Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Seperti Mimpi, Idealisme Hilang Saat Bangun Pagi

20 April 2019   01:08 Diperbarui: 20 April 2019   01:10 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://66.media.tumblr.com

Saya mendengar bagaimana pengalaman salah seorang peserta yang sebelumnya adalah penebang kayu yang keluar masuk hutan, pengalaman dari peserta yang sebelumnya pernah menjadi anggota DPRD yang kemudian tidak terpilih lagi pada periode selanjutnya dan akhirnya jatuh bangkrut karena utang, dan lain sebagainya. Semuanya itu adalah kesan yang terus terbawa ke benak saya sampai saat menjelang tidur.

Sebagai seorang PNS yang baru lulus pendidikan, saya juga sedang menunggu keputusan untuk ditempatkan. Bapak dan Ibu mungkin sudah tau akan ditempatkan dimana. Saya sangat terkesan dengan raut cerah wajah Bapak dan Ibu peserta sekalian. Bukan mau menilai mana tugas yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah, atau dimana penempatan yang lebih baik dari yang lainnya. Tetapi saya sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di kampung kita ini, pernah juga mendatangi sebagian kampung-kampung tempat Bapak dan Ibu bertugas nantinya. Sebagiannya lagi memang baru sebatas saya dengar ceritanya. Tempat-tempat itu memang bukan tempat bertugas yang mudah. Mungkin ada tempat yang jalannya belum diaspal, ada yang belum dialiri listrik, ada juga yang tidak dijangkau air bersih hingga ke rumah-rumah, sehingga harus ke sungai untuk mengerjakan apa saja yang membutuhkan air.

Saya, sekalipun belum tahu akan ditempatkan dimana, rasanya tidak pantas memberikan sepatah dua kata kepada Bapak dan Ibu, selain menyampaikan hormat saya kepada kalian semua karena kalian adalah ujung tombak pembangunan daerah kita. Tidak masalah sekalipun ada yang memandang kita rendah karena pangkat dan golongan, tetapi saya percaya bahwa kemuliaan kita tidak diukur dari apa yang kita punya, tetapi dari sebesar apa pelayanan kita kepada sesama."

Dari mimbar Tarno melihat Pak Saragih tampak mengeluarkan sapu tangannya, sekilas ia tampak menyeka pelupuk matanya yang basah. Pak Ginting dan beberapa ibu-ibu juga melakukan hal yang sama. Ada peserta yang menyeka mata dengan tisu yang ada pada kotak roti yang tersaji di depan mereka.

Tarno tidak jelas entah sedang menceritakan kesan dan pesan, atau lebih kepada mengisi kekosongan ruang hatinya sendiri lewat kata-kata yang meluncur bebas dari mulutnya. Sebagian pejabat yang hadir hanya mengangguk-angguk, sebagian lagi hanya tersenyum menyaksikan anak buahnya itu berpidato di mimbar.

Selesai berbicara, Tarno menuruni mimbar dan membungkuk ke arah para pejabat, sebelum duduk kembali ke tempat duduknya. Barangkali ia baru sadar, kalau tadi sudah memakai waktu yang agak panjang mengucapkan sambutannya. Ia tampak gelisah, tidak enak melihat teman-temannya sesama panitia yang lain. Tetapi begitulah terkadang, situasi emosional bisa mengambil alih kendali kesadaran, dan menimbukan hal-hal yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan. Tapi biarlah, saya sudah berusaha menghormati keinginan para peserta, batinnya.

Lagipula, barangkali itu jugalah jawaban atas beberapa pertanyaan yang selama beberapa hari terakhir ini mengisi benaknya. Bahwa untuk memuliakan hidup sesama manusia melalui pekerjaan adalah alasan terutama kenapa dia harus bersyukur dipanggil dan ditempatkan menjadi pegawai negeri nantinya.

Tidak berapa lama setelah usainya kegiatan pendidikan dan latihan itu, Tarno akhirnya mendapatkan sepucuk surat keputusan tentang penempatannya. Setelah membuka amplop dan mengeluarkan isinya, Tarno membaca lambat-lambat isi suratnya. Pada keputusan itu dijelaskan bahwa ia akan ditempatkan di sebuah kantor kecamatan yang hanya berjarak sekitar 20 menit dari rumah tempat tinggalnya bersama orang tuanya.

Untung saja saya tidak memberikan kuliah lebih panjang lebar mengenai pengabdian sebagai pegawai ujung tombak di ujung perbatasan kabupaten pikir Tarno. Akan tidak etis, saat seorang bocah seumur jagung yang ditempatkan di tempat yang relatif sangat dekat dengan kota, memberikan petuah kepada orang-orang tua yang ditempatkan pada desa-desa terpencil dan terluar.

Seringkali hidup terasa tidak adil. Sebagian kita menikmati ketidakadilan itu karena berada di pihak yang diuntungkan. Masalah etis menjadi dilema untuk direnungkan. Kalau mau jujur maka diri sendiri yang bisa dirugikan karenanya, kalau mau berbohong maka orang-orang yang lugu dengan kepolosan hati nuraninya yang menjadi korbannya.

Tidakkah pendidikan dan pelatihan itu menjadi sesuatu yang penuh dengan kepalsuan pada akhirnya? Pengajar-pengajar yang memberikan materi pelajaran, para panitia dan petugas asramanya, adalah orang-orang yang sama-sama mengalami dilema etis dalam dirinya. Mereka sering tidak jujur menggambarkan kenyataan situasi kerja sebagai pegawai negeri yang akan dihadapi di lapangan pengabdian nantinya. Pada akhirnya mereka, yang adalah orang-orang yang masih lugu dengan kepolosan hati nuraninya, akan terguncang ketika menemukan sendiri kenyataannya. Pada akhirnya, memang setiap orang harus memutuskan sendiri mau menjadi orang seperti apa dirinya dalam menghadapi kenyataan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun