Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

5 Ciri Gangguan Psikosomatik yang Terlihat Saat Orang Menyerobot Antrean

10 Juli 2019   00:49 Diperbarui: 10 Juli 2019   07:17 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Senin (8/7/2019) kemarin, saya bersama beberapa orang rekan kerja dari beberapa perangkat daerah di kabupaten Karo melakukan perjalanan dinas untuk berkoordinasi dan konsultasi ke kota Lubuk Pakam, ibu kota kabupaten Deli Serdang, yang sudah lebih baik dalam hal tata kelola manajemen sumber daya aparatur sipil negara dan sistem pemerintahan berbasis elektronik.

Mengingat pada Sabtu (6/7/2019) dan Minggu (7/7/2019) yang lalu, jalur jalan Jamin Ginting menuju kota Medan melalui kota wisata Berastagi mengalami kemacetan lalu lintas yang cukup "parah," maka salah seorang rekan menganjurkan agar kami melewati jalur jalan alternatif dari Kabanjahe, ibu kota kabupaten Karo, menuju Lubuk Pakam melalui desa Cingkes kecamatan Saran Padang kabupaten Simalungun dan kecamatan Gunung Meriah kabupaten Deli Serdang menempuh jalan aspal yang cukup baik dengan jarak 120 km, dan waktu tempuh sekitar 3 jam 46 menit.

Apa yang akan dibahas dalam tulisan ini, bukanlah hal-hal yang terkait dengan hasil kordinasi dan konsultasi pemerintah Kabupaten Karo dengan pemerintah Kabupaten Deli Serdang sebagaimana masud perjalanan dinas ini, melainkan masalah yang timbul kemudian pada saat perjalanan kembali pulang dari Lubuk Pakam menuju Kabanjahe. Masalah kemacetan lalu lintas, tidak lain dan tidak bukan.

Kegiatan koordinasi dan konsultasi pada hari Senin itu berakhir pada pukul 17.45 wib. Kami berangkat untuk kembali pulang dari Lubuk Pakam pada pukul 18.00 wib. Kami memutuskan tidak kembali dari jalur jalan alternatif itu, melainkan melalui rute yang biasa. Pertimbangannya sederhana, karena jalur jalan alternatif yang merupakan perlintasan tiga kabupaten yang berbeda itu selain lebih jauh dari rute yang biasa, juga belum dilengkapi dengan lampu penerangan jalan.

Pukul 19.00 wib kami tiba di desa Sembahe kecamatan Sibolangit kabupaten Deli Serdang setelah sebelumnya makan malam. Memang ada satu rumah makan yang hampir selalu ramai pengunjung yang makan di lokasi yang cocok sebagai persinggahan ini, Rumah Makan Kribo namanya.

Di sela-sela makan malam, salah seorang rekan mencoba mencari tahu kondisi jalan pada sisa jalur perjalanan yang akan kami lalui. Indikator yang menunjukkan tentang adanya kemacetan parah berwarna merah pada aplikasi Google Map, menjelaskan pada bahwa jalur sekitar 20 menit di depan macet parah. Belum lagi foto-foto yang berseliweran di media sosial, seperti facebook, menunjukkan bahwa jalan ini telah macet total dari dan ke kedua arahnya. 

Orang-orang yang ikut terjebak dalam kemacetan ini menjelaskan bahwa penyebabnya adalah karena ada truk kontainer berbadan panjang yang mengalami patah as, mogok di tikungan "Amoi." Ini adalah nama tikungan yang cukup legendaris, berada persis di batas Desa Bandar Baru yang juga cukup dikenal itu. Kejadiannya dilaporkan sebenarnya sejak pukul 17.30 wib yang lalu, saat kami masih ada di Lubuk Pakam.

Tapi ini adalah situasi yang sulit. Hari sudah malam. Kami berada di pertengahan jalan untuk kembali pulang atau balik kanan untuk menginap menunggu kemacetan terurai dan kembali pulang keesokan harinya. Kami berandai-andai, seandainya tadi memilih menggunakan jalur jalan alternatif itu sekalipun jaraknya lebih jauh sedikit, mungkin sekitar tiga jam lagi kami sudah akan berbaring di rumah kami masing-masing. Yang jelas tidak ada kemacetan.

Tapi untuk kembali ke jalur alternatif adalah pilihan yang kami hindarkan, karena bagaimanapun beban jaraknya menjadi dua kali lipat hanya untuk memulai hitungan 3 jam 46 menit dari Lubuk Pakam untuk menempuh jarak sejauh 120 km menuju Kabanjahe.

Ada di antara kami yang masih baru beberapa minggu mendapatkan kelahiran anak pertama, ada juga yang sudah diancam istri bila tidak pulang, jadi harus pulang dengan cara apapun, selain memang kami juga berkeinginan untuk pulang lebih dari pada menginap. Maka, pukul 19.30 wib kami melanjutkan perjalanan dari Rumah Makan Kribo Sembahe dengan berbagai pertimbangan.

Alhasil, setelah 20 menit perjalanan dilanjutkan, kami memang mulai mendapatkan ujung dari antrean kendaraan yang mengarah ke Kabanjahe telah mengular mengalami kemacetan di sekitar SMU Swasta Deli Murni Bandar Baru. Sebentar berjalan sebentar berhenti, setiap berjalan tidak lebih dari 30 meter.

Kami mendapatkan pelajaran pertama, ini benar adalah era data dan informasi. Maka, pakailah data dan informasi hasil pengolahan data sebagai acuan dalam bekerja, dan yang mendasari kita dalam membuat pilihan-pilihan dan keputusan. Di era ini, harusnya semangatnya adalah "rasanya tidak mungkin untuk bekerja tanpa data."

Seandainya pada pukul 17.30 wib yang lalu kami terlebih dahulu mencari data dan informasi lalu lintas sebelum menginjak penuh pedal gas mobil matik itu, barangkali kami akan tepat memilih jalan kembali pulang. Walaupun begitu, kami masih ngotot akan tetap melanjutkan perjalanan pulang apa pun yang terjadi dan akan tiba jam berapa pun nantinya.

Tidak menunggu lama, masalah yang sebenarnya memang segera tiba. Kalau kita memakai prinsip silogisme dalam memutuskan apa sebenarnya penyebab kemacetan yang "parah" itu, maka barangkali bukan truk kontainer berbadan panjang yang mengalami patah as, mogok di tikungan "Amoi" itu yang menjadi penyebabnya.

Bahwa truk patah as yang mogok itu menyebabkan kemacetan, ya, benar. Namun, yang menjadi penyebab kemacetan yang "parah" itu adalah perilaku para pengendara yang sangat buas, banal, bar-bar, tidak beradab dan entah apa lagi istilah yang paling cocok untuk menggambarkan kebrutalan para pengendara dalam berlalu lintas. Aturan tidak ada. Benar-benar hukum rimba, sebagaimana jalan ini memang membelah rimba raya Taman Nasional Bukit Barisan, yang dibangun oleh Belanda pada tahun 1892, 127 tahun yang lalu. Siapa yang paling buas dialah yang menang.

Baca Juga: https://www.kompasiana.com/teotarigan/5cad718e3ba7f77c770d89b2/kita-nampak-tergesa-gesa-tapi-tidak-produktif-dalam-parasomnia?page=3# 

Mengapa tidak parah? Badan jalan yang harusnya hanya dua jalur, masing-masing satu arah untuk menampung kendaraan yang naik ke pegunungan dan kendaraan yang turun ke Medan, kini telah nyaris menjadi 6 jalur. Tiga jalur dari atas, dan tiga jalur dari bawah. Sehingga, untuk memutuskan memutar kembali haluan dan menginap di Sibolangit menjadi tidak mungkin lagi. Kendaraan nyaris tidak bisa bergerak. Selama waktu tempuh dua jam sejak berangkat dari Sembahe pada pukul 19.30 hingga tiba di Bandar Baru pada pukul 21.30 wib, kami hanya bisa menempuh jarak sekitar 10 km.

Fenomena kemacetan di jalur jalan buatan Belanda berumur 127 tahun ini sebetulnya bukanlah masalah yang baru. Namun, isu tentang hal ini menjadi hangat dan dingin secara bergantian seiring dengan momentum yang mengiringinya. Setiap ada even, setiap musim pemilihan kepala daerah atau legislatif, biasanya isu tentang urgensi solusi permanen mengatasi kemacetan lalu lintas di jalur romantik sekaligus psikosomatik ini menjadi hangat, demikian sebaliknya.

Lalu apa ciri-ciri gejala psikosomatik yang terlihat dalam fenomena kemacetan parah di seputaran tikungan Amoi hingga Senin, 8/7/2019 itu?

Dari https://www.alodokter.com dijelaskan bagaimana pikiran memengaruhi penyakit. Pikiran dapat menyebabkan munculnya gejala atau perubahan pada fisik seseorang. Contohnya, ketika merasa takut atau cemas, bisa memunculkan tanda-tanda seperti denyut jantung menjadi cepat, jantung berdebar-debar, mual atau ingin muntah, gemetaran, berkeringat, mulut kering, sakit dada, sakit kepala, sakit perut, napas menjadi cepat, nyeri otot, atau nyeri punggung.

Ketika faktor mental memunculkan gejala penyakit, tetapi penyakit itu sendiri tidak bisa ditemukan atau dideteksi secara fisik, atau mengeluh sakit yang tidak sesuai gejalanya, berbagai kondisi ini dikelompokkan dalam gangguan psikosomatis. Keluhan psikosomatis terkadang sulit untuk dikenali, baik oleh penderitanya sendiri ataupun oleh dokter, karena tidak menunjukkan tanda dan gejala yang spesifik. Namun satu hal yang pasti, gangguan ini dapat menyebabkan permasalahan nyata bagi penderita dan orang di sekitarnya.

Beberapa penyakit tertentu memang terbukti dapat diperberat oleh kondisi mental seseorang. Misalnya pada penyakit psoriasis, tukak lambung, tekanan darah tinggi, diabetes, dan eksim. Kondisi penyakit tersebut tak jarang akan kambuh atau semakin berat ketika penderitanya mengalami stres atau cemas. Namun secara fisik kondisi tersebut terlihat nyata dan dalam pemeriksaan fisik akan terdeteksi oleh dokter.

Perjalanan dalam kemacetan yang parah ini akhirnya dapat kami tempuh dalam waktu 14 jam 30 menit. Berangkat pada Senin (8/7/2019) pukul 18.00 wib dari Lubuk Pakam dan tiba pada Selasa (9/7/2019) pukul 08.30 wib di Kabanjahe, untuk menempuh jarak sekitar 96 km. namun, perjalanan yang cukup menguras emosi ini menyisakan beberapa petunjuk adanya gejala-gejala perasaan takut atau cemas, denyut jantung menjadi cepat, jantung berdebar-debar, mual atau ingin muntah, gemetaran, berkeringat, mulut kering, sakit dada, sakit kepala, sakit perut, napas menjadi cepat, nyeri otot, atau nyeri punggung dari manusia-manusia yang ikut terjebak atau menjebakkan diri dalam kemacetan yang tidak masuk akal ini, antara lain:

  1. Ada beberapa kendaraan dinas pejabat dengan nomor plat polisi berwarna merah dari berbagai daerah yang melintasi jalur jalan nasional ini, yang ikut tidak tertib mengantre di tengah kemacetan. Bagaimana mau tertib, kalau yang seharusnya menjadi panutan pun ikut menjadi buas? Apakah ini karena pejabat yang ada di atasnya mengalami gejala psikosomatis? Mungkin masih diperlukan pemeriksaan lebih lanjut.
  2. Ada seorang kondektur bus angkutan umum antar kota dalam provinsi yang akhirnya adu jotos dengan seorang pengendara mobil pribadi. Tidak ada yang mau mengaku salah. Padahal jelas sekali, masalah terjadi karena ada pelanggaran. Mungkin di antara mereka ada yang sakit kepala, nyeri otot atau nyeri punggung akibat kemacetan dan berlomba mengejar setoran.
  3. Ada seorang bapak supir mobil pick up pengangkut barang rongsokan yang buang hajat, dia berak, di antara mobil-mobil yang terjebak kemacetan. Ia mungkin sakit perut, entah sakit perut karena kemacetan.
  4. Ada banyak pengendara yang melawan seorang petugas polisi lalu lintas yang sebenarnya sudah berusaha mengatur dan menghadang dengan badannya sendiri laju kendaraan yang mencoba saling menyerobot antrean dalam jalur dan saling mendahului, tapi para pengendara melawannya. Barangkali para pengendara yang melawan petugas ini sedang menunjukkan gejala fisik yang disebabkan oleh meningkatnya aktivitas listrik atau impuls saraf dari otak ke berbagai bagian tubuh akibat pelepasan zat adrenalin berlebihan ke dalam aliran darahnya. Itu juga adalah gejala fisik dari psikosomatis.
  5. Ada ibu-ibu yang kencing seenaknya di pinggir bus umum yang ditumpanginya dan masih terjebak macet. Kata kondekturnya: "Bu, jangan sembarangan kencing di sini." Lalu si ibu membalasnya: "Suka-suka akulah, kenapa rupanya?"

Lalu kalau kemudian banyak juga diantaranya, para pengendara yang telah terkulai lemas dan tertidur, ada yang wajahnya menengadah ke atas dengan mulut menganga, sementara yang lainnya dengan wajah tersandar ke setir mobil, yang tak jarang disemprot oleh klakson truk-truk yang bunyinya lebih mirip bunyi klakson kapal laut KM. Tampomas yang legendaris dan telah karam itu, karena kendaraan-kendaran di depannya telah mulai berjalan kembali, sekali berjalan sejauh kurang lebih 30 meter dan selebihnya berhenti lagi, itu sepertinya bukanlah gangguan psikosomatis, tapi karena benar-benar mengantuk karena kelelahan.

"Memang kemacetan seperti ini sudah sangat keterlaluan, dan sangat melelahkan. Yang juga sangat mengherankan, kalau sudah tahu akan menambah masalah, bahkan menjadi sumber masalah yang sesungguhnya dalam kemacetan, kenapa orang-orang ini selalu tampak sangat suka kembali dan selalu kembali ke jalan ini, dan selalu saling berlomba menjejalkan dirinya ke depan, dengan demikian mereka semuanya akan saling berhadap-hadapan satu sama lain, hingga mereka tidak bisa kemana-mana lagi?" barangkali demikianlah di benak monyet-monyet yang hampir sepanjang hari dan di setiap akhir pekan menyaksikan manusia-manusia yang bergerak merayap dengan kemajuan teknologinya di bawah kanopi dedaunan pepohonan, sementara monyet-monyet bebas melompat dari satu dahan ke dahan yang lain di atasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun