Kronos et Kairos tou Theou, semua waktu adalah milik Tuhan. Dimulai di dalam Tuhan dan diakhiri di dalam Tuhan.
Suatu hari, seorang pria yang gelisah ketika hari masih pagi benar, sedang menekuri selembar kartu undangan sebuah acara pesta adat, yang diadakan di sebuah desa yang jarak tempuhnya sekitar satu jam perjalanan dari rumah tempat tinggalnya.
Pada saat yang sama pada hari itu juga, ia memiliki agenda kerja di kantor dengan jadwal yang padat. Itu adalah sebuah hari pada Senin pagi yang sibuk. Pria itu adalah seorang pegawai negeri. Biasanya, pada hari Senin, kesibukannya adalah seputar mengikuti rapat-rapat maupun menyelesaikan beban-beban pekerjaan yang tertunda, yang tidak terselesaikan pada hari kerja hingga Jumat pada minggu yang lalu.
Situasi ini mungkin bukan sebuah hal yang berarti penting, atau rumit, atau bahkan tidak berarti apa-apa, selain sebagai sesuatu yang rutin dan biasa saja, bagi seseorang yang sangat fungsional, praktis, pragmatis, atau bahkan cuek sama sekali dalam kesehariannya. Namun, tidak demikian bagi sebagian orang. Tidak juga bagi pria, pegawai negeri yang gelisah ini.
Ada sebuah pandangan dalam ajaran Calvinisme, yang diwariskan oleh Yohanes Calvin, sang bapa gereja, terkait dengan pemahaman dalam memandang waktu dan pekerjaan. Ia yang mengajarkan pemahaman bahwa semua waktu adalah milik Tuhan. Oleh karenanya, manusia yang hidup dalam lintasan waktu yang bergerak itu, seharusnya juga memahami bahwa semua pekerjaan yang dikerjakannya juga adalah untuk Tuhan. Dengan kata lain, seharusnya tidak ada apa yang dianamakan pekerjaan surgawi dan pekerjaan duniawi.
Keterbelahan pemahamam dalam memandang apa yang dikerjakan bagi surga dan dunia ini, bisa dibilang sebagai penanda eksistensial manuisa setengah-setengah. Ia setengah hidup dan setengah mati. Setengah siuman dan setengah pingsan.
Bagi Calvin, seluruh hidup, jiwa dan roh adalah milik Tuhan. Dalam pandangan semacam ini, hidup di antara tarik menarik kepentingan dunia seringkali membawa pikiran, perasaan dan kesadaran kepada situasi yang dilematis. Lalu adakah manusia yang mampu menjadi manusia yang penuh seutuhnya, tidak setengah-setengah? Barangkali tidak.
Bagi manusia yang praktis, pragmatis, atau cuek sama sekali dalam kesehariannya, dalam memandang situasi dilematis seperti yang dirasakan oleh pria pegawai negeri yang gelisah sambil menekuri undangan pesta adat di hari Senin yang sibuk itu, barangkali akan mudah diselesaikan dengan sebuah pilihan yang mudah. Sesederhana untuk memilih "kalau ke sana ya tidak ke sini, kalau ke sini ya tidak ke sana."Â
Apa yang menjadi alasan untuk memilih ke sini atau ke sana, atau barangkali tidak ke sini atau ke sana, bukanlah suatu hal yang penting, apalagi untuk disampaikan kepada orang yang mengundangnya. Mungkin, kebanyakan orang-orang yang mengundang juga tidak terlalu ambil pusing kalaupun kita datang atau tidak.
Bagi manusia yang memandang bahwa semua waktu adalah milik Tuhan, sehingga apapun yang ia kerjakan pada waktu itu adalah untuk Tuhan, barang kali atas ketidakhadirannya dalam hal apa pun karena ia harus melakukan hal lainnya, atau karena berbagai alasan lain apa pun itu, ia mungkin perlu berdoa begini, "Tuhan, hari ini saya tidak akan pergi ke pesta itu, karena pada hari ini saya harus menyelesaikan rencana program dan kegiatan selama setahun di tempat saya bekerja. Kalau lain kali saya diundang lagi, sediakanlah bagiku sebuah kesempatan untuk dapat menghadirinya."Â
Atau, dalam hal lain, seorang janda tua yang perlu berdoa seperti ini, "Tuhan, hari ini aku tidak akan pergi ke gereja. Aku harus mengumpulkan perca-perca kain di pasar untuk bisa selesai kujahit dalam tiga hari ini. Aku harus memberi makan pada hari ini, ketiga orang cucuku yang masih kecil-kecil ditinggal mati ibunya. Tuhan, berikanlah aku rezeki pada hari ini, agar Minggu depan aku berkesempatan menghadiri ibadah."
Apa pentingnya berdoa seperti itu, toh yang melaksanakan pesta atau pelayan pada sebuah ibadah Minggu tetap tidak akan mengetahui atau tidak terlalu ambil pusing dengan alasan ketidakhadirannya di acara-acara itu?
Doa adalah kata-kata yang dirangkai dengan harapan untuk hadirnya sebuah kenyataan yang melampaui segala akal dan segala kemungkinan.
Mungkin saja dengan seuntai doa, orang yang mengundang ke pesta atau pelayan ibadah Minggu itu akan memahami atau mungkin juga tidak, mengapa kita tidak hadir. Bahkan mungkin, Tuhan pun akan membenarkan atau bisa juga tidak, sebuah alasan untuk melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu, apa pun itu.
Bukankah semua waktu dan segala hal yang dikerjakan di segala tempat dalam semua waktu yang tersedia adalah milik Tuhan? Kalau manusia tidak mengasihi sesamanya yang terlihat, bagaimanakah ia akan mengasihi Tuhan yang tidak terlihat? Bukankah manusia yang mengenal Tuhan adalah yang paling bertanggung jawab untuk menyatakanNya dalam segala tindak tanduknya? Kalau tidak demikian, maka mungkin tidak seorang pun akan melihat Tuhan.
Sekarang, bahkan bagi manusia yang paling fungsional dan paling praktis sekalipun, kegunaan atas segala sesuatu dalam hidup adalah sebuah titik temu yang mungkin dapat menyatukannya dengan manusia yang paling rumit sekalipun, yang bergumul dengan segala dilema dalam dirinya.Â
Apa gunanya patuh pada adat istiadat dan ritus, sementara sikap abai terhadap pekerjaan sehari-hari akan menyebabkan sebuah pemborosan atau kerugian negara, karena negara tetap membayar untuk sebuah kursi kosong lengkap dengan mejanya yang lebih sering ditinggalkan oleh orang yang dipilih negara untuk mendudukinya?Â
Manakah yang lebih patut dipersalahkan dalam hal ini, tidak menghadiri sebuah undangan pesta atau tidak memenuhi kewajiban sebagai seorang aparatur negara terkait dengan jam kerja?
Dalam pandangan bahwa semua waktu dan segala jenis pekerjaan di dalamnya adalah milik Tuhan, barangkali tidak ada hal yang tidak berguna bila dikerjakan dalam keyakinan yang teguh bahwa kita sedang mengerjakan segala sesuatu dengan maksud dan upaya terbaik yang kita bisa.Â
Kalau begitu halnya, mungkin tidak akan relevan untuk memilih dan memberikan penilaian atas sebuah pilihan, bahwa yang ini lebih baik dan lebih bernilai daripada yang itu.
Paling tidak, mungkin akan sedikit lebih baik dalam bersikap, jikalau kita harus memilih untuk menghadiri sebuah undangan ke acara pesta yang dibuat oleh kerabat, maka jadilah kita anggota kerabat yang hadir dengan penuh kehangatan dan perhatian.Â
Bukan sebaliknya, kita hadir membawa desas-desus di antara kerumunan, yang bisa membuat suasana menjadi keruh. Atau jikalau harus memilih untuk tetap bekerja, bekerjalah seolah itu adalah untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.
Niat dan tekad bekerja yang diwujudkan dalam upaya terbaik sampai batas yang kita bisa, adalah juga sebuah ibadah yang murni. Terlepas dari apapun hasil akhir sebuah pekerjaan, maka patutlah orang yang mengerjakannya mengucapkan syukur kepada Tuhan, karena sudah melakukan upaya yang terbaik dalam waktu-waktu yang tersedia baginya.
Maka, ketika kita berdoa, "Tuhan, hari ini saya tidak bisa ini, atau tidak bisa itu, karena saya lebih perlu melakukan ini, atau melakukan itu," mungkin saja Tuhan yang akan membenarkan ketidakhadiran kita di satu hal, karena pada saat yang sama kita hadir di hal yang lain, sepanjang hal-hal itu memang dilakukan untuk Tuhan.
Ibadah kita adalah apa yang kita lakukan dalam keseharian pada waktu yang hanyalah sebuah kesempatan. Itu bukan sebatas ritus yang kita ikuti di rumah ibadah. Kita adalah apa yang kita kerjakan, saat tidak ada orang yang melihatnya.
Selamat bekerja, dalam hal apa pun yang berguna...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H