Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pelajaran tentang Tradisi Hipokrasi dari Rasa Cimpa Gulame

9 Maret 2019   14:01 Diperbarui: 9 Maret 2019   20:01 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memasak Cimpa Gulame (dokumentasi pribadi)

Sesuatu yang langgeng secara turun temurun, bila dilacak terkait riwayat asal usulnya, bisa jadi lahir dari sebuah kebiasaan. Kebiasaan yang berlangsung terus menerus menjadi sifat, dan sifat yang dipelihara akhirnya menjadi sebuah karakter. Karakter adalah penanda khas yang mencirikan spesifikasi suatu entitas.

Tidak saja dalam proses terbentuknya karakter dalam berperilaku, rangkaian proses yang sama secara prinsip berperan dalam hadirnya sebuah wujud makanan khas dalam sebuah komunitas manusia.

Adalah cimpa gulame, salah satu makanan khas pada masyarakat suku Karo, yang tetap ada hingga kini, di mana eksistensinya kini seolah hilang tapi tetap dirindukan. 

Bagaimana tidak, bahan-bahan untuk membuatnya melimpah di sekitar, mudah untuk diolah, tetapi sudah sangat jarang sekali disajikan di acara-acara tradisi, bahkan di meja makan atau di atas tikar yang digelar untuk duduk saat berkumpul bersama keluarga.

Cimpa gulame, hanya terbuat dari campuran tepung beras, gula merah yang disatukan dengan adukan santan kelapa. Cara memasaknya pun cukup sederhana, namun membutuhkan kesabaran ekstra, karena selama diolah di atas kuali dengan api yang tidak terlalu besar, harus terus diaduk agar santannya tidak mengental. Biasanya butuh waktu hingga sekitar 2 jam sampai bisa matang. Sekilas mirip dengan cara mengolah dodol atau jenang.

Pengunjung stand pameran yang mencicipi sajian cimpa gulame di perayaan Hari Jadi Kab. Karo ke-73 2019 (dokumentasi pribadi)
Pengunjung stand pameran yang mencicipi sajian cimpa gulame di perayaan Hari Jadi Kab. Karo ke-73 2019 (dokumentasi pribadi)
Barangkali atas dasar lamanya waktu yang dibutuhkan untuk membuatnya, sehingga manusia masa kini yang menuntut segala hal serba cepat menjadi enggan mengolahnya menjadi sajian.

Sudah bukan hal baru, bahwa menghadirkan sesuatu yang berkualitas dibutuhkan konsistensi dan persistensi. Apakah dengan dasar itu, apa yang kita makan saat ini kebanyakan makanan yang tidak berkualitas, kita bisa rasa-rasakan sendiri.

Satu yang jelas, bahwa banyak hal yang kita makan saat ini adalah makanan yang serba cepat saji dan dihasilkan oleh mesin. Sebaliknya, sama halnya dengan cita rasa cimpa gulame yang lezat, karena dihasilkan oleh proses yang tidak singkat serta menuntut persistensi dan konsistensi. Dalam hal ini rasa yang enak tidak serta merta identik dengan nilai gizi dan unsur-unsur makanan yang sehat.

Apa yang dicoba diintrodusir terkait hipokrasi dan hubungannya dengan cimpa gulame adalah, dua-duanya merupakan wujud khas yang terbentuk dari proses yang lama dengan persistensi dan konsistensi. Sama dengan hal yang baik, hal yang tidak baikpun dapat bertahan lama dan mengakar kuat melintasi zaman, hingga layak dikatakan sebagai sebuah tradisi. 

Secara kontradiksi, hipokrasi atau kemunafikan secara tidak layak mengambil tempatnya di jajaran sederet karakter yang berkebalikan dicap sebagai tradisi. Sebuah tradisi yang negatif, begitulah kira-kira.

Apa yang membedakan keduanya adalah, kalau cimpa tuang dihasilkan dari proses yang lama, namun daya tahannya tidak berumur lama. Barangkali karena makanan warisan nenek moyang ini belum mendapatkan sentuhan teknologi untuk mereduksi daya pembusukan unsur santannya. Sebaliknya, hipokrasi mampu bersekongkol dengan modernisme hingga mampu resisten terhadap unsur-unsur yang berpotensi "membusukkannya."

Aku tahu, tapi aku memilih untuk tidak mengakuinya. Apa yang benar secara objektif, di masa kini semakin menemukan akselerasinya untuk dijungkirbalikkan menjadi sesuatu yang salah menurut kebenaran subjektif manusia. Ajaibnya, kebenaran jenis ini pun tidak kurang banyak pengikutnya. Bahkan, mampu meningkatkan populasinya bukan karena ia lebih berkualitas dari sesuatu semacam cimpa gulame, tetapi ia lebih adaptif dengan dampak tak terbendung modernisme.

Sekali ini, adalah tidak benar bila didalilkan bahwa apa yang baik, apa yang benar, itulah yang bertahan lama. Dalil pelipur lara dalam realitas ini hanyalah kesadaran bahwa dalam dunia yang busuk, kebusukanlah yang paling berpeluang untuk menang, sedangkan kebaikan mungkin akan menang dalam dunia di luar realitas, hingga tak semua orang mampu memahaminya.

Pelajaran dari semangkuk cimpa gulame, lebih dari cukup untuk kembali menunjukkan kenyataan bahwa sesuatu yang baik pun tidak serta merta membuat semua orang tertarik melestarikannya, karena dalam kesederhanaan pun ternyata terkandung berupa-rupa halangan yang membutuhkan ketekunan dan daya tahan untuk mengatasinya. Belum lagi ditambah kenyataan bahwa ternyata santan memang pembunuh berbahaya yang bekerja dalam senyap.

Cimpa gulame, dirindukan tapi tampak seolah telah hilang ditelan zaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun