Pada hari Minggu, 24 Maret yang lalu, kami bersama serombongan keluarga dari Kabanjahe mengunjungi sebuah kawasan hutan pinus yang sedang dan akan dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata baru berbasis agrowisata, serta telah di-launching pengembangannya sebagai destinasi wisata baru di Kabupaten Karo pada peringatan hari jadi Kabupaten Karo ke-73 tanggal 8 Maret 2019 yang lalu. Kawasan tersebut bernama Puncak Pelangkah Gading, terletak di Desa Kutambaru Kecamatan Munte Kabupaten Karo.
Pengelolaan dan pengembagan kawasan wisata Puncak Pelangkah Gading ini nantinya akan melibatkan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes), agar masyarakat desa betul-betul dapat menikmati dan mendapat manfaat dari kepariwisataan di desanya sendiri, bisa melalui hasil penjualan produk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan hal lainnya begitu nantinya objek wisata itu ramai dikunjungi baik oleh para wisatawan lokal maupun mancanegara.
"Selain itu, kita juga akan terus mengembangkan lokasi step by step. Secara perlahan di Puncak Pelangkah Gading ini akan kita bangun lokasi off road mobil, sepeda motor dan sepeda gunung. Termasuk juga membangun home stay dan fasilitas umum terutama toilet," tambah pak Benyamin Sembiring.
Namun, saat memandang ke arah pucuk-pucuk pinus, dan pemandangan yang terhampar jauh di bawah bukit, saya justru merenungkan tantangan lain dari sebuah rantai proses pembangunan, termasuk pembangunan pariwisata.
Aku mengambil beberapa foto kupu-kupu yang merayap di tanah. Malamnya setelah kembali ke rumah aku mencoba mencari tahu dari internet, nama, asal-usul dan apa saja yang bisa aku ketahui tentang kupu-kupu itu. Aku berpikir seandainya saja aku memiliki alat pemindai gambar atau foto yang bisa langsung terintegrasi dengan mesin pencari semacam ensiklopedia dunia serangga atau kupu-kupu, aku mungkin bisa mendapatkan informasi yang lengkap tentang segala hal menyangkut kupu-kupu ini. Itu aku saksikan ada di film-film Hollywood maupun film-film dokumenter di National Geographic. Sayangnya aku tidak punya.
Kupu-kupu jenis ini mempunyai lebar sayap sekitar 70-85 mm, tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali Maluku dan Papua. Umumnya kupu-kupu Ekor Layang-Layang ini senang hidup di daerah hutan yang tidak terlalu lebat, tapi lebih sering ditemukan di daerah-daerah perbukitan. Kupu-kupu ini juga senang hidup di sekitar kebun, terutama kebun bunga dan jeruk. Kupu-kupu ini banyak berperan dalam penyerbukan bunga pada tanaman, sehingga berkembang biak terutama di musim angin muson.
Dugaan saya tentang jenis kupu-kupu ini sehubungan dengan kondisi hutan pinus di Puncak Pelangkah Gading yang memang tidak terlalu lebat dan berada di atas perbukitan. Penduduk Desa Kutambaru juga terkenal sebagai petani penanam jeruk yang handal, sehingga banyak kebun jeruk di desa ini. Pada hari itu juga memang hari agak berangin, walaupun cukup terik dengan sinar matahari yang menyengat. Namun, pada sore hari hujan turun agak lama juga. Kalau dulu dalam pejalaran sekolah, musim hujan di Indonesia dikenal sebagai musim yang diakibatkan oleh angin muson barat.
Sedikit tentang angin muson barat atau yang disebut juga muson musim dingin timur laut, adalah angin yang bertiup pada bulan Oktober hingga April di Indonesia. Angin ini bertiup saat matahari berada di belahan bumi selatan, menyebabkan benua Australia mengalami musim panas yang berakibat pada terciptanya tekanan minimum. Sementara itu, benua Asia menjadi lebih dingin, berakibat pada terciptanya tekanan maksimum, dan bersifat basah sehingga membawa musim hujan, sampai ke Indonesia. Pada periode ini, Indonesia akan mengalami musim hujan akibat adanya massa uap air yang dibawa oleh angin ini, saat melalui lautan luas di bagian utara, dari Samudra Pasifik dan Laut Cina Selatan. Namun, fakta lapangan kini sering tidak bisa diprediksi kapan musim hujan dan kapan musim kemarau.
Fakta bahwa pada siang hari tanggal 24 Maret itu banyak kupu-kupu ekor layang-layang di hutan pinus dan pada sore harinya turun hujan, dan ini adalah periode angin muson barat, lalu langsung dapat disimpulkan bahwa hari ini adalah musim hujan di Tanah Karo tidak lagi dapat dikatakan secara pasti. Karena sejak tanggal 15 Februari 2019 yang lalu, saya baru mengingat baru empat kali hujan seperti ini, dua kali saat malam hari dan dua kali saat siang menjelang sore seperti pada hari itu. Selebihnya adalah sebuah musim kemarau dengan siraman cahaya matahari yang sangat melimpah.
Memang, di belahan bumi yang lain di Indonesia hari-hari ini adalah sebuah musim hujan yang sangat lebat, bahkan sebagian membawa bencana yang amat memilukan, sebagaimana banjir bandang di Sentani Papua atau banjir dan longsor di berbagai wilayah di Yogyakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H