Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Mudik, Fakta tentang Urbanisasi dan Tantangan Visi Membangun Indonesia dari Desa

2 Juni 2019   23:05 Diperbarui: 2 Juni 2019   23:12 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desa Talimbaru Kec. Barusjahe-Kab. Karo, Sumatera Utara (dokpri)

Dalam ketentuan umum, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya dalam penjelasan Undang-undang dimaksud, dijelaskan bahwa setidaknya hingga undang-undang tersebut disahkan, diundangkan dan ditandatangani oleh Presiden RI ke-6, DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO pada tanggal 15 Januari 2014, sudah ada sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu) kelurahan, yang tersebar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pengaturan tentang Desa melalui undang-undang ini diniatkan untuk menjawab berbagai kebutuhan, khususnya kebutuhan masyarakat dan pemerintahan desa agar sesuai dengan perkembangan zaman. Hal itu terutama antara lain menyangkut kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan, agar tidak  menimbulkan kesenjangan antar wilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat mengganggu keutuhan NKRI.

Sejalan dengan asas pengaturan dalam undang-undang ini, yang salah satunya adalah rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal usul, maka pengenalan dan penghargaan atas keberadaan desa adalah sebuah kesadaran yang penting untuk direvitalisasi, terutama kepada anak-anak masa kini, agar generasi penerus bangsa kita tidak lupa akan asal usulnya.

Sesuai dengan penjelasan Pasal 19 Undang-undang ini, yang dimaksud dengan "hak asal usul" adalah hak yang merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsa desa atau prakarsa masyarakat desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat, antara lain sistem organisasi masyarakat adat, kelembagaan, pranata dan hukum adat, tanah kas Desa, serta kesepakatan dalam kehidupan masyarakat Desa.

Pengaturan keberadaan puluhan ribu desa di Indonesia, juga perlu memperhatikan berbagai hal yang ada di setiap desa, meliputi keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan, dan keberlanjutan. Desa adalah sebuah ruang hidup yang layak untuk dicintai dan dirindukan. Mungkin atas dasar kesadaran itu, lirik lagu "Desaku yang Kucinta"karya L. Manik diciptakan. Lirik lagu itu adalah sebagai berikut:

Desaku yang kucinta
Pujaan hatiku
Tempat ayah dan bunda
Dan handai taulanku

Tak mudah kulupakan
Tak mudah bercerai
Selalu kurindukan
Desaku yang permai


Namun pemahaman akan keindahan lirik sebuah lagu tidak cukup ditangkap dengan reproduksi imajinasi audio visual saja tanpa dialami langsung hingga membuahkan suatu kesadaran objektif. Fakta menunjukkan sesuai data sensus Penduduk tahun 2010 dari Badan Pusat Statistik (BPS) penduduk Indonesia pada tahun 2010 adalah sebanyak 237.641.326 jiwa, yang mencakup penduduk yang bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 118.320.256 jiwa (49,79%) dan di daerah perdesaan sebanyak 119.321.070 jiwa (50,21%).

Sementara itu, dalam sebuah publikasi data Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035, yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), BPS, dan United Nations Population Fund pada tahun 2013, bahwa pada tahun 2020 nanti penduduk Indonesia diproyeksikan berjumlah 271.066.400 jiwa, atau meningkat sebanyak 33.425.074 jiwa dari jumlah penduduk pada tahun 2010, dengan persentase penduduk yang bertempat tinggal di daerah perkotaan sebesar 56,7% dan di daerah perdesaan sebesar 43,3%. Kalau pada tahun depan hal ini terjadi, maka hanya dalam waktu 10 tahun, terjadi migrasi penduduk yang signifikan membalikkan keadaan. Hal ini berpotensi menambah beban perkotaan di satu sisi dan pengurangan sumber daya manusia perdasaan pada sisi yang lain.

Proyeksi yang lebih mencengangkan terus berlanjut, hingga pada tahun 2035 nanti, tingkat urbanisasi menyebabkan jumlah penduduk yang bertempat tinggal di daerah perkotaan diproyeksikan sudah mencapai 66,6%, artinya hanya sepertiga dari total penduduk Indonesia yang akan bertempat tinggal di desa. Untuk beberapa provinsi, terutama provinsi di Jawa dan Bali, tingkat urbanisasinya sudah
lebih tinggi dari Indonesia secara total. Tingkat urbanisasi di empat provinsi di Pulau Jawa pada
tahun 2035 sudah di atas 80 persen, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Banten.

Masih menurut publikasi tersebut, bahwa urbanisasi dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pertumbuhan penduduk daerah perkotaan, migrasi dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan, dan reklasifiasi desa perdesaan menjadi desa perkotaan. Proyeksi penduduk daerah perkotaan pada proyeksi ini tidak dilakukan dengan membuat asumsi untuk ketiga faktor tersebut, tetapi berdasarkan perbedaan laju pertumbuhan penduduk daerah perkotaan dan daerah perdesaan (Urban Rural Growth Difference/URGD). Namun begitu, dengan membuat asumsi URGD untuk masa yang akan datang, berarti proyeksi ini secara tidak langsung juga sudah mempertimbangkan ketiga faktor tersebut.

Kalau proyeksi ini benar terjadi, setidaknya pada tahun depan, akan menjadi sebuah tantangan ironis di mana pada saat yang sama pemerintah pusat tengah menggalakkan niat membangun Indonesia dari desa, dari pinggiran. Niat yang diafirmasi melalui kebijakan alokasi anggaran Dana Desa, yang setiap tahun mengalami kenaikan sangat signifikan sejak tahun 2014 sampai sekarang.

Mengapa orang desa berbondong-bondong berniat menjadi orang kota? Adakah kemungkinan orang kota berbondong-bondong berniat menjadi orang desa?

Menyadari hal itu, pada hari libur kenaikan Isa Al Masih pada tanggal 30 Mei yang lalu, kami bersama rombongan teman-teman kantor dan keluarga sepakat berlibur di sebuah kawasan persawahan sambil menangkap ikan di Desa Talimbaru, Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Bukan lagi soal banyaknya ikan yang akan bisa ditangkap, tapi esensi dari pengenalan akan desa adalah hal yang penting untuk didekatkan kepada anak-anak.

Menangkap ikan di sawah bersama anak-anak dan keluarga teman sekantor di Desa Talimbaru (dokpri)
Menangkap ikan di sawah bersama anak-anak dan keluarga teman sekantor di Desa Talimbaru (dokpri)
Menangkap ikan di sawah bersama anak-anak dan keluarga teman sekantor di Desa Talimbaru (dokpri)
Menangkap ikan di sawah bersama anak-anak dan keluarga teman sekantor di Desa Talimbaru (dokpri)
Kalau dari sudut pandang studi fenomenologi, untuk menangkap esensi dari sebuah hal dan peristiwa maka setidaknya perlu diperhatikan dua hal, yakni visi eidetik dan epoche. Untuk bisa melanjutkan pemahaman ke tingkat visi eidetik, yakni mampu menangkap esensi atau makna hakiki dari suatu fenomena, maka harus terlebih dulu terbangun epoche yang kuat, yang berarti terbangunnya pengekangan atau penundaan terhadap sebuah penilaian subjektif. Kenapa sebuah penilaian subjektif perlu dikekang atau ditunda? Karena penilaian yang subjektif dan terlalu cepat tanpa usaha untuk mendalami esensi atau hakikat, maka yang terjadi adalah timbulnya penilaian yang salah.

Penundaan sebuah penilaian demi mampu menangkap esensi dan hakikat sesuatu hal atau peristiwa bisa melalui sebuah proses penciptaan pengalaman reproduktif atas hal yang ingin didekati dan dipahami. Oleh karena itu, untuk mengenali dan memahami tentang keberadaan desa dan segala hal yang terkait dengannya tidak ada jalan yang lebih baik, selain mencoba menjadi orang desa sendiri. Hal itu mencakup empati terhadap pengalaman, pemikiran, emosi dan ide-ide dari orang-orang desa.

di sawah desa Talimbaru bersama keluarga (dokpri)
di sawah desa Talimbaru bersama keluarga (dokpri)
mandi di sungai bersama anak-anak di desa Talimbaru (dokpri)
mandi di sungai bersama anak-anak di desa Talimbaru (dokpri)
keceriaan mandi di sungai bersama bapa-bapa di sungai desa Talimbaru (dokpri)
keceriaan mandi di sungai bersama bapa-bapa di sungai desa Talimbaru (dokpri)
dokpri
dokpri
kebersamaan dan keceriaan di desa bersama keluarga (dokpri)
kebersamaan dan keceriaan di desa bersama keluarga (dokpri)
Baca juga: https://www.kompasiana.com/teotarigan/5c018fbebde5756ec61085d3/lingkaran-besar-dengan-beragam-isi-dialektika-orang-kampung-dalam-bungkus-obrolan-kedai-kopi?page=1

