Membaca itu, Pak Ginting hanya berceloteh bahwa cukup membingungkan baginya di usinya yang 75 tahun, kalau di masa yang sudah sangat merdeka seperti sekarang, kita malah berusaha kembali memakan tai kita sendiri.
Saya hanya tersenyum mendengar celotehnya. Tapi begitulah perkembangan ilmu pengetahuan pikirku saja. Semakin manusia menjajal batas kemampuan akalnya, rasa-rasanya memang semua yang sudah tampak di depan mata saja menjadi semakin tidak cukup.Â
Barangkali manusia yang sudah sangat berkembang akalnya, masih sedang mencari solusi untuk apa yang akan dia makan hari ini ketika padi atau gandum belum bisa ditanam bebas di ruang angkasa. Bumi mungkin sudah tidak cukup lagi untuk menampung seluruh kebutuhan dan ambisi manusia.
Saya kembali teringat bagian kisah dalam buku Panggil Aku Kartini Saja, karangan Pramoedya Ananta Toer, yang mengutip sebuah catatan dari Multatuli atau Edward Dowes Dekker dalam Max Havelaar.Â
Kisah itu menyatakan bahwa di negeri ini pernah ada sistem pemerintahan yang menerapkan kerja rodi, yakni cultuur stelsel, sistem tanam paksa. Ribuan orang tewas dalam kerja rodi ini.
Seperdelapan belas tanah garapan dari bumi Jawa menjadi kebun kolonial, dimana 800.000 keluarga digiring ke kebun-kebun milik kompeni menjadi kuli. Jumlah ini sama dengan seperempat jumlah penduduk Jawa pada masa itu. Pada sebagian besar wilayah Jawa, sawah tidak ada lagi yang menggarap karena petani telah menjadi buruh.
Panen padi gagal, paceklik menimpa Demak dan Grobokan. Kelaparan menyebabkan penduduk Demak berkurang dari 336.000 jiwa menjadi hanya 120.000 jiwa. Sementara di Grobokan, dari 216.000 jiwa berkurang menjadi hanya 98.000 jiwa. Itu terjadi hanya dalam waktu dua tahun karena bencana kelaparan.
Sebagaimana gambaran arah masa depan yang terkesan disampaikan dengan kritis dan ironis oleh Profesor Yuval Noah Harari, bahwa setelah mengalahkan wabah penyakit, bencana kelaparan dan perang, maka saat ini agenda baru umat manusia untuk masa depan adalah perjuangan melawan usia tua dan kematian, menemukan kunci kebahagiaan abadi dan benar-benar berusaha untuk meningkatkan diri menjadi tuhan-tuhan.
Mencermati pandangan itu, saya hanya bisa tersenyum bukan menertawakan, baik Pak Ginting yang sudah tua maupun astronot NASA yang saat ini mungkin sudah mampu memakan tainya sendiri yang katanya sudah layak konsumsi.Â
Mungkin saja kalau tidak begitu, maksudnya mampu menciptakan makanan dari tai sendiri, akan menyebabkan dampak yang lebih fatal bagi umat manusia dan bumi.Â
Ketika bumi yang "kecil" ini tidak lagi mampu menampung seluruh kebutuhan dan ambisi manusia, maka pertanyaannya mungkin tidak lagi sekadar "apa yang akan kita makan hari ini?," melainkan "siapa yang akan kita makan hari ini?" Hal itu mungkin terjadi bila manusia sudah menjadi serigala bagi sesamanya sendiri.