Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Seperti Mimpi, Idealisme Hilang Saat Bangun Pagi

20 April 2019   01:08 Diperbarui: 20 April 2019   01:10 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

...no body said it was easy...(the Scientist, Coldplay)

Sore itu, di bulan Oktober 2005, para Calon Pegawai Negeri Sipil yang kebanyakan adalah ibu-ibu dan bapak-bapak yang sudah berumah tangga sedang duduk-duduk bergerombol di susunan kursi-kursi dengan meja-meja yang tersusun sedemikian rupa seperti baru dipakai untuk berdiskusi. Mereka ini adalah para Calon Pegawai Negeri Sipil yang mengikuti pendidikan dan pelatihan pra jabatan, suatu kegiatan yang wajib diikuti oleh para Calon Pegawai Negeri Sipil yang baru lulus seleksi penerimaan sebelum diangkat penuh sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Usia rata-rata para peserta sekitar 30 tahun. Sebagian besarnya adalah guru SD yang diterima sebagai calon PNS untuk ditempatkan di daerah yang terjauh dan terpencil di kabupaten ini.

Sedang asyik mereka bercerita, datanglah Tarno, seorang PNS muda lulusan sekolah kedinasan, yang baru ditempatkan sebagai pegawai magang di unit kerja yang melaksanakan pendidikan dan pelatihan pra jabatan ini.

"Sedang membincangkan soal apa ini Bapak, Ibu?" kata Tarno.
"Bukan hal yang penting pak, hanya saling bertukar sedikit cerita dan pengalaman kami masing-masing sebelum diterima menjadi calon PNS pak" kata pak Saragih.

Pak Saragih adalah seorang Calon PNS golongan II, termasuk golongan rendah. Ia adalah calon guru SD yang akan diangkat untuk mengajar murid-murid SD di sebuah desa yang terpencil di sebuah kecamatan yang cukup jauh dari ibukota kabupaten ini.

Tarno adalah seorang anak dari keluarga menengah bawah. Ayahnya bekerja sebagai guru SMP swasta di ibukota kecamatan, sementara ibunya adalah guru SD negeri di sebuah desa terpencil. Tarno memiliki dua orang saudara, satu laki-laki dan satu perempuan. Tarno yang paling tua, baru saja menyelesaikan pendidikan tinggi kedinasan pamong praja di Pulau Jawa dan akan segera ditempatkan sebagai PNS di ibukota kabupaten, kampung halamannya sendiri.

Oscar adiknya, masih duduk di bangku kuliah jurusan arsitektur di sebuah universitas negeri di ibukota provinsi, dan Janet sibungsu masih duduk di bangku SMA negeri di ibukota kabupaten. Pengalaman dari hidup yang serba cukup di keluarganya yang sederhana, cukup untuk makan, cukup untuk membayar biaya sekolah, tidaklah terlalu memprihatinkan. Dengan gaji yang pas-pasan dari kedua orang tuanya, dengan tingkat penghasilan dari gaji pegawai pada masa itu, membuat Tarno dan kedua adiknya sangat akrab dengan kisah perjuangan hidup pak Saragih yang sedang dibahas bersama teman-teman diklat-nya di jam istirahat pada sore hari itu.

"Saya sangat bersyukur bisa diterima menjadi calon PNS, walaupun hanya PNS rendahan di sekolah kecil di desa terpencil pak" kata pak Saragih. Sebelum lulus diterima dalam seleksi penerimaan calon PNS pada tahun itu, pak Saragih adalah seorang buruh kasar di perusahaan pengolahan kayu di daerah kabupaten tetangga.

Sehari-harinya pak Saragih bertugas menebang kayu-kayu besar yang sudah cukup umur untuk keperluan industri di beberapa kawasan hutan produksi. Dengan mengenakan sepatu bot, menenteng gergaji mesin, keluar masuk hutan dengan bertelanjang dada, adalah rutinitas yang dijalananinya hampir setiap hari selama 15 tahun terakhir.

Sepenggal kisah pak Saragih ini, terus terngiang di benak Tarno hingga ia kembali ke kamarnya di asrama tempat berlangsungnya diklat itu. Seorang diri, Tarno merenungkan kembali ucapan pak Saragih yang sangat mensyukuri diangkatnya dirinya sebagai calon PNS, calon guru SD di sekolah kecil di sebuah desa terpencil.

Tarno membayangkan apakah ia juga akan mensyukuri pekerjaan yang akan dijalaninya begitu ia ditempatkan di unit kerja, dimanapun itu, segera setelah masa magangnya selesai di lembaga penyelenggara manajemen sumber daya PNS ini. Tidak saja karena ia belum bisa membayangkan apa yang akan dikerjakannya nanti di tempat tugasnya, tetapi jalan hidup yang membuatnya akhirnya memilih sekolah pamong pemerintahan di Pulau Jawa itupun tidak terlepas dari rasa prihatinnya kepada keadaan ekonomi kedua orang tuanya yang hidup pas-pasan.

Dengan iming-iming bisa sekolah tanpa biaya di sekolah yang akan dia masuki, pada waktu itu ia hanya berharap orang tuanya akan sedikit terbantu, karena tidak perlu memikirkan biaya sekolahnya. Setamatnya dari sana, ia juga bisa langsung bekerja sebagai PNS. Apakah hidup akan berjalan sesederhana itu? Adakah alasan lain baginya seperti pak Saragih untuk bersyukur, seandainya kenyataannya nanti tidak sebaik harapannya? Jalan hidup masih terlalu singkat untuk aku menemukan jawabannya, begitulah batin Tarno.

Tugas Tarno setiap harinya sebagai pegawai magang dalam pelaksanaan pendidikan dan pelatihan bagi calon-calon PNS itu adalah memastikan semua peserta bangun pagi sesuai jadwal yang sudah ditetapkan, memimpin senam pagi, menyiapkan apel pagi dan apel sore, serta memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan peserta. Apakah itu kebutuhan di kelas diklat, maupun kalau-kalau ada peserta yang sakit sehingga membutuhkan pengobatan dokter atau yang sesekali meminta permisi untuk menemui anggota keluarganya di saat-saat jam istirahat. Ada peserta yang perlu permisi untuk menyusui bayi, karena sebagian memang adalah ibu-ibu menyusui yang baru melahirkan sesaat sebelum pelaksanaan diklat itu.

Tarno, yang baru berumur dua puluh dua tahun, sebagai lulusan pendidikan kedinasan pemerintahan di Pulau Jawa, menjalani masa diklat prajabatan saat ia masih menjalani pendidikan. Karena itu, begitu menamatkan pendidikannya, ia langsung ditempatkan dan tidak perlu lagi menjalani proses pendidikan dan pelatihan pra jabatan di daerah penempatan, sebagaimana beberapa hari ini dia saksikan dijalani oleh para peserta di asrama ini.

Seluruh peserta, yang kebanyakan adalah calon-calon PNS dari golongan pangkat yang lebih rendah, semuanya bersemangat mengikuti kegiatan. Walaupun kadang-kadang ada bapak-bapak yang mengeluh karena berjam-jam harus menahan diri untuk tidak merokok, ibu-ibu yang kadang-kadang kerepotan mendiamkan anaknya yang belum ingin lepas dari menyusu, tetapi harus sudah segera masuk kembali ke kelas, semua itu terrekam dalam penglihatan Tarno. Kenyataan itu merasuk ke benaknya dan menyisakan berjuta pertanyaan dalam hatinya, akan seperti apa kehidupan sebagai seorang PNS yang nanti akan dilajaninya.

Selang waaktu berganti, setalah dua minggu berjalan, kegiatan tersebut akan segera berakhir. Tampak keceriaan di raut wajah seluruh peserta, baik ibu-ibu maupun bapak-bapak, serta sebagian dara dan jejaka yang jumlahnya hanya beberapa di antara mereka. Mereka ceria tidak saja karena mereka telah berhasil melewati proses pendidikan dan latihan yang mengekang selama dua minggu, tetapi karena akhirnya mereka akan kembali menjalani kehidupan yang bebas, selayaknya ibu-ibu dan bapak-bapak di kampung tempat tinggalnya.

Maka diadakanlah sebuah acara penutupan atas kegiatan yang telah berlangsung selama 14 hari itu. Pada sebuah bagian acara perpisahan antara panitia dan peserta yang digagas oleh peserta, diselipkanlah acara penyampaian kesan dan pesan, baik dari yang mewakili peserta maupun yang mewakili panitia. Satu persatu peserta yang pria dan yang wanita menyampaikan kesan dan pesannya secara bergantian. Mulai dari masalah tempat tidur bertingkat di asrama yang terkadang menyusahkan bagi ibu-ibu dan bapak-bapak yang gemuk, masalah menu makan setiap hari, masalah jadwal kegiatan yang padat sampai malam hari, sampai hal-hal yang lucu dan menyenangkan yang teringat dari beberapa kesempatan mengobrol di antara sesama peserta setiap menjelang tidur. Berbagai kesan dari acara senam pagi yang kadang menjadi lelucon terkait gerakan-gerakan Tarno sebagai instruktur senam aerobik dadakan, hingga keramahtamahan para panitia dalam melayani para peserta.

