seperti Biasa, Meskipun Aku Merana

7 Oktober 2019   12:31 Diperbarui: 10 Oktober 2019   19:22 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia sangat antusias menceritakan soal salah seorang pamannya dulu, yang pulang pergi ke sekolah di Medan dari P. Batu menggunakan Kereta Api maskapai perkebunan tembakau Deli milik Belanda.

Hampir sampai di tujuan, si anak kondektur itu memecah keseruan kami yang larut dalam obrolan di antara suara dengkuran sekitar lima orang penumpang lainnya, yang sejak satu jam yang lalu sudah ketiduran.

"Ongkos-ongkos," kata si kondektur. Aku kembali tersadar, kalau dari tadi si anak ini sesekali melirik ke arah kami di antara obrolan kami yang tiada putus. Mungkinkah ia menyimak bagian-bagian cerita ketika si kakek bercerita tentang upayanya menyekolahkan anak-anaknya meskipun harus membanting tulang di bawah siraman matahari yang membakar kulit dan bahunya? Atau mungkin ia teringat dengan ibu dan bapaknya yang entah di mana, atau bahkan tidak pernah dikenalnya?

Anak itu memang seharusnya masih duduk di bangku sekolah, bukan di bangku bus sebagai kondekturnya. Sesekali ia dihardik oleh pak supir, karena kurang cekatan meladeni uang kembalian dari ongkos penumpang-penumpang yang turun di tujuannya. 

Si anak cuek saja, dengan suara kecil dan lemahnya, ia kadang menimpali sungut-sungut penumpang yang menggumamkan hal-hal yang tidak jelas, tapi rasanya itu umpatan kesal.

Bagitulah barangkali si anak kondektur setiap hari mengarungi jalanan dengan bus yang mungkin sudah terasa menjadi ganti bagi rumah dan sekolahnya setiap hari. Sementara para penumpang itu semua adalah teman-teman sekolah, atau sebagian mungkin guru-guru yang sepertinya tidak menyadari kehadirannya di sana.

Ia yang tidak mampu mengungkapkannya, mungkin bergumam dalam hatinya, "Apa yang salah, sehingga dari sekian banyak orang dengan sekian banyak jenis kehidupan yang kutemui, semuanya seolah tidak menyadari kalau aku sedang merasakan sesuatu yang tidak beres dengan diriku? Mengapa seisi dunia sepertinya terlihat baik-baik saja, saat aku sendiri merasakan hidupku ada di ambang bahaya?"

Sampai pada tujuannya, semua penumpang itu turun satu persatu, seperti di awalnya ketika mereka juga naik satu per satu dengan tujuannya sendiri-sendiri. Si anak itu, masih tetap ada di sana melanjutkan perjalanannya yang entah kapan berhentinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun