Aku tahu, tapi aku memilih untuk tidak mengakuinya. Apa yang benar secara objektif, di masa kini semakin menemukan akselerasinya untuk dijungkirbalikkan menjadi sesuatu yang salah menurut kebenaran subjektif manusia. Ajaibnya, kebenaran jenis ini pun tidak kurang banyak pengikutnya. Bahkan, mampu meningkatkan populasinya bukan karena ia lebih berkualitas dari sesuatu semacam cimpa gulame, tetapi ia lebih adaptif dengan dampak tak terbendung modernisme.
Sekali ini, adalah tidak benar bila didalilkan bahwa apa yang baik, apa yang benar, itulah yang bertahan lama. Dalil pelipur lara dalam realitas ini hanyalah kesadaran bahwa dalam dunia yang busuk, kebusukanlah yang paling berpeluang untuk menang, sedangkan kebaikan mungkin akan menang dalam dunia di luar realitas, hingga tak semua orang mampu memahaminya.
Pelajaran dari semangkuk cimpa gulame, lebih dari cukup untuk kembali menunjukkan kenyataan bahwa sesuatu yang baik pun tidak serta merta membuat semua orang tertarik melestarikannya, karena dalam kesederhanaan pun ternyata terkandung berupa-rupa halangan yang membutuhkan ketekunan dan daya tahan untuk mengatasinya. Belum lagi ditambah kenyataan bahwa ternyata santan memang pembunuh berbahaya yang bekerja dalam senyap.
Cimpa gulame, dirindukan tapi tampak seolah telah hilang ditelan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H