Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Hidupku Diberkati, Jika Hidup Membuatku Memperhatikan Orang Lain?

18 Mei 2019   23:59 Diperbarui: 19 Mei 2019   19:53 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bapak dan Ibu Nahun di suatu sore (dokpri)

Bagi sebagian insan, hidup dapat tetap berjalan bukan saja karena cukupnya daya dukung hidup. Entah itu pekerjaan yang mapan, keluarga yang damai tenteram, dikelilingi kehangatan teman-teman dan lingkungan yang baik. Melainkan, mereka dapat tetap menjalankan hidup karena digerakkan oleh harapan.

Banyak hal yang diharapkan orang-orang dalam hidup. Bagi sebagian, terlalu banyak harapan kadang-kadang justru membuatnya kelihatan seperti tidak bisa lagi menikmati hidup. Bagi sebagian lainnya, terlihat seperti tidak punya harapan, tapi sebenarnya sangat menikmati hidup. Berbagai parameter yang dikonsepsi oleh para teoretikus mungkin tidak berlaku bagi sebagian kecil manusia untuk menjadi ukuran indikator angka harapan hidup. Sebuah indikator untuk menilai indeks pembangunan manusia.

Dua hari lagi, Indonesia akan merayakan hari kebangkitan nasional, pada tanggal 20 Mei 2019 nanti. Dimanakah posisi kita dalam masa kebangkitan nasional yang ke-111 tahun nanti? Rasanya masih banyak orang dan masih banyak hal yang masih terhimpit, walaupun mungkin kebanyakan kita didata sebagai manusia-manusia yang sudah bangkit. Secara nasional, sudahkah kita semuanya bangkit?

Ketika kita mengatakan untuk tidak mementingkan diri sendiri, tidakkah kenyataannya sebaliknya?

Adalah sepasang suami istri. Mereka berdua adalah orang tua lanjut usia yang tinggal di sebuah rumah yang sangat bersahaja, tidak jauh dari rumah tempat kami tinggal. Kami bertetangga. Tidak hanya sederhana, rumah tempat tinggalnya mungkin nyaris tidak layak. Bahkan baru dialiri listrik sejak dua tahun terakhir.

Sang suami memiliki kondisi fisik yang tidak begitu baik, ia tidak bisa berjalan sempurna. Sementara itu, sang istri terganggu pendengarannya. Suka berbicara keras-keras, karena disangkanya orang-orang tidak mendengar apa yang dia sampaikan, padahal sebaliknya. Tapi mereka masih saja sangat rajin di usia tuanya, mereka bekerja.

Sehari-hari, sang suami menggenjot beca butut modifikasi untuk berkeliling mengais barang-barang bekas di tempat-tempat sampah. Tidak jauh-jauh, tapi hampir semua tempat sampah di gang-gang satu desa ia sambangi setiap hari, mengais rezeki. Karena tidak pernah berpindah tempat tanpa mengendarai beca modifikasinya, benda itu terlihat seperti telah menyatu dan menjadi bagian dari dirinya yang berkebutuhan khusus.

Sedangkan sang istri, berkeliling dari rumah ke rumah mengumpulkan nasi dan makanan sisa dari orang-orang, jiran tetangganya. Ia memelihara beberapa ekor ternak babi, yang mungkin lebih dia perhatikan makan sehari-harinya daripada dirinya sendiri. Sesekali, nenek ini ikut suaminya, membonceng di gerobak beca modifikasi untuk bantu-bantu mengais tong sampah, dan tentu saja sambil mengumpulkan sisa-sisa makanan untuk ternaknya.

Apakah mereka menikmati hidup atau tidak, di saat daya dukung hidup terlihat begitu terbatas mereka punya, tidak bisa diketahui pasti. Yang jelas, untuk angka harapan hidup mereka termasuk di atas rata-rata. Angka harapan hidup rata-rata manusia di kampung ini menurut Badan Pusat Statistik bahkan menurun setidaknya dalam rentang 2011-2015, dari 72 tahun menjadi 70 tahun. Sedangkan mereka berdua ini, sekurang-kurangnya telah berusia 75 tahun.

Sore tadi, aku mencegat mereka di jalan, karena tempat penampungan sisa-sisa makanan di rumah sudah penuh, untuk mereka ambil. Ada juga beberapa botol bekas kemasan air mineral, botol bekas kemasan shampo, botol bekas kemasan minuman bersoda, hasil dikumpulkan selama sebulan. Banyaknya hanya satu kantongan kresek yang agak besar bekas belanja di minimarket.

Membaca 50 gagasan besar yang perlu Anda ketahui dari Ben Dupre, yang mengulas berbagai gagasan di bidang politik, filsafat, agama, ekonomi, sains dan seni, mulai dari gagasan pertama tentang Platonisme hingga gagasan ke-50 tentang Ledakan Besar atau "Big Bang," minimal ada dua gagasan menarik bila dihubungkan dengan pertemuan saya pada sore tadi dengan bapak dan ibu Nahun, tentang altruisme dan takdir.

Dalam gagasan tentang altruisme, Ben menuliskan dalam bukunya demikian:

Tidak berapa lama setelah pukul 9:00 pada 11 September 2001, beberapa menit setelah peristiwa mematikan yang disebabkan oleh penerbangan United Airlines 175, sekelompok kecil orang yang selamat tampak berdempetan dengan perasaan takut di lobi atas yang rusak di lantai 78 Menara Selatan World Trade Center.

Beberapa menderita luka bakar yang mengerikan, semua merasa trauma karena kekacauan dan pembantaian yang mengerikan di sekeliling mereka. Mereka berdoa memohon bantuan, tapi pada kenyataannya, tanpa disadari, dalam menara terkutuk itu, mereka hanya menunggu kematian.

Tiba-tiba, entah darimana, seorang pemuda muncul, menaggalkan kausnya, dan memakai bandana merah untuk melindungi hidung dan mulutnya. Dengan sigap mengambil alih tanggung jawab, ia menuntun para korban selamat yang kebingungan itu menuju sebuah tangga terbuka yang diselimuti asap dan puing-puing.

Lima belas lantai di bawah, dia meninggalkan orang-orang yang hidupnya telah ia selamatkan (termasuk seorang wanita muda berkulit hitam yang digendong di punggungnya) dan kembali lagi ke atas untuk mengulangi aksi heroiknya dalam inferno di atas.

Pemuda itu bernama Welles Crowther, seorang pedagang ekuitas dan sukarelawan pemadam kebakaran berusia 24 tahun. Enam bulan sejak kejadian itu, tubuhnya ditemukan di lobi utama Menara Selatan. Jasadnya berhasil diidentifikasi oleh dua orang perempuan yang berutang hidup mereka kepadanya sebagai "pemuda dengan bandana merah." Ia, Welles, tampaknya sedang beranjak untuk melakukan misi penyelamatan lainnya ketika ia tertimpa menara yang runtuh.

Ibu Welles menyatakan kebanggannya atas rasa tanggung jawab membantu orang lain, yang terdapat dalam diri putranya. Sementara ayahnya menyatakan harapan akan warisan yang mungkin ditinggalkan oleh anaknya, yakni; "Jika cerita Welles dapat membuat orang untuk memikirkan orang lain, maka Tuhan memberkati mereka, Tuhan memberkatinya."

Dalam cerita tentang aksi Welles ini, seiring dengan keberanian besarnya, dia memperlihatkan tampilan altruisme yang luar biasa, yakni sebuah keinginan untuk menempatkan kepentingan dan kesejahteraan orang lain di atas kepentingan dan kesejahteraannya sendiri, hingga tingkat akhir yaitu mengorbankan hidupnya sendiri.

Apakah kebajikan kepada orang lain merupakan sebuah gagasan altruisme murni (egoisme etis) atau sesungguhnya dimotivasi oleh kepedulian terhadap kepentingan mereka sendiri  (egoisme psikologis)? Sebagaimana dikemukakan oleh Friedrich Nietzsche menjelang akhir abad ke-19, ia menganggap kebajikan sebagai "tirani melawan kodrat." Kebajikan sebagai sebuah inversi (pembalikan) dan perversi (penyimpangan) dari tatanan kodrat.

Tergerak oleh kebencian dan kecemburuan, kaum yang lemah dan yang jelek telah memulai pemberontakan, revolusi budak, melawan yang kuat dan yang cantik. Terintimidasi oleh senjata moralitas dari rasa bersalah dan menyalahkan, yang terbaik dan termulia dari humanitas tanpa disadari bersekongkol dalam penindasan dan perbudakan mereka sendiri. Persekongkolan ini membuat humanitas menjadi buta terhadap tujuan sejati dan alamiah manusia, yaitu kehendak untuk berkuasa.

Oleh karena itu, dengan gaya bahasa sinis, Nietzsche mengutuk kegiatan karitatif dan perilaku altruistik sebagai manifestasi dari moralitas budak, di mana yang lemah menaklukkan yang kuat. Katanya: "Yang lemah dan sakit-sakitan akan binasa, itulah prinsip pertama filantropi kita." (Ben Dupre, 50 gagasan besar yang perlu Anda ketahui, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010, hlm. 18-20).

Begitulah, setidaknya aku telah membantu menyumbangkan seember penuh sisa makanan untuk pakan ternak milik sepasang suami istri. Ditambah satu kantong botol bekas yang masih laku dijual ke pengepul, setelah cukup banyak mereka kumpulkan bersama barang-barang bekas dari tempat-tempat sampah. Mungkin setelah sebulan, dua bulan, atau bahkan tahun depan, itu dijual seharga beberapa rupiah. Namun, sebenarnya saya membantu diri saya sendiri, mungkin itu fakta yang lebih cocok, karena semua bantuan itupun di rumah memang tidak dibutuhkan lagi.

Lalu, bagaimana dengan takdir?

Mungkin sering luput dari perhatian, tapi ketegaran dalam setiap kegetiran tentu menyisakan setidak-tidaknya walau sedikit saja harapan di dalamnya. Meminjam ungkapan yang dipakai dalam ajaran agama-agama dan orang-orang beragama, di saat kakek dan nenek itu mungkin tidak menjadi pemeluk salah satu diantaranya, bahwa harapan itu mungkin saja dasar dari segala sesuatu yang kakek dan nenek itu yakini, dan bukti dari segala sesuatu yang tidak mereka lihat.

Kalau keyakinan atas fakta empiris yang ada dan bukti atas segala sesuatu yang terlihat yang menjadi dasarnya, mungkin yang terjadi mereka akan pasrah. Itu adalah satu kata yang sangat dekat dengan kata menyerah, menyerah pada takdir.

Berbicara tentang takdir, penulis G.K. Chesterton sebagaimana dikutip Ben Dupre, mengatakan bahwa: "Sikap menyerah pada takdir sehingga tidak melakukan sesuatu karena takdir sudah pasti, adalah sebuah sikap fatalistik yang mengabaikan alternatif yang sebetulnya sangat masuk akal, bahwa melakukan sesuatu mungkin akan mencegah takdir Anda."

Dalam sebuah esai yang diterbitkan pada tahun 1928, Chesterton menyimpulkan kesalahan sikap fatalistik tentang takdir itu dengan mengatakan: "Saya tidak percaya pada takdir yang ditetapkan pada manusia bagaimanapun mereka bertindak, tetapi saya sungguh percaya pada takdir yang ditetapkan pada mereka kalau mereka tidak bertindak." Maksudnya adalah, kita harus merebut takdir kita, dan bukan membiarkan diri kita ditiup ke mana saja angin keberuntungan membawa kita.

Pekerjaan yang mapan, keluarga yang damai tenteram, hari-hari yang dikelilingi kehangatan teman-teman dan lingkungan yang baik, barangkali adalah sedikit dari banyak hal yang diharapkan setiap orang, juga kakek dan nenek ini berdua. Apa yang belum menjadi kenyataan adalah sesuatu yang dijadikan harapan. Apa yang bisa diharapkan dari kenyataan?

Hidup sungguh tidak hanya soal makanan, tapi juga soal mengelola harapan. Melanjutkan hidup berarti tidak berhenti berharap. Itu pun termasuk sebuah usaha menuju suatu masa depan yang lebih baik

Filsuf kelahiran Austria, Karl Popper pernah berkata, "Mereka yang menjanjikan kita surga di dunia tidak pernah menghasilkan apapun selain neraka." Setidaknya sejak masa Plato, tidak pernah ada kekurangan visioner, mistikus, dan orang-orang aneh, mereka telah membangkitkan dunia-dunia baru yang berani mendorong harapan dan memamerkan ketololan dalam ukuran yang kurang lebih sama."

Semoga masalah makanan tidak membatasi orang-orang untuk bersukacita dalam pengharapan, untuk bersabar dalam kesesakan dan untuk bertekun di dalam doa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun