Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Keharuan dalam Keadilan, Sejatinya ASN Memang Ada untuk Mengabdi dan Melayani

25 April 2019   19:54 Diperbarui: 26 April 2019   01:07 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasca diputusnya gugatan perkara uji materi beberapa pasal pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, terkait pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terhadap Aparatur Sipil Negara yang dipidana dengan pidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum, dalam rapat permusyawaratan Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yakni:

  1. Nomor 91/PUU-XVI/2018 pada Senin, 22 April 2019, yang menyatakan menolak permohonan para pemohon terkait uji materi Pasal 87 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945;
  2. Nomor 87/PUU-XVI/2018 pada Kamis, 11 April 2019, yang memutuskan menerima sebagian permohonan para pemohon terkait frasa "pidana umum" pada Pasal 87 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, dihapus dari ketentuan terkait Pemberhentian Tidak Dengan Hormat, tapi menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya;
  3. Nomor 15/PUU-XVII/2019 pada Senin, 22 April 2019, yang menyatakan menolak permohonan pemohon terkait uji materi Pasal 87 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945; dan
  4. Nomor 88/PUU-XVI/2018 pada Senin, 22 April 2019, yang menyatakan menolak permohonan pemohon terkait uji materi Pasal 87 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

yang masing-masing diucapkan pada sidang pleno Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada Kamis, 25 April 2019.

Kembali membaca risalah sidang atas perkara di atas, yang berlangsung pada Selasa, 12 Februari 2019 yang lalu di Mahkamah Konstitusi, dengan acara mendengarkan keterangan ahli presiden, Dr. Tri Hayati, seorang yang ahli di bidangnya, di mana menurut beliau telah terjadi sebuah gejala dalam hukum yang disebut dengan formalisme hukum.

Baca juga:  Formalisme Hukum, Tahu tapi Kau Memilih Seolah Engkau Tak Tahu

Gejala itu menurut beliau, sebagaimana dikutip Nicole Niessen, bahwa di negara maju maupun negara berkembang, bukanlah tidak lazim masyarakat yang mengatur hukum daripada hukum yang mengatur masyarakat.

Lagi tambahnya, "bertalian dengan hal tersebut, Riggs mengutip yang dikutip oleh Niessen, bahwa perilaku masyarakat termasuk para birokrat, kerap senjang dari hukum. Kesenjangan tersebut merupakan gejala yang disebut formalisme, sebagai lawan dari efektivitas hukum."

Dalam konteks gugatan judicial review yang dilayangkan oleh beberapa Aparatur Sipil Negara (ASN) yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar, maka tindakan beberapa ASN tersebut dapat dikatakan merupakan gejala formalisme, di mana terjadi kesenjangan hukum yang dilakukan oleh para birokrat itu sendiri.

Dr. Tri Hayati kemudian menambahkan bahwa salah satu prinsip bagi profesi ASN yaitu adanya komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab pada pelayanan publik, serta profesionalitas jabatan. Betapa seorang ASN itu dituntut komitmen dan integritas moral yang begitu tinggi, serta tanggung jawab terhadap pekerjaanya, di mana merupakan kepercayaan penuh yang diberikan kepada ASN tersebut.

Yang tak kalah penting, seorang ASN dituntut profesional dalam jabatannya, yang menjadi amanah dari rakyat dan pemerintah. Tidak sembarang ASN dapat memperoleh kepercayaan dalam jabatan karena itu dituntut terciptanya pegawai ASN yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Undang-Undang ASN juga mengamanatkan seorang ASN wajib melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab, serta menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan, dan tindakan. 

Dengan demikian, menjadi sangatlah berat sanksinya bila seorang ASN yang memiliki jabatan dan tanggung jawab yang demikian besar bila melakukan suatu penyimpangan hukum.

Dalam analisisnya terhadap tindakan pemberhentian tidak dengan hormat bagi para Pegawai Negeri Sipil yang dipidana dengan pidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan, Dr. Tri Hayati mengatakan bahwa " tindak pidana kejahatan yang berhubungan dengan jabatan, tidak ada syarat berapa lamanya penjara atau kurungan, sanksinya adalah pemberhentian tidak dengan hormat. 

Tujuan dari pengaturan sanksi bagi ASN yang melakukan pelanggaran hukum agar setiap ASN benar-benar dapat menjalankan kredibilitas dan profesionalitas yang diembannya serta menjaga nama baik jabatan yang dipercayakan kepadanya. 

Hal ini sejalan dengan pernyataan Niessen, yaitu untuk mencegah perilaku para birokrat dari kesenjangan hukum yang merupakan gejala formalisme, sebagai lawan dari efektivitas hukum."

Menurut Dr. Tri Hayati, pengaturan sanksi tegas berupa pemberhentian tidak dengan hormat ini, memberi kepastian dan perlindungan hukum bagi segenap ASN yang menjalankan tugasnya sesuai dengan regulasi yang ada dan juga menjamin perlakuan dan kesempatan yang sama bagi segenap ASN untuk mematuhi regulasi yang ada. Inilah aspek keadilan dari pengaturan norma Undang-Undang ASN, katanya.

Dia menyimpulkan bahwa sanksi tegas ini sejalan dengan teori keadilan korektif, yang diambil dari pendapat Aristoteles, yang berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah sejalan dengan tujuan pemidanaan.

Pada hari ini, Kamis, 25 April 2019, analisis dari sang Doktor, ternyata diamini oleh para Hakim Konstitusi yang mengadili perkara dimaksud.

Para Aparatur Sipil Negara tentu harus tunduk terhadap putusan pengadilan yang dihasilkan dari sebuah proses peradilan yang sah dan konstitusional. Namun, ada terselip perasaan keharuan dalam memandang kenyataan yang terjadi, bahkan telah lama berlangsung di republik ini.

Kesenjangan dalam pemahaman hukum dan dalam praktiknya, yang menimpa sebagian Aparatur Sipil Negara di negeri ini, sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh sekian banyak kesenjangan lainnya di negeri ini. Mulai dari kesenjangan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan (ipoleksosbudhankam) bahkan kesenjangan mental, yang menyebabkan sebagian, bukan seluruhnya, Aparatur Sipil Negara justru terjebak dalam sebuah sistem politisasi birokrasi yang korup. Kalau tidak benar demikian adanya, tentu negeri kita ini tidak akan dinilai sebagai salah satu negara yang terkorup di dunia.

Pemberantasan korupsi tentu harus menjadi tujuan dan semangat seluruh elemen anak negeri. Di dalamnya ada peran masyarakat, dunia usaha, sektor swasta, lembaga penegakan hukum, lembaga peradilan, dan tentu saja pemerintah itu sendiri.

Kiranya Tuhan Yang Maha Esa memampukan Aparatur Sipil Negara semakin amanah dan berhati-hati dalam menjalankan tugasnya, serta memberikan hidayah bagi seluruh anak negeri, siapa saja, untuk memberikan dukungan dalam rangka terwujudnya perubahan budaya kerja dan budaya organisasi di birokrasi. Karena sejatinya untuk itulah birokrasi ada, untuk mengabdi dan melayani masyarakat.

Tuhan memberkati Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun