Ia melakukannya baik bersama dengan orang lain maupun dalam dialog dialektikal dengan dirinya sendiri, dalam pertanyaan- pertanyaan dan fantasinya sendiri.
Fima telah memilih untuk "gagal" dalam pengertian sukses yang dikenal oleh masyarakatnya. Ia justru percaya bahwa mereka, masyarakatnya, telah kehilangan arah.
Fima yang menetapkan langkahnya dalam perjuangan yang diyakininya sebagai upaya mewujudkan perdamaian, merasa terjebak di antara rasa muak dan perasaan bahwa ia harus berpartisipasi sebagai bagian dari masyarakatnya.Â
Oleh sebab itu, dalam imajinasinya atas setiap penderitaan, ia lebih memilih untuk menarik diri ke dalam anonimitas total, katanya "Aku akan mengganti namaku dan menghilang."
Baruch Nomberg, ayah Fima, sangat khawatir dengan anaknya yang tidak menjalani kehidupan konvensional sebagaimana anak orang lain pada umumnya.
 Kehidupan konvensional yang diharapkan oleh ayah Fima adalah kehidupan yang ditandai dengan pernikahan, membesarkan anak-anak, dan memiliki karier, untuk menaruh sedikit saja keteraturan pada diri anaknya itu. Tapi malah sebaliknya, Fima lebih khawatir tentang masa depan perdamaian bangsanya ketimbang dirinya sendiri.
Suatu ketika, saat Fima berjalan sendiri menelusuri Yerusalem pada suatu malam, ia memandangi tangga-tangga kaum borjuis yang berkilauan. "Kehidupan otomatis," pikirnya.Â
Itu adalah hidup yang nyaman, penuh dengan pencapaian, akumulasi atas kepemilikan dan penghormatan, dipenuhi rutinitas kegiatan makan, berpasang-pasangan, dengan beragam kebiasaan finansial dari orang-orang kaya.Â
Namun, menurut Fima, itu juga adalah sekaligus bentuk kehidupan dari jiwa-jiwa yang tenggelam dalam gumpalan daging, tenggelam dalam kegiatan ritual dari manusia-manusia dengan posisi sosial yang hanya memberi tempat bagi semua pikiran yang menyenangkan, yang seolah tidak ada hubungannya dengan kematian dan mereka yang kepedulian pribadinya hanya soal kepuasan.Â
Sementara itu, disaat yang sama dan terjadi tidak terlalu jauh dari sana, ada separuh ras manusia lainnya yang tidak memiliki pilihan selain menyandang sebuah senjata dan mempertaruhkan nyawanya.
Bila memang benar bahwa hidup dengan kesalahan adalah lebih terhormat, daripada terlihat seolah selalu benar tapi sebenarnya karena tidak melakukan apa-apa, karenanya belajar menjadi sebuah keharusan seumur hidup dalam hidup yang tidak terlepas dari kesalahan, maka hidup bersama dengan orang-orang untuk menangis dan tertawa bersama, sering kali terasa bagai sebuah bentuk cinta sebagaimana halnya rasa "cinta" yang dimiliki Fima.Â