Maka yang tersisa, orang-orang renta yang mungkin tidak pernah menamatkan SMA pada masa mudanya, hanya terpana, diam membisu menatap ke depan, ke kiri ke kanan sesekali, sebelum akhirnya mendengkur dalam tidur di kursinya.
Maka, dengan sedikit kaget, kakek itu menjawab pertanyaanku. Katanya dia mau ke Medan untuk berobat ke seorang dokter spesialis penyakit dalam yang namanya sudah kesohor hingga ke kampung kami di pegunungan. Nama kakek itu Bapa Bunga (nama samaran), ia bermarga Sembiring, sementara istrinya dari klan marga Barus. Mereka tinggal di Desa B, Kecamatan S, Sumatera Utara.
Kakek ini berumur 75 tahun, ia menderita sakit asam lambung. Mungkin sebelum lanjut usia ia sering terlambat makan. Ada masuk akalnya, karena kakek ini kerjanya membuat gula merah dari bahan air aren.
Itu adalah sebuah pekerjaan yang membutuhkan nyali dan tenaga yang tidak sedikit. Mulai dari mengambil air aren dari tandan pohon aren yang tumbuh kadang di lereng-lereng jurang di tengah hutan, memasaknya selama berjam-jam di kuali dengan api kayu bakar yang mesti banyak dikumpulkan, hingga mencetak dan mengemasnya dengan kemasan pelepah daun.
Pekerjaan itu dilakoninya demi menghidupi istri dan keempat anaknya. Anaknya ada 4 orang, 2 laki-laki dan 2 perempuan. Dia yang hanya tamatan sekolah rendah, dengan pekerjaan membuat gula aren, mampu menyekolahkan anaknya-anaknya tamat SMA, bahkan ada yang sudah sarjana. Seorang lagi masih duduk di bangku SMA dan tinggal di kampung bersamanya.
Kini, ia mengaku sudah tidak mungkin lagi memanjat bambu yang dilubangi menjadi tangga tunggal memanjat pohon aren yang terkadang bisa puluhan meter tingginya. Ia hanya bercocok tanam seadanya di ladangnya, demi mencukupi keperluannya dengan istrinya yang juga sudah renta dan tentu saja kebutuhan biaya sekolah anak bungsunya.
Kami asyik bercerita tentang masa lalu sejak kolonialisme Belanda hingga masa-masa awal ia berumah tangga. Melihat kami asyik bercerita, istrinya menoleh ke belakang, tertarik ikut nimbrung bercerita.Â
Katanya ia pernah tahu soal adanya kereta api pada waktu Pancur Batu masih bernama Arnhemia. Pancur Batu kala itu adalah kota satelit yang mendukung perkembangan dan segala kebutuhan kota Medan dan pintu masuk ke daerah pegunungan sebelah Utara.
Baca juga: Ketika Kereta Api Pernah Ada di Pancur Batu
Ia mengingat jelas kata Arnhemia, karena pada masa kecilnya, orangtuanya suka memasak penganan yang mereka namakan "Sukat Arnhemia." Itu adalah sejenis ubi talas, yang jika diartikan bebas mungkin berarti "Ubi Talas dari Arnhemia," Pancur Batu sekarang.Â
Kata Ibu Rosa, umbi talas ini bisa dimasak langsung dicampur dengan tomat menjadi sayur untuk teman makan. Itu tidak menyebabkan rasa gatal, sebagaimana umumnya umbi liar yang menyebabkan gatal pada kulit dengan getahnya.