Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hidup di Sebuah Negeri Tanpa Kekerasan, Bagai Memimpikan Utopia?

23 Maret 2019   04:54 Diperbarui: 24 Maret 2019   04:17 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi sebuah jembatan yang utopis. (pixabay)

Namun, dengan cara ini maka siapapun akan merasa nyaman datang berkunjung dan siapapun yang berkunjung sudah pasti akan membeli apa yang mereka sajikan. Perjalanan sudah diintegrasikan dengan makanan dan minuman, termasuk juga pemandangan alam, mungkin begitulah bahasa singkatnya.

Apa yang kontras dengan hal ini? Kalau cerita soal luar negeri barangkali tidak usah dibandingkan lagi dengan di sini. Namun, karena ini Indonesia, menjadi terasa tidak adil karena di saat yang sama di belahan negeri yang lain kenyataan ini terasa seperti utopia, mimpi belaka. 

Bila di belahan negeri yang lain premanisme bahkan bisa muncul dalam wujud yang "resmi," entah itu tukang parkir, ormas-ormas, pengutip karcis retribusi tempat wisata, bahkan para aparatur dan entah apalagi yang hampir semuanya berpakaian seragam. Tanpa maksud mem-peyorasi, bahkan anjing-anjingpun berlagak preman dan menebar ancaman di bagian negeri yang lain itu.

Bila pada Selasa pagi di tanggal 14 Maret yang lalu itu kami tidak mendengar bunyi klakson kendaraan barang sekalipun di kota itu, maka lain halnya saat Sabtu sore pada tanggal 16 Maret saat kami dalam perjalanan kembali pulang ke kampung halaman. 

Pada tempat tertentu jalanan ini, bahkan klakson yang memekakkan akan dibunyikan seolah mengancam sekalipun kita mau ikut aturan. Kuingat-ingat, terkadang bahkan anjing-anjing di pemukimanpun terasa mengancam, sekalipun kita datang bertandang hanya untuk sekadar mengantarkan surat undangan ke handai taulan.

Bila menyandarkan harapan akan hadirnya ketenteraman hidup dengan tunduk kepada aturan sudah tidak lagi mempan, maka kepada siapa lagikah warga negeri patut untuk mengadukan keluhan? Bukankah itu sama beratnya dengan dua kali beban bagi orang yang bermimpi? Bagai mengimpikan kenyataan datang mewujudkan utopia.

Sepedas-pedas kritik untuk diri sendiri, itu adalah seperti relikui rasa cinta kepada diri sendiri. Sebagaimana adanya orang-orang terdahulu juga mengkritiki dirinya sendiri. 

Hanya mimpi itu belum pernah terwujud hingga kini, mengimpikan hidup di sebuah negeri tanpa kekerasan, dimana tidak semua orang seolah tampak menjadi preman. Hanya mimpi kecil untuk kecintaan kepada negeri yang selalu indah di batin ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun