Ini terjadi terjadi di Kanpur, Uttar Pradesh, India, pada masa kini. Sebagaimana dilansir dari laman https://www.tribunnews.com edisi 5/9/2019. Sungguh ini sebuah ironi di saat zaman ini sudah banjir dengan berbagai sumber pengetahuan dan dengan dukungan teknologi tinggi.
Sang pemuda memulai pembicaraan, katanya "O turang, morah ate, banci ka nge ndia aku nangkih ku datas ture njumpai kena si sangana mbayu?"
Bila diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia kira-kira dapat diterjemahkan, "Wahai dinda pujaan hati, bisakah daku menemui dikau yang sedang menganyam tikar di atas teras rumah?"
Sambil si wanita menjulurkan seutas anyaman pandan ke bawah, ia mengatakan "Kanda, bukan daku tidak mau dikau naik ke atas menemuiku, tapi marilah naik ke atas lewat seutas pandan anyaman ini."
Sepintas ini seperti penolakan halus, tapi bisa juga dimaknai sebagai sebuah ujian kualitas nalar bagi seorang pemuda yang sedang jatuh cinta, apakah saat mabuk kepayang oleh cintapun kemampuan logika dan rasionya cukup bagus untuk merespons sebuah soal yang hampir mustahil untuk dijawab.
Bukankah hidup dalam kenyataan tidak melulu diisi dengan cinta dan kasih sayang? Di sana malah lebih sering dijumpai badai kehidupan.
Maka si pria akan menjawab, "Enda turang, sapu tangan man tanda mata sikutambatken alu cike, tanda aku reh njumpai kam."
Katanya, "Ini adinda, sapu tangan tanda mata dariku, terikat di anyaman pandan, sebagai pertanda diriku datang menemui dikau," sembari dia melemparkan sapu tangan miliknya yang terikat di salah satu ujung pandan anyaman kepada kekasih pujaan hatinya.
Si gadis tersipu malu, karena mendapatkan calon kekasihnya tidak kalah akal dalam menjawab. Maka iapun mempersilahkan si pria memanjat tangga menemuinya. Ujian belum selesai, karena pemuda itu tidak bisa langsung duduk begitu saja. Kata gadis yang manis itu, "Adi ngerana atendu kita, kunduli dage empatna suki ture enda kaka."
Maksudnya, "Kalau kakanda mau berbincang, maka duduklah kakanda di keempat sudut teras ini."