Suatu hari di Senin pagi pada tahun 1998, seperti biasanya adalah sebuah hari yang sibuk di pagi hari. Ibu kerepotan menyiapkan sarapan pagi dan dengan omelannya membangunkan kami bertiga.
"Bangun kalian, sudah jam seratus ini! Kalian apa tidak takut terlambat sekolah," kata ibu sambil sibuk menyiapkan sarapan.
Saya saat itu kelas tiga SMP di sebuah sekolah menengah pertama negeri di kampung kami. Saya mempunyai dua orang adik, satu duduk di kelas satu SMP dan yang bungsu di kelas satu sekolah dasar. Kami bertiga bersekolah di sekolah negeri umum. Siswa-siswanya adalah anak orang kebanyakan dari keluarga yang biasa-biasa saja, tapi ada juga satu dua orang siswa yang berasal dari keluarga berada, pengusaha, pejabat dan preman.
Aku tidak terbiasa bergaul dengan anak-anak yang sebaya denganku sebagaimana umumnya. Yang kulakukan bisa dibilang sesuatu yang sudah sangat teratur sejak bangun pagi hingga tidur lagi pada malam hari. Pergi ke sekolah setiap hari hingga hari Sabtu, mengikuti les Bahasa Inggris pada hari Senin dan Kamis, les matematika pada hari Rabu, hari Minggu ke gereja, dan sore hari pada setiap Minggu mengikuti pendalaman Alkitab untuk anak remaja sekolah minggu. Mungkin karena itulah aku tidak terlalu terbiasa bermain dengan teman-teman sebaya, karena nyaris tidak ada waktu yang terbuang. Semua waktu sudah dipakai habis untuk belajar, mengerjakan pekerjaan rumah, baik yang diberikan oleh guru sekolah maupun oleh ibu, dan beribadah di akhir pekan.
Karena nyaris tidak punya waktu bermain, aku pun sangat menikmati kesendirian. Semua hal nyaris bisa aku lakukan sendiri. Waktu yang tersisa untuk menyenangkan diriku sendiri sering aku habiskan dengan membaca. Yang paling aku sukai adalah buku-buku yang berisi kisah hidup orang-orang, baik yang dianggap pahlawan hingga penjahat terkenal, namun mereka memberikan pengaruh yang besar bagi orang-orang di sekelilingnya, dan tentu saja novel. Bisa dibilang aku sudah merasa seperti tidak membutuhkan teman, sepanjang ada buku bersamaku.
Pernah pada suatu malam, bapak memarahiku karena belum tidur sementara hari telah menjelang subuh, pukul tiga dinihari. Waktu itu aku mengerjakan tugas mata pelajaran geografi menggambar peta Indonesia. Aku mengerjakannya dengan sangat memperhatikan detil, baik lekuk peta sesuai skala hingga detil warna permukaan pada setiap daratan di pulau-pulau dan setiap selat dan samuderanya sesuai petunjuk legenda pada buku Atlas Dunia.
"Apa tidak ada pelajaran yang lebih penting untuk kau kerjakan selain menggambar peta!" kata bapak dengan kesal, karena baru mengetahui aku belum tidur, sementara ayam sudah berkokok, tanda pagi segera menjelang. Aku tidak menjawabnya. Karena memang akan sia-sia saja menjawab bapak yang kesal. Aku hanya meneruskan mengecat peta untuk di bawa ke sekolah jam tujuh nanti. Begitulah aku memandang dan menjalani apa yang aku sukai hingga aku lupa pada waktu.
Pada suatu siang, saat berjalan pulang sekolah, seperti biasa aku berjalan sendiri. Tanpa kusadari ternyata di belakangku ada seorang siswa perempuan yang juga berjalan seorang diri. Kulitnya putih, rambut sebahu dengan tas ransel mungil yang lucu sekali. Dari pakaian, sepatu hitam mengkilat dan dandanannya kupastikan ia anak orang berada. Ia berjalan tidak jauh di belakangku, sehingga wangi parfum atau pewangi pakaian yang dipakainya aku tidak terlalu bisa membedakannya, tercium sayup-sayup, wangi sekali. Secara umum bisa dibilang dia siswa yang cantik.
Tanpa kuduga, karena sempat menoleh ke belakang, dia tersenyum dan memanggil namaku. "Jack, tunggu aku, keberatan bila aku berjalan bersamamu?".
Tentu saja aku terkejut, karena aku tidak yakin apