(Baca: Menteri LHK Tegaskan Indonesia Akan Kirim Balik Sampah Plastik Impor, news.detik.com (Senin, 10/06/2019), Indonesia kirim balik sampah impor negara maju, (Kamis, 13/06/2019).
Atau kabar berita tentang hewan-hewan di laut yang didapatkan mati terdampar dan di perutnya ditemukan berkilo-kilo sampah secara tidak masuk akal, dan berpotensi membawanya ke ambang kepunahan oleh karena sampah-sampah tak bertuan yang terombang-ambing di lautan dan menjadi jenis bahan makanan baru yang tidak pernah mereka (hewan-hewan itu) minta.
Atau berita yang paling sering muncul di televisi atau surat kabar pada musim hujan, dimana terjadi banjir dan ditengarai salah satu penyebabnya adalah saluran drainase yang buruk dan tertutup oleh sampah-sampah.
Tidak mungkin sebuah ekosistem alami tidak terganggu, manakala ada unsur buatan hadir di sebuah tempat bukan atas kehendak alam. Atau ada juga sampah-sampah yang disuplai oleh aliran-aliran sungai yang bermuara ke laut, terombang-ambing dan akhirnya membentuk sebuah pulau plastik di sebuah tempat entah di mana di tengah lautan. Itu sudah pasti akan menimbulkan sebuah masalah baru.
Semua itu, apakah pantas disandingkan dengan fakta tentang ukuran tingkat keimanan manusia? Barangkali, meminta ampun dan maaf saja tidak akan cukup, tanpa sebuah kesadaran dan tindakan untuk mengatasinya, masalah sampah ini. Manusia agamis tidak akan berarti apa-apa bila ia masih suka membuang sampah sembarangan.
Kapitalisme dan Gaya Hidup Leisure Class yang Mengancam Kesinambungan Alam
Dalam komunitas global masyarakat ekonomi, dimana hampir semua hal bisa dibeli dengan uang, memang ada satu hal yang "positif" di dalamnya. Manusia modern menjadi lebih rajin, ekonomis tapi juga praktis.
Termasuk dengan perasaan dan pikirannya. Padahal, bukankah ekonomis dalam perasaan dan pikiran adalah musuh kemanusiaan yang hakiki? Ekonomis dalam artian irit atau hemat merasa dan berpikir membuat manusia modern sebagian besarnya menjadi lebih memilih jalan pintas dalam memudahkan hidupnya, di sebuah lingkungan yang bergerak serba cepat dan serba tidak pasti.
Kata manusia-manusia modern, "Jangankan uang halal, uang harampun sekarang susah untuk dicari." Atau di kesempatan lainnya, ada juga yang mengatakan, "Tidak zamannya lagi berpikir bahwa orang sabar dikasihani Tuhan. Sekarang orang sabar akan diinjak-injak." Dengan kata lain, persolan-persoalan praktis telah mengalahkan hal-hal yang etis di zaman ini.
Untuk semua hal, manusia modern saat ini sudah langsung mampu membuat kesimpulan konformis membela tindakannya. Ia mencuci tangan katanya "Apa boleh buat, saya harus begitu karena situasinya dilematis." Dan ajaibnya, mungkin akan didapatkan kenyataan bahwa lebih banyak orang yang bisa memaklumi pendapat yang demikian adanya.
Bukankah, ada juga diajarkan bahwa "Jangan membenarkan sebuah kebiasaan, tapi biasakanlah melakukan sesuatu yang benar?" Itu adalah sebuah kesadaran ras manusia yang paham betul bahwa sesuatu yang salah pun kalau sudah dilakukan berulang-ulang, akan menjadi kebiasaan, menjadi budaya dan karakter, diterima secara umum dan bisa saja akhirnya dipandang sebagai hal yang biasa-biasa saja atau jangan-jangan menjadi dibenarkan. Apa itu? Lagi-lagi soal kebiasaan membuang sampah sembarangan.