Tapi pemuda itu juga tidak kalah akal. Dia meletakkan kedua alas kakinya di dua sudut teras, sarungnya di sudut teras yang lain, dan dirinya sendiri segera duduk di sudut teras (ture) yang paling dekat dengan gadis pujaan hatinya sehingga ia bisa berbincang dengan nyaman.
Maka begitulah, anak perana dan singuda-nguda yang sudah parang, sebutan bagi pemuda dan pemudi yang sudah beranjak dewasa dalam budaya suku Karo, yang sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk, memainkan sebuah prolog yang kritis dari nalar sekalipun harusnya itu adalah wilayah perasaan, hanya untuk sekadar memulai perbincangan. Mungkin untuk mengajak kencan.
Maka, bila begitu beratnya memulai sebuah hubungan yang mungkin saja di masa depan akan kandas atau sebaliknya langgeng berujung ke pelaminan, menjadi sangat tidak masuk akal bila di masa kini dengan semua kecanggihan teknologinya, suami dan istri saling menyakiti dalam hubungannya. Ada suami menampar istrinya, ada juga istri yang meninju suaminya. Bahkan ada pasangan yang saling menganiaya meskipun masih sebatas berpacaran.
Meskipun dari masa kuno, jangan pandang hubungan berkasih-kasihan masa lalu kalah canggih dengan masa kini yang justru penuh dengan ironi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H