Memandang hamparan sawah dan kolam ikan yang terpampang di depan mata, terbersit imaji bahwa desa sesungguhnya memendam potensi besar kesejahteraan bila dila berhasil direspons dengan baik, baik oleh orang desa sendiri maupun oleh orang kota yang telah mengalami mental hectic menghadapi berbagai keterbatasan dan permasalahan yang rumit di perkotaan, baik lapangan kerja, ketimpangan sosial, sanitasi, tingkat kriminalitas, dan lain sebagainya. Desa dengan dana desa berpotensi menggarap berbagai hal menjadi bernilai ekonomi, membuka lapangan kerja, dan menyehatkan secara mental. Dana desa berpotensi membuka berbagai bentuk badan usaha milik desa yang begerak di bidang agrobisnis, pariwisata, maupun kedua-duanya sekaligus dalam bentuk agrowisata.

kolam ikan di desa Talimbaru, Kec. Barusjahe, Kab. Karo-Sumatera Utara (dokpri)
kolam ikan di desa Talimbaru, Kec. Barusjahe, Kab. Karo-Sumatera Utara (dokpri)
bersama keluarga di sawah di Desa Talimbaru (dokpri)
bersama keluarga di sawah di Desa Talimbaru (dokpri)
Hal ini tentu hanya akan bisa terwujud, bila generasi muda yang menjadi kelompok umur dominan piramida penduduk Indonesia, dengan 60% populasi merupakan penduduk berusia di bawah 40 tahun, mau mengalami empati terhadap pengalaman, pemikiran, emosi dan ide-ide dari orang-orang desa dan oleh karenanya bersedia membangun Indonesia dari desa, dari pinggiran. Tidak sekadar memandang desa sebagai berbau pesing, penuh sampah plastik berserakan, dan hanya mengenal orang-orangnya sebatas orang yang pasrah dan terlena menunggu senja, karena sebenarnya tidak ada kota yang tidak dimulai dari sebuah desa.

Refleksi dari Mudik ke Kampung Halaman bagi Pembangunan Desa

Masa menjelang berakhirnya bulan suci Ramadhan dan menyambut perayaan hari raya Idul Fitri biasanya diikuti oleh sebuah fenomena migrasi penduduk yang dinamakan mudik. Mudik adalah fenomena khas Indonesia. Di satu sisi mudik membawa migrasi temporer penduduk kota ke desa-desa di berbagai wilayah, dan di sisi yang lainnya tidak jarang juga membawa migrasi permanen penduduk desa ke kota-kota di berbagai wilayah Indonesia setelahnya.

Sebagai sebuah fenomena, maka mudik lebaran adalah momen yang penuh kehangatan yang cocok dijadikan sebagai sebuah ajang refleksi dalam memandang desa, tidak saja silaturahmi. Merefleksi kembali pandangan Gerardus van der Leeuw, salah satu tokoh besar studi fenomenologi, yang menjelaskan dalam buku karangannya berjudul Phenomenologie der Religion (1933), bahwa ada suatu bentuk kesadaran yang kian berkembang dimana realita terlalu kaya dan majemuk bagi kita, sehingga sangat sulit untuk berharap bahwa kita mungkin suatu saat akan mampu menafsirkan dan menuangkannya kedalam suatu falsafah tunggal melalui suatu metode tunggal.

Kekangan atau penundaan terhadap penilaian fenomenologis yang berdimensi tunggal dan memaksakan kehendak hanya baru dapat muncul setelah kita mengalami devosi atau penyangkalan diri yang hangat secara spontan. Pemahaman ini akan memberi kita kapasitas untuk melihat secara objektif esensi dari sebuah fenomena, bahkan mengupas subjektifitas suatu persepsi dan membawa kita ber-refleksi menembus jauh akan apa yang tampak.

Mudik ke kampung halaman, ke desa, memberikan kesempatan bagi kita untuk menjadi bagian dari komunitas pedesaan. Untuk menjadi bagian dari komunitas maka kita harus merasa tertarik, aktif mencari tahu apa yang sedang terjadi, ikut mengambil peran, berhenti mengeluh dan bergabung, serta mencoba segala sesuatu yang ada di desa sebagai warga desa.

Urbanisasi sangat berpotensi mengakibatkan desa menjadi bangkrut. Itu sama seperti sebuah contoh ketika sebuah toko kecil menjelang bangkrut, semua orang mengeluh dan menyayangkannya. Namun, mereka terus saja berbelanja di toko serba ada yang ada di kota. Jika menginginkan pembangunan Indonesia dari desa, maka kita harus menjadi bagian dari desa itu dan mendukungnya, kalau tidak maka ia akan mandeg dan mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun