Begitulah, setidaknya aku telah membantu menyumbangkan seember penuh sisa makanan untuk pakan ternak milik sepasang suami istri. Ditambah satu kantong botol bekas yang masih laku dijual ke pengepul, setelah cukup banyak mereka kumpulkan bersama barang-barang bekas dari tempat-tempat sampah. Mungkin setelah sebulan, dua bulan, atau bahkan tahun depan, itu dijual seharga beberapa rupiah. Namun, sebenarnya saya membantu diri saya sendiri, mungkin itu fakta yang lebih cocok, karena semua bantuan itupun di rumah memang tidak dibutuhkan lagi.
Lalu, bagaimana dengan takdir?
Mungkin sering luput dari perhatian, tapi ketegaran dalam setiap kegetiran tentu menyisakan setidak-tidaknya walau sedikit saja harapan di dalamnya. Meminjam ungkapan yang dipakai dalam ajaran agama-agama dan orang-orang beragama, di saat kakek dan nenek itu mungkin tidak menjadi pemeluk salah satu diantaranya, bahwa harapan itu mungkin saja dasar dari segala sesuatu yang kakek dan nenek itu yakini, dan bukti dari segala sesuatu yang tidak mereka lihat.
Kalau keyakinan atas fakta empiris yang ada dan bukti atas segala sesuatu yang terlihat yang menjadi dasarnya, mungkin yang terjadi mereka akan pasrah. Itu adalah satu kata yang sangat dekat dengan kata menyerah, menyerah pada takdir.
Berbicara tentang takdir, penulis G.K. Chesterton sebagaimana dikutip Ben Dupre, mengatakan bahwa: "Sikap menyerah pada takdir sehingga tidak melakukan sesuatu karena takdir sudah pasti, adalah sebuah sikap fatalistik yang mengabaikan alternatif yang sebetulnya sangat masuk akal, bahwa melakukan sesuatu mungkin akan mencegah takdir Anda."
Dalam sebuah esai yang diterbitkan pada tahun 1928, Chesterton menyimpulkan kesalahan sikap fatalistik tentang takdir itu dengan mengatakan: "Saya tidak percaya pada takdir yang ditetapkan pada manusia bagaimanapun mereka bertindak, tetapi saya sungguh percaya pada takdir yang ditetapkan pada mereka kalau mereka tidak bertindak." Maksudnya adalah, kita harus merebut takdir kita, dan bukan membiarkan diri kita ditiup ke mana saja angin keberuntungan membawa kita.
Pekerjaan yang mapan, keluarga yang damai tenteram, hari-hari yang dikelilingi kehangatan teman-teman dan lingkungan yang baik, barangkali adalah sedikit dari banyak hal yang diharapkan setiap orang, juga kakek dan nenek ini berdua. Apa yang belum menjadi kenyataan adalah sesuatu yang dijadikan harapan. Apa yang bisa diharapkan dari kenyataan?
Hidup sungguh tidak hanya soal makanan, tapi juga soal mengelola harapan. Melanjutkan hidup berarti tidak berhenti berharap. Itu pun termasuk sebuah usaha menuju suatu masa depan yang lebih baik
Filsuf kelahiran Austria, Karl Popper pernah berkata, "Mereka yang menjanjikan kita surga di dunia tidak pernah menghasilkan apapun selain neraka." Setidaknya sejak masa Plato, tidak pernah ada kekurangan visioner, mistikus, dan orang-orang aneh, mereka telah membangkitkan dunia-dunia baru yang berani mendorong harapan dan memamerkan ketololan dalam ukuran yang kurang lebih sama."
Semoga masalah makanan tidak membatasi orang-orang untuk bersukacita dalam pengharapan, untuk bersabar dalam kesesakan dan untuk bertekun di dalam doa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H