Kesan yang terakhir ini terasa agak dibuat-buat untuk menyenangkan hati panitia, karena praktis sebenarnya tidak ada panitia lain yang melayani mereka selepas jam kerja, kecuali Tarno dan seorang lagi temannya, Joni. Mereka berdua ini memang ikut menginap di asrama untuk mengatur kegiatan di luar jadwal belajar di kelas, serta mengawasi kegiatan para peserta selama mereka di asrama.

Setelah selesai bagian para peserta, maka dimintalah kesediaan salah seorang mewakili panitia untuk menceritakan kesan dan pesannya. Sang pembawa acarapun memanggilkan nama Tarno untuk tampil mewakili panitia. Kontan Tarno terkejut, karena di sana hadir juga para pejabat terkait yang ikut bertanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan ini. Tetapi karena ini adalah kegiatan informal atas prakarsa para peserta, maka para pejabat yang hadir itu merestui saja si Tarno naik ke mimbar untuk berbicara.

Tarno bukannya tidak bisa berbicara di depan umum, tetapi karena sama sekali tidak menduga akan ditugaskan menyampaikan sesuatu mewakili panitia maka ia tidak memiliki persiapan.

"Yang saya hormati, Bapak dan Ibu para panitia, Bapak dan Ibu para peserta pendidikan dan pelatihan pra jabatan sekalian, marilah kita memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat kasih karuniaNya kita masih bisa berkumpul di acara penutupan kegiatan pendidikan dan pelatihan pra jabatan tahun ini.

Kalau diminta menyampaikan kesan dan pesan atas pelaksanaan kegiatan kita ini, saya sebenarnya merasa tidak pantas. Tapi pernah pada suatu sore, saya mendapati beberapa peserta sedang asyik mengobrol di meja diskusi padahal sudah jam istirahat. Saya ikut membaur mendengarkan obrolan mereka, rupanya yang dibahas adalah masalah pengalaman sebelum diterima menjadi calon PNS.

Saya mendengar bagaimana pengalaman salah seorang peserta yang sebelumnya adalah penebang kayu yang keluar masuk hutan, pengalaman dari peserta yang sebelumnya pernah menjadi anggota DPRD yang kemudian tidak terpilih lagi pada periode selanjutnya dan akhirnya jatuh bangkrut karena utang, dan lain sebagainya. Semuanya itu adalah kesan yang terus terbawa ke benak saya sampai saat menjelang tidur.

Sebagai seorang PNS yang baru lulus pendidikan, saya juga sedang menunggu keputusan untuk ditempatkan. Bapak dan Ibu mungkin sudah tau akan ditempatkan dimana. Saya sangat terkesan dengan raut cerah wajah Bapak dan Ibu peserta sekalian. Bukan mau menilai mana tugas yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah, atau dimana penempatan yang lebih baik dari yang lainnya. Tetapi saya sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di kampung kita ini, pernah juga mendatangi sebagian kampung-kampung tempat Bapak dan Ibu bertugas nantinya. Sebagiannya lagi memang baru sebatas saya dengar ceritanya. Tempat-tempat itu memang bukan tempat bertugas yang mudah. Mungkin ada tempat yang jalannya belum diaspal, ada yang belum dialiri listrik, ada juga yang tidak dijangkau air bersih hingga ke rumah-rumah, sehingga harus ke sungai untuk mengerjakan apa saja yang membutuhkan air.

Saya, sekalipun belum tahu akan ditempatkan dimana, rasanya tidak pantas memberikan sepatah dua kata kepada Bapak dan Ibu, selain menyampaikan hormat saya kepada kalian semua karena kalian adalah ujung tombak pembangunan daerah kita. Tidak masalah sekalipun ada yang memandang kita rendah karena pangkat dan golongan, tetapi saya percaya bahwa kemuliaan kita tidak diukur dari apa yang kita punya, tetapi dari sebesar apa pelayanan kita kepada sesama."

Dari mimbar Tarno melihat Pak Saragih tampak mengeluarkan sapu tangannya, sekilas ia tampak menyeka pelupuk matanya yang basah. Pak Ginting dan beberapa ibu-ibu juga melakukan hal yang sama. Ada peserta yang menyeka mata dengan tisu yang ada pada kotak roti yang tersaji di depan mereka.

Tarno tidak jelas entah sedang menceritakan kesan dan pesan, atau lebih kepada mengisi kekosongan ruang hatinya sendiri lewat kata-kata yang meluncur bebas dari mulutnya. Sebagian pejabat yang hadir hanya mengangguk-angguk, sebagian lagi hanya tersenyum menyaksikan anak buahnya itu berpidato di mimbar.

Selesai berbicara, Tarno menuruni mimbar dan membungkuk ke arah para pejabat, sebelum duduk kembali ke tempat duduknya. Barangkali ia baru sadar, kalau tadi sudah memakai waktu yang agak panjang mengucapkan sambutannya. Ia tampak gelisah, tidak enak melihat teman-temannya sesama panitia yang lain. Tetapi begitulah terkadang, situasi emosional bisa mengambil alih kendali kesadaran, dan menimbukan hal-hal yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan. Tapi biarlah, saya sudah berusaha menghormati keinginan para peserta, batinnya.

Lagipula, barangkali itu jugalah jawaban atas beberapa pertanyaan yang selama beberapa hari terakhir ini mengisi benaknya. Bahwa untuk memuliakan hidup sesama manusia melalui pekerjaan adalah alasan terutama kenapa dia harus bersyukur dipanggil dan ditempatkan menjadi pegawai negeri nantinya.

Tidak berapa lama setelah usainya kegiatan pendidikan dan latihan itu, Tarno akhirnya mendapatkan sepucuk surat keputusan tentang penempatannya. Setelah membuka amplop dan mengeluarkan isinya, Tarno membaca lambat-lambat isi suratnya. Pada keputusan itu dijelaskan bahwa ia akan ditempatkan di sebuah kantor kecamatan yang hanya berjarak sekitar 20 menit dari rumah tempat tinggalnya bersama orang tuanya.

Untung saja saya tidak memberikan kuliah lebih panjang lebar mengenai pengabdian sebagai pegawai ujung tombak di ujung perbatasan kabupaten pikir Tarno. Akan tidak etis, saat seorang bocah seumur jagung yang ditempatkan di tempat yang relatif sangat dekat dengan kota, memberikan petuah kepada orang-orang tua yang ditempatkan pada desa-desa terpencil dan terluar.

Seringkali hidup terasa tidak adil. Sebagian kita menikmati ketidakadilan itu karena berada di pihak yang diuntungkan. Masalah etis menjadi dilema untuk direnungkan. Kalau mau jujur maka diri sendiri yang bisa dirugikan karenanya, kalau mau berbohong maka orang-orang yang lugu dengan kepolosan hati nuraninya yang menjadi korbannya.

Tidakkah pendidikan dan pelatihan itu menjadi sesuatu yang penuh dengan kepalsuan pada akhirnya? Pengajar-pengajar yang memberikan materi pelajaran, para panitia dan petugas asramanya, adalah orang-orang yang sama-sama mengalami dilema etis dalam dirinya. Mereka sering tidak jujur menggambarkan kenyataan situasi kerja sebagai pegawai negeri yang akan dihadapi di lapangan pengabdian nantinya. Pada akhirnya mereka, yang adalah orang-orang yang masih lugu dengan kepolosan hati nuraninya, akan terguncang ketika menemukan sendiri kenyataannya. Pada akhirnya, memang setiap orang harus memutuskan sendiri mau menjadi orang seperti apa dirinya dalam menghadapi kenyataan.

Karena kalau tidak begitu, idealisme tidak akan terkesan hanya sekadar menjadi utopia. Indah diucapkan tapi kenyataannya sangat sulit untuk diwujudkan. PNS adalah perekat nasionalisme bangsa, tapi kenyataannya banyak juga PNS yang turut menyebarkan ujaran kebencian dan mengancam kerukunan bangsa.

Mengutip pendapat Yohanes Calvin, seorang teolog reformis yang sebelumnya juga dikenal sebagai seorang humanis, secara realistis ia mengerti bahwa idealisme hanya akan betul-betul menang pada waktu datangnya penghakiman. Pada kehidupan sekarang, yang jahat akan semakin jahat, maka dari itu ia menempatkan keyakinannya kepada kemenangan idealisme di dunia yang akan datang, bukan di dunia sekarang ini.

Dalam banyak hal, hidup terasa seperti konser adu nasib, tapi menjalankan konser seperti apa yang mau kita jalani adalah tetap pilihan kita. Kita diberi karunia kehendak bebas oleh Sang Pencipta, sekaligus memperlengkapi kita dengan hati nurani untuk membedakan yang baik dan yang jahat, sehingga kita bisa bebas memilih untuk menentukan sikap. Dalam hidup yang seperti konser adu nasib memang tidak selamanya yang baik mengalahkan yang jahat.

Lagi kata Calvin, penguasa adalah pihak yang seharusnya paling peka dan paling bertanggung jawab terhadap masalah kemanusiaan dan menjalankan kepemimpinannya dengan sikap toleran. Itu memang sama sekali tidak mudah, dan tidak ada yang mengatakan itu mudah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun