Pasca diputusnya gugatan perkara uji materi beberapa pasal pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, terkait pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terhadap Aparatur Sipil Negara yang dipidana dengan pidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum, dalam rapat permusyawaratan Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yakni:
- Nomor 91/PUU-XVI/2018 pada Senin, 22 April 2019, yang menyatakan menolak permohonan para pemohon terkait uji materi Pasal 87 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945;
- Nomor 87/PUU-XVI/2018 pada Kamis, 11 April 2019, yang memutuskan menerima sebagian permohonan para pemohon terkait frasa "pidana umum" pada Pasal 87 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, dihapus dari ketentuan terkait Pemberhentian Tidak Dengan Hormat, tapi menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya;
- Nomor 15/PUU-XVII/2019 pada Senin, 22 April 2019, yang menyatakan menolak permohonan pemohon terkait uji materi Pasal 87 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945; dan
- Nomor 88/PUU-XVI/2018 pada Senin, 22 April 2019, yang menyatakan menolak permohonan pemohon terkait uji materi Pasal 87 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
yang masing-masing diucapkan pada sidang pleno Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada Kamis, 25 April 2019.
Kembali membaca risalah sidang atas perkara di atas, yang berlangsung pada Selasa, 12 Februari 2019 yang lalu di Mahkamah Konstitusi, dengan acara mendengarkan keterangan ahli presiden, Dr. Tri Hayati, seorang yang ahli di bidangnya, di mana menurut beliau telah terjadi sebuah gejala dalam hukum yang disebut dengan formalisme hukum.
Baca juga: Â Formalisme Hukum, Tahu tapi Kau Memilih Seolah Engkau Tak Tahu
Gejala itu menurut beliau, sebagaimana dikutip Nicole Niessen, bahwa di negara maju maupun negara berkembang, bukanlah tidak lazim masyarakat yang mengatur hukum daripada hukum yang mengatur masyarakat.
Lagi tambahnya, "bertalian dengan hal tersebut, Riggs mengutip yang dikutip oleh Niessen, bahwa perilaku masyarakat termasuk para birokrat, kerap senjang dari hukum. Kesenjangan tersebut merupakan gejala yang disebut formalisme, sebagai lawan dari efektivitas hukum."
Dalam konteks gugatan judicial review yang dilayangkan oleh beberapa Aparatur Sipil Negara (ASN) yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar, maka tindakan beberapa ASN tersebut dapat dikatakan merupakan gejala formalisme, di mana terjadi kesenjangan hukum yang dilakukan oleh para birokrat itu sendiri.
Dr. Tri Hayati kemudian menambahkan bahwa salah satu prinsip bagi profesi ASN yaitu adanya komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab pada pelayanan publik, serta profesionalitas jabatan. Betapa seorang ASN itu dituntut komitmen dan integritas moral yang begitu tinggi, serta tanggung jawab terhadap pekerjaanya, di mana merupakan kepercayaan penuh yang diberikan kepada ASN tersebut.
Yang tak kalah penting, seorang ASN dituntut profesional dalam jabatannya, yang menjadi amanah dari rakyat dan pemerintah. Tidak sembarang ASN dapat memperoleh kepercayaan dalam jabatan karena itu dituntut terciptanya pegawai ASN yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Undang-Undang ASN juga mengamanatkan seorang ASN wajib melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab, serta menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan, dan tindakan.Â
Dengan demikian, menjadi sangatlah berat sanksinya bila seorang ASN yang memiliki jabatan dan tanggung jawab yang demikian besar bila melakukan suatu penyimpangan hukum.