Pada suatu malam di bawah siraman sinar cahaya rembulan yang remang-remang, seorang gadis duduk sambil menganyam tikar berbahan anyaman daun pandan sambil bersenandung dengan suaranya yang lirih di atas ture.
Ture adalah sebuah pelataran kecil seperti balai-balai dari bambu menyerupai teras di depan pintu yang ada di kedua sisi ujung pada rumah Adat Karo.Â
Ture memiliki fungsi sebagai teras terbuka pada rumah sebagaimana umumnya rumah pada masa kini. Bedanya, untuk naik ke atas ture, maka orang harus menaiki anak tangga dari susunan bambu, karena letaknya yang umumnya di ketinggian paling tidak lebih kurang 1,5 meter di atas permukaan tanah.
Apa yang menarik dari hal ini, kali ini bukan soal rumah adat Karo sebagai salah satu bentuk peninggalan artefak budaya Karo. Namun, soal apa yang akan terjadi selanjutnya kepada gadis yang sedang menganyam tikar seorang diri di atas ture ini.
Ini bukanlah kisah seperti Romeo dan Juliet, atau Arthur dan Catalina, tapi ini adalah kisah tentang sepasang muda dan mudi Karo pada masa lalu, yang sedang menjalani masa remajanya, yang tidak saja penuh dengan romansa, tapi juga ini adalah gambaran ujian filosofis dalam hubungan sepasang kekasih, atau memiliki ketertarikan untuk memadu kasih berdimensi eros filosofis.
Jangan bayangkan, seorang pemuda yang tertarik kepada seorang gadis akan bisa langsung mengutarakan isi hatinya secara langsung dengan berhadap-hadapan.
Ada sebuah proses ujian dalam hal ini, ujian filosofis. Dengan kata lain, kemungkinan si wanita membutuhkan sebuah pendalaman untuk mengukur kadar kecerdasan dari pria yang memiliki ketertarikan kepada dirinya.Â

Bagaimana tidak, pria itu kemungkinan akan menjadi pasangan hidup yang kepadanya ia akan menyandarkan keamanan, kenyamanan dan kelangsungngan hidupnya sepanjang sisa waktu hidup yang dia punya.
Tentulah wajar bila ia mengharapkan seorang pasangan yang cerdas dan mampu berpikir, bila ingin selamat mengarungi hidup yang penuh dengan tantangan dan permasalahan.
Bandingkan hal ini misalnya dengan seorang calon mempelai wanita yang membatalkan pernikahannya hanya gara-gara sang calon mempelai pria tidak bisa menjawab soal matematika sederhana, soal hasil operasi penjumlahan 15 ditambah 6, yang tidak mampu dijawab oleh calon mempelai pria.
Ini terjadi terjadi di Kanpur, Uttar Pradesh, India, pada masa kini. Sebagaimana dilansir dari laman https://www.tribunnews.com edisi 5/9/2019. Sungguh ini sebuah ironi di saat zaman ini sudah banjir dengan berbagai sumber pengetahuan dan dengan dukungan teknologi tinggi.
Sang pemuda memulai pembicaraan, katanya "O turang, morah ate, banci ka nge ndia aku nangkih ku datas ture njumpai kena si sangana mbayu?"
Bila diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia kira-kira dapat diterjemahkan, "Wahai dinda pujaan hati, bisakah daku menemui dikau yang sedang menganyam tikar di atas teras rumah?"
Sambil si wanita menjulurkan seutas anyaman pandan ke bawah, ia mengatakan "Kanda, bukan daku tidak mau dikau naik ke atas menemuiku, tapi marilah naik ke atas lewat seutas pandan anyaman ini."
Sepintas ini seperti penolakan halus, tapi bisa juga dimaknai sebagai sebuah ujian kualitas nalar bagi seorang pemuda yang sedang jatuh cinta, apakah saat mabuk kepayang oleh cintapun kemampuan logika dan rasionya cukup bagus untuk merespons sebuah soal yang hampir mustahil untuk dijawab.
Bukankah hidup dalam kenyataan tidak melulu diisi dengan cinta dan kasih sayang? Di sana malah lebih sering dijumpai badai kehidupan.
Maka si pria akan menjawab, "Enda turang, sapu tangan man tanda mata sikutambatken alu cike, tanda aku reh njumpai kam."
Katanya, "Ini adinda, sapu tangan tanda mata dariku, terikat di anyaman pandan, sebagai pertanda diriku datang menemui dikau," sembari dia melemparkan sapu tangan miliknya yang terikat di salah satu ujung pandan anyaman kepada kekasih pujaan hatinya.
Si gadis tersipu malu, karena mendapatkan calon kekasihnya tidak kalah akal dalam menjawab. Maka iapun mempersilahkan si pria memanjat tangga menemuinya. Ujian belum selesai, karena pemuda itu tidak bisa langsung duduk begitu saja. Kata gadis yang manis itu, "Adi ngerana atendu kita, kunduli dage empatna suki ture enda kaka."
Maksudnya, "Kalau kakanda mau berbincang, maka duduklah kakanda di keempat sudut teras ini."
Tapi pemuda itu juga tidak kalah akal. Dia meletakkan kedua alas kakinya di dua sudut teras, sarungnya di sudut teras yang lain, dan dirinya sendiri segera duduk di sudut teras (ture) yang paling dekat dengan gadis pujaan hatinya sehingga ia bisa berbincang dengan nyaman.
Maka begitulah, anak perana dan singuda-nguda yang sudah parang, sebutan bagi pemuda dan pemudi yang sudah beranjak dewasa dalam budaya suku Karo, yang sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk, memainkan sebuah prolog yang kritis dari nalar sekalipun harusnya itu adalah wilayah perasaan, hanya untuk sekadar memulai perbincangan. Mungkin untuk mengajak kencan.
Maka, bila begitu beratnya memulai sebuah hubungan yang mungkin saja di masa depan akan kandas atau sebaliknya langgeng berujung ke pelaminan, menjadi sangat tidak masuk akal bila di masa kini dengan semua kecanggihan teknologinya, suami dan istri saling menyakiti dalam hubungannya. Ada suami menampar istrinya, ada juga istri yang meninju suaminya. Bahkan ada pasangan yang saling menganiaya meskipun masih sebatas berpacaran.
Meskipun dari masa kuno, jangan pandang hubungan berkasih-kasihan masa lalu kalah canggih dengan masa kini yang justru penuh dengan ironi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI