Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Tuhan, Apakah Hantu Menurut Realitas "Atheis"?

11 Februari 2019   15:44 Diperbarui: 11 Februari 2019   17:04 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel (dokpri)

Mengutip gaya narasi dalam salah satu bagian novel "Atheis" karangan Achdiat K. Mihardja, dengan mengangkat sebuah potongan plot adegan dialog antara Anwar, seorang nihilis yang suka main wanita, dengan Hasan, seorang yang lahir dari keluarga yang sangat taat beragama, dari keluarga penganut Tarekat Naqsyabandiyah, di kampung Panyeredan.

Substansi dari percakapan dan adegan yang tergambar dengan setting cerita pada sebuah kampung yang masyarakatnya masih kolot dalam suasana kolonialisme zaman Jepang, memberi pesan moral bahwa pendidikan dan agama seringkali dipertanyakan kegunaannya, manakala budaya berpikir, logika dan rasionalitas tidak tumbuh dengan seimbang dalam sebuah masyarakat yang lebih didominasi oleh perasaan inferioritas yang tinggi dan mental medioker. Justru yang berkembang adalah kepercayaan kepada hal-hal yang berbau klenik, sikap tunduk kepada mistik dan mitos, mudah saling mencurigai, dijajah, termasuk dijajah oleh pikirannya.

Pada suatu hari, bercakap-cakaplah Anwar dan Hasan (dengan parafrase dan penyesuaian):

Anwar: "Kapan kita main-main ke kampungmu, San?"
Hasan: "Nggak usah, buat apa? Kampungan, Sepi."
Anwar: "Itulah, kehidupan di kota sumpek. Sesekali kita perlu main ke desa."
Hasan: "Baiklah."

Hasan menjawab dengan ragu-ragu. Ia sadar kalau pulang ke kampung, pasti akan disuruh oleh ayahnya sholat lima waktu. Ayahnya seorang yang taat beribadah.

--------Singkat cerita, merekapun tiba di desa--------

Anwar: "Ayo kita main keluar."
Hasan: "Buat apa? Sepi, banyak hantu saat malam-malam kalau di kampung." Jawab Hasan dengan lagak sok pemberani.
Anwar: "Itulah, kita perlu tahu, apa benar ada hantu?"
Hasan: "Sinting kau."

Akhirnya mereka pun jalan-jalan keluar rumah. Tiba di pos ronda, jam menunjukkan pukul 00:00 wib. Mereka mendekati sebuah pos ronda kampung.

Petugas ronda malam itu adalah seorang yang berkumis bapang, menenteng golok di pinggang, ia seorang jawara desa.

Petugas ronda: "Hoi! Siapa di sana?"
Anwar yang sama sekali tidak mengenali siapa yang meneriakinya menjawab dengan santai: "Kau siapa rupanya!?"
Petugas ronda: "Setan kau! Berani kau ya?"
Anwar: "Apa kau bilang? Kanapa rupanya?"
Petugas ronda: "Sini kau, mau kemana kau, bangsat?!"
Anwar: "Mau cari si Jambrong!"

Tadi sebelum pergi keluar rumah, Hasan sudah bercerita kalau di desa ini ada cerita legenda tentang Mbah Jambrong, orang yang sakti mandraguna. Makamnya saja tiga meter panjangnya, makamnya jadi keramat di desa.

Sontak, si petugas ronda berkumis bapang dan Hasan agak kaget. Hasan bahkan pucat karena Anwar secara tidak sopan menyebut nama Mbah Jambrong dengan sembarangan.

Petugas ronda pun jadi sedikit agak sopan, demi mendengar Anwar menyebut nama Mbah Jambrong dengan sembarangan. Tapi ia tetap tidak mau kehilangan gengsi, ia tetap tidak menghiraukan Anwar yang sudah mempermalukannya.

Petugas ronda: "Eh, dik Hasan, mau ke mana dik?"
Anwar: "Ah, minggir Kau bapang, dimana makam Jambrong?"
Hasan mendelik kepada Anwar: "Sudahlah, kualat kau nanti."

Petugas rondapun plonga-plongo. Sebenarnya Anwar sudah diberi tahu petunjuk arah ke makam Mbah Jambrong oleh Hasan saat di rumah dengan setengah hati. Jadi Anwar tetap saja berjalan tanpa menghiraukan juga si bapang, petugas ronda, yang sudah mulai agak pucat. Hasan mengekor di belakang Anwar dengan hati enggan.

Hasan: "Sudahlah War, pulang kita."
Anwar: "Begitu saja hasilnya setelah kau tamat dari sekolah? Takut kau sama Jambrong?"

Tampak di depan, sebuah komplek makam dengan sebatang pohon kelapa tumbuh tinggi. Itulah ciri-ciri makam Mbah Jambrong, seperti petunjuk Hasan, yang mulai kencing celana tapi malu melarikan diri demi gengsi gelar anak sekolahan yang tak sebanding dengan rasa takut kepada hantu.

Anwar: "Ini dia tempatnya?"

Ada gundukan tanah sepanjang lebih kurang tiga meter di depan, dipagari, dan dikelilingi sesajen, ada rokok, kembang setanggi, juga kelapa muda dan penganan lainnya.

Hasan: "Iiiya, iya War, oooke, sudah ya."
Anwar secara tiba-tiba tanpa menunggu Hasan yang gagap selesai bicara, memanggil dengan berteriak: "Jambrong, keluar kau!!!"
Hasan: "Toloooooong."

Mendadak Hasan lari terbirit-birit di belakang Anwar. Ia meninggalkan sebelah sendal jepitnya yang putus talinya, berceceran lima meter selanjutnya senternya yang masih menyala, juga menghidupkan suara gonggongan anjing-anjing yang terdengar dari rumah-rumah penduduk, tapi kalah oleh suara teriakan minta tolong Hasan.

Tiba di pos ronda, si petugas ronda yang kumisnya bapangpun ikutan berlari menyusul Hasan. Pikirnya barangkali Mbah Jambrong bangkit dari tidur panjangnya, demi mendengar Anwar yang sudah sangat sinting membangunkannya. Sepuluh meter berikutnya, golok si kumis bapangpun terjatuh dari pinggangnya.

Di kejauhan masih terdengar suara Anwar yang memanggil-manggil nama Mbah Jambrong, sambil sesekali tertawa terbahak-bahak, seolah seperti sudah mabuk oleh tuak.

Besoknya, Hasan bangun telat. Entah benar-benar telat bangun karena susah tidur malamnya, atau karena tidak tahu lagi cara melawan malu dihadapan Anwar karena ternyata ia takut sama hantu.

Anwar: "Eh, sudah bangun kau, San?" katanya dengan seringai senyum jahil menghias wajahnya.
Hasan: "Eh, cepat nian kau bangun." Wajah Hasan agak kemerahan menanggung rasa malu.

Ayah Hasan datang, dan berkata dengan raut muka kesal: "Hoi, mandi kalian! Sudah tidak sholat, bangun tidurpun kesiangan."

Demikianlah Hasan dan Anwar dibungkam oleh ayah Hasan yang saleh. Setinggi apapun sekolah anak, tetap akan dibayangi oleh rasa hormat kepada ayahnya. Entah salehnya asli atau dibuat-buat. Bagaimanapun, ayahnya telah lebih dulu menjalani kehidupan.

Banyak berjalan banyak dilihat, duluan menjalani hidup tentu duluan melihat kenyataan. Ayah, bagaimanapun tidak selalu mengatakan semua hal yang ia tahu, karena tidak semua hal yang kita tahu itu perlu. Cukup tahu, sudah. ---the end---

Ulasan:

Tidak secara spesifik simbol-simbol agama dipertentangkan dengan kontras dengan dalil atheisme sesuai judulnya. Sikap hidup dari karakter yang mewakili golongan modern dalam novel yang dipandang tidak mengikuti pakem religiusitas masyarakat kita pada umumnya, dalam hal ini adalah Anwar dan Hasan, adalah sebuah metafora untuk mengkritik, baik yang lahir dari kaum agamis maupun mereka yang memandang diri lahir dari rahim modernisme. Kritik atas diri Anwar, Hasan dan Ayah Hasan.

Mungkin sebagian pembaca justru akan memberi ulasan, siapakah sebenarnya yang lebih menyeramkan, sosok khayali Mbah Jambrong atau ayah Hasan?

Manusia yang agamis, mudah sekali mengaminkan bahwa Allah, Tuhan yang Maha Esa itu sebagai Kurios. Kurios adalah sebuah kata dalam bahasa Yunani yang berarti sang pemilik, sang empunya, atau tuan. Namun, tanpa sadar sebenarnya manusia sendiri yang mengatur seperti apa sang pemilik, sang empunya, tuan atau Tuhan itu seharusnya menurut pandangannya.

Manusia yang bersikap seperti ini, bahkan bisa saja menyatakan bahwa ia menyadari kalau ternyata Mbah Jambrong menjadi keramat yang seram itupun disebabkan oleh sang Kurios.

Di mulutnya, manusia mudah saja mengatakan kalau dibandingkan Dia Sang Kurios, maka membuka tali kasutNya sajapun ia sebagai manusia tidak pantas. Padahal, dalam pikiran, niat dan tindakannya mungkin ia tidak sadar telah menjadikanNya alas kasutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun