Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Eskalasi Produksi Sampah Memaksa Lahirnya Gaya Hidup yang Lebih Fungsional

16 Juni 2019   13:57 Diperbarui: 20 Juni 2019   18:41 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas kebersihan sedang menyapu jalan pada suatu subuh di sekitar jalan menuju Pantai Kuta-Bali (03/2018), (dok.pri)

(Baca: Menteri LHK Tegaskan Indonesia Akan Kirim Balik Sampah Plastik Impor, news.detik.com (Senin, 10/06/2019), Indonesia kirim balik sampah impor negara maju, (Kamis, 13/06/2019).

Atau kabar berita tentang hewan-hewan di laut yang didapatkan mati terdampar dan di perutnya ditemukan berkilo-kilo sampah secara tidak masuk akal, dan berpotensi membawanya ke ambang kepunahan oleh karena sampah-sampah tak bertuan yang terombang-ambing di lautan dan menjadi jenis bahan makanan baru yang tidak pernah mereka (hewan-hewan itu) minta.

Atau berita yang paling sering muncul di televisi atau surat kabar pada musim hujan, dimana terjadi banjir dan ditengarai salah satu penyebabnya adalah saluran drainase yang buruk dan tertutup oleh sampah-sampah.

Warga negara asing yang juga pemerhati lingkungan memungut sampah dalam gerakan bersih pantai dan laut memperingati International Coastal Cleanup 2019 di Pantai Mertasari, Denpasar, Bali, Jumat (10/5/2019). | Nyoman Hendra Wibowo /AntaraFoto
Warga negara asing yang juga pemerhati lingkungan memungut sampah dalam gerakan bersih pantai dan laut memperingati International Coastal Cleanup 2019 di Pantai Mertasari, Denpasar, Bali, Jumat (10/5/2019). | Nyoman Hendra Wibowo /AntaraFoto
Semua hal itu tidak terlepas dari telah berhentinya Tuhan mencipta daratan, sementara manusia dan sampahnya masih terus bertumbuh. Kalaupun manusia modern mampu menciptakan daratan baru, katakanlah dengan teknologi reklamasi, itupun tidak terlepas dari permasalahan lingkungan yang turut mendampinginya.

Tidak mungkin sebuah ekosistem alami tidak terganggu, manakala ada unsur buatan hadir di sebuah tempat bukan atas kehendak alam. Atau ada juga sampah-sampah yang disuplai oleh aliran-aliran sungai yang bermuara ke laut, terombang-ambing dan akhirnya membentuk sebuah pulau plastik di sebuah tempat entah di mana di tengah lautan. Itu sudah pasti akan menimbulkan sebuah masalah baru.

Semua itu, apakah pantas disandingkan dengan fakta tentang ukuran tingkat keimanan manusia? Barangkali, meminta ampun dan maaf saja tidak akan cukup, tanpa sebuah kesadaran dan tindakan untuk mengatasinya, masalah sampah ini. Manusia agamis tidak akan berarti apa-apa bila ia masih suka membuang sampah sembarangan.

Kapitalisme dan Gaya Hidup Leisure Class yang Mengancam Kesinambungan Alam
Dalam komunitas global masyarakat ekonomi, dimana hampir semua hal bisa dibeli dengan uang, memang ada satu hal yang "positif" di dalamnya. Manusia modern menjadi lebih rajin, ekonomis tapi juga praktis.

Termasuk dengan perasaan dan pikirannya. Padahal, bukankah ekonomis dalam perasaan dan pikiran adalah musuh kemanusiaan yang hakiki? Ekonomis dalam artian irit atau hemat merasa dan berpikir membuat manusia modern sebagian besarnya menjadi lebih memilih jalan pintas dalam memudahkan hidupnya, di sebuah lingkungan yang bergerak serba cepat dan serba tidak pasti.

Kata manusia-manusia modern, "Jangankan uang halal, uang harampun sekarang susah untuk dicari." Atau di kesempatan lainnya, ada juga yang mengatakan, "Tidak zamannya lagi berpikir bahwa orang sabar dikasihani Tuhan. Sekarang orang sabar akan diinjak-injak." Dengan kata lain, persolan-persoalan praktis telah mengalahkan hal-hal yang etis di zaman ini.

Untuk semua hal, manusia modern saat ini sudah langsung mampu membuat kesimpulan konformis membela tindakannya. Ia mencuci tangan katanya "Apa boleh buat, saya harus begitu karena situasinya dilematis." Dan ajaibnya, mungkin akan didapatkan kenyataan bahwa lebih banyak orang yang bisa memaklumi pendapat yang demikian adanya.

Bukankah, ada juga diajarkan bahwa "Jangan membenarkan sebuah kebiasaan, tapi biasakanlah melakukan sesuatu yang benar?" Itu adalah sebuah kesadaran ras manusia yang paham betul bahwa sesuatu yang salah pun kalau sudah dilakukan berulang-ulang, akan menjadi kebiasaan, menjadi budaya dan karakter, diterima secara umum dan bisa saja akhirnya dipandang sebagai hal yang biasa-biasa saja atau jangan-jangan menjadi dibenarkan. Apa itu? Lagi-lagi soal kebiasaan membuang sampah sembarangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun