Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ampunilah Kami karena Tidak Tahu Apa yang Kami Perbuat

19 April 2019   12:39 Diperbarui: 28 April 2019   23:31 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat telah tergantung di atas kayu salib, di antara cemoohan dan hujatan orang-orang yang baru beberapa waktu yang lalu juga mengelu-elukan Dia saat Dia datang ke Yerusalem, tapi hari ini menyalibkannya beramai-ramai, Yesus berdoa di tengah rasa sakitnya, "Bapa, Ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." Hari ini kami perlu meresponi doa itu, "Bapa, ampunilah kami, karena kami tidak tahu apa yang kami perbuat."

Yesus dalam wujud manusianya yang sejati, tentu merasakan rasa sakit yang bahkan sulit untuk sekadar membayangkannya.

Setelah ditangkap di Getsemane, "diadili" tanpa dasar dan jauh dari keadilan di hadapan mahkamah para pemuka agama, dihadapkan ke penguasa dengan tuduhan yang mengada-ada, dicambuk dengan kejam demi menenangkan massa penuntut hingga daging di tubuhnya tercabik-cabik, tiada makan tiada minum, dimahkotai dengan mahkota duri di kepalaNya, pun Ia masih harus memikul sendiri salibNya dari kota Yerusalem hingga Golgota, bukit tengkorak.

Salib itu adalah sebuah simbol kutukan, hukuman, bagi orang yang sangat terhina, sangat jahat, hingga pantas dihukum dengan begitu kejamnya. Bahkan setiap orang diizinkan untuk melempari dan meludahi orang yang akan disalibkan, karena ia adalah sampah masyarakat.  

Tidak saja rasa sakit secara fisik, tapi juga betapa sakit perasaan di hati, seandainya hanya seorang manusia, bukan Yesus, yang harus menanggungkan semua itu.

Memikul salib dengan tubuh yang telah tercabik-cabik, berjalan di sepanjang jalan yang penuh dengan caci maki dan hujatan, atas sebuah tuduhan yang sama sekali tidak berdasar, apalagi benar, adalah kenyataan yang Ia terima dengan kesadaran dan tanpa perlawanan.

Hanya oleh karena kasihNya yang agung dan tidak bersyarat, hingga Ia mampu melakukan semua itu.

Berkorban bagi keluarga, saudara, dan teman-teman yang baik barangkali banyak orang yang mampu melakukannya. Tapi Yesus mengorbankan diriNya di kayu salib tidak saja bagi keluarga, saudara, dan teman-teman yang dicintainya, tapi bagi semua orang, termasuk bagi para pencemooh, para penghujat dan orang-orang yang menfitnahNya.

Kasih itu adalah anugerah terbesar yang diberikanNya tanpa syarat bagi semua manusia yang sangat dikasihiNya.

Bahkan Ia tidak mau meminum asam yang disodorkan prajurit Roma ke mulutNya di atas kayu salib untuk mengurangi rasa sakit di sekujur tubuhNya yang telah tercabik-cabik itu.

Dia menerima dengan rela seluruh rasa sakit yang sesungguhnya bukan karena kesalahanNya, tapi karena dosa dan kesalahan manusia. Kita yang tidak tahu apa yang telah kita perbuat.


Salah satu pelajaran dalam kisah jalan salib Yesus dari kota Yerusalem ke Golgota, adalah saat Simon, seorang laki-laki yang sebenarnya datang dari Kirene ke Yerusalem karena berniat hendak merayakan Paskah, lewat di sekitar kerumunan massa yang sedang "menghakimi" Yesus dalam jatuh bangun memikul salib di penghamikan jalanan Yerusalem. Simon dipaksa oleh prajurit Roma untuk membantu Yesus memikul salib. Yesus sudah sangat kelelahan dan kelihatan sudah sangat tidak berdaya.

Simon dari Kirene, adalah contoh yang bisa juga dijadikan refleksi, bagaimana seorang manusia, yang meskipun karena dipaksa, tanpa tahu apa yang sedang terjadi, bisa mengalami anugerah kasih yang besar yang akan mengubahkan hidupnya.

Dalam keterkejutannya atas apa yang dia saksikan, Simon fokus menatap Yesus yang berjalan terhuyung-huyung bersamanya. Ia ikut serta memikul salib dan berjalan sepanjang jalan yang dilalui oleh Yesus.

Mungkin dalam sebuah momen di tengah perjalanannya bersama Yesus, ia pun akan bertanya dalam hatinya "Kenapa orang ini harus menanggung hal yang sekejam ini? Apa gerangan kesalahan besar yang telah dilakukannya? Ampunilah kami, karena kami tidak tahu apa yang kami perbuat."

Mengutip kalimat dari pendeta Dietrich Bonhoeffer, seorang berkebangsaan Jerman yang menjadi martir karena melawan kebijakan-kebijakan Hitler, katanya:

"Tidak penting menganggap diri kita saleh atau pendosa. Kita lihat, bagaimana kita bisa menjadi begitu sombong saat merasa diri kita berhasil, atau menjadi terlihat begitu berantakan saat merasa diri kita dirundung oleh kegagalan? Kita perlu memandang jalan yang kita jalani sebagaimana Yesus memandangnya dari Getsemane, 'bukan kehendakKu Bapa, melainkan kehendakMu-lah yang jadi.' Hanya melalui Dia, kita akan bisa melewati semua ini, dan Dia yang akan menuntun kita untuk datang kepadaNya."

Selamat menyambut Paskah Tahun 2019.

Kiranya Tuhan memberkati kita dan melindungi kita, menyinari kita dengan wajah-Nya dan memberi kita kasih karunia. Kiranya Tuhan berkenan menghadapkan wajah-Nya kepada kita dan memberi kita damai sejahtera.

Tuhan memberkati Indonesia. Damailah Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun