Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Berikanlah Hari Ini Kami Makanan yang Secukupnya

24 Maret 2019   01:14 Diperbarui: 24 Maret 2019   01:51 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pak, mengapa kita harus makan nasi yang dicampur jagung begini?"
"Apa katamu! Sudah bagus bapak masih bisa kasih kau makan."

Demikianlah Pak Ginting, yang saya panggil Bulang (Kakek, dalam Bahasa Daerah Karo), menuturkan sepenggal dialognya dengan mendiang ayahnya saat akan makan siang pada suatu ketika di masa-masa kolonialisme Belanda.

"Saat itu aku masih anak kecil, sama sekali tidak mengerti apa maksud bapak mengatakan itu," kata pak Ginting.
"Aku hanya merasa bapak sangat keterlaluan, karena bulir-bulir biji jagung yang porsinya separuh-separuh dengan porsi nasi yang dari beras sangat menyusahkan saat disantap," sambung pak Ginting.

Saat ini Pak Ginting sudah berumur 75 tahun. Kejadian yang dia sampaikan dalam bentuk dialog itu adalah peristiwa yang terjadi sekitar 69 tahun yang lalu, kala usianya masih 6 tahun. 

Pada masa itu bisa dipahami kenapa bisa sampai terjadi hal seperti itu, karena saat itu, sekitar tahun 1950 adalah baru masa-masa awal pasca "penyerahan kedaulatan" oleh Belanda sebagai dampak Konferensi Meja Bundar di Den Haag-Belanda, yang berakhir pada tanggal 2 November 1949.

Masa 4 tahun sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga "penyerahan kedaulatan" di tahun 1949, merupakan masa revolusi nasional yang masih tetap penuh dengan pergolakan. 

Bahkan imbas dari kekejaman pihak kolonial dari masa jauh sebelumnya, dimana masyarakat tidak memiliki kebebasan mengolah tanah pertanian, diterapkannya sistem tanam paksa, sehingga masyarakat tidak bebas menanam apa yang mau ditanam, serta lebih banyak waktunya dipaksa bekerja sesuai dengan keinginan penjajah telah menyebabkan lubang kemiskinan yang lebar dan sangat dalam. 

Tercatat bahwa pemerintahan sementara yang telah dilantik, dengan Sukarno menjadi presidennya dan Hatta sebagai perdana menterinya, membayar utang Hindia Belanda kepada Kerajaan Belanda sebanyak kurang lebih 4 miliar gulden dalam kurun waktu 1950 hingga 1956. Namun kemudian memutuskan untuk tidak membayar sisanya.

"Hidup kami sangat susah, kami miskin," kata Pak Ginting mengenangkan masa-masa itu sambil menghisap dalam-dalam rokoknya. Itu belum termasuk risiko kehilangan nyawa bila cukup alasan bagi penjajah untuk melenyapkannya, sekalipun sebaliknya bagi yang bersangkutan itu adalah perjuangannya untuk meraih kemerdekaannya.

Keadaan sedikit membaik saat mendiang ayahnya diterima menjadi pegawai rendahan di paviliun milik tentara Belanda di kota Berastagi pada masa-masa menjelang "penyerahan kedaulatan." Oleh penguasa setempat, mendiang ayahnya ditugasi sebagai juru masak di dapur. "Di sana nasi tidak dicampur dengan jagung," katanya. Maka perlahan-lahan kebutuhan akan beras di keluarga pak Gintingpun semakin tercukupi.

Kilas balik sejarah ini menjadi topik pembicaraan kami pada Sabtu siang yang sangat terik, saat kami sedang mengopi di kedai kopi ditemani sebuah bahan bacaan dari media online Kompas (edisi Senin, 28/05/2018) dengan tajuk "Tak Hanya di Jakarta, NASA Kembangkan Tinja Jadi Makanan." 

Membaca itu, Pak Ginting hanya berceloteh bahwa cukup membingungkan baginya di usinya yang 75 tahun, kalau di masa yang sudah sangat merdeka seperti sekarang, kita malah berusaha kembali memakan tai kita sendiri.

Saya hanya tersenyum mendengar celotehnya. Tapi begitulah perkembangan ilmu pengetahuan pikirku saja. Semakin manusia menjajal batas kemampuan akalnya, rasa-rasanya memang semua yang sudah tampak di depan mata saja menjadi semakin tidak cukup. 

Barangkali manusia yang sudah sangat berkembang akalnya, masih sedang mencari solusi untuk apa yang akan dia makan hari ini ketika padi atau gandum belum bisa ditanam bebas di ruang angkasa. Bumi mungkin sudah tidak cukup lagi untuk menampung seluruh kebutuhan dan ambisi manusia.

Saya kembali teringat bagian kisah dalam buku Panggil Aku Kartini Saja, karangan Pramoedya Ananta Toer, yang mengutip sebuah catatan dari Multatuli atau Edward Dowes Dekker dalam Max Havelaar. 

Kisah itu menyatakan bahwa di negeri ini pernah ada sistem pemerintahan yang menerapkan kerja rodi, yakni cultuur stelsel, sistem tanam paksa. Ribuan orang tewas dalam kerja rodi ini.

Seperdelapan belas tanah garapan dari bumi Jawa menjadi kebun kolonial, dimana 800.000 keluarga digiring ke kebun-kebun milik kompeni menjadi kuli. Jumlah ini sama dengan seperempat jumlah penduduk Jawa pada masa itu. Pada sebagian besar wilayah Jawa, sawah tidak ada lagi yang menggarap karena petani telah menjadi buruh.

Panen padi gagal, paceklik menimpa Demak dan Grobokan. Kelaparan menyebabkan penduduk Demak berkurang dari 336.000 jiwa menjadi hanya 120.000 jiwa. Sementara di Grobokan, dari 216.000 jiwa berkurang menjadi hanya 98.000 jiwa. Itu terjadi hanya dalam waktu dua tahun karena bencana kelaparan.

Sebagaimana gambaran arah masa depan yang terkesan disampaikan dengan kritis dan ironis oleh Profesor Yuval Noah Harari, bahwa setelah mengalahkan wabah penyakit, bencana kelaparan dan perang, maka saat ini agenda baru umat manusia untuk masa depan adalah perjuangan melawan usia tua dan kematian, menemukan kunci kebahagiaan abadi dan benar-benar berusaha untuk meningkatkan diri menjadi tuhan-tuhan.

Mencermati pandangan itu, saya hanya bisa tersenyum bukan menertawakan, baik Pak Ginting yang sudah tua maupun astronot NASA yang saat ini mungkin sudah mampu memakan tainya sendiri yang katanya sudah layak konsumsi. 

Mungkin saja kalau tidak begitu, maksudnya mampu menciptakan makanan dari tai sendiri, akan menyebabkan dampak yang lebih fatal bagi umat manusia dan bumi. 

Ketika bumi yang "kecil" ini tidak lagi mampu menampung seluruh kebutuhan dan ambisi manusia, maka pertanyaannya mungkin tidak lagi sekadar "apa yang akan kita makan hari ini?," melainkan "siapa yang akan kita makan hari ini?" Hal itu mungkin terjadi bila manusia sudah menjadi serigala bagi sesamanya sendiri.

Sumber: Wikipedia | kompasiana.com/teotarigan | sains.kompas.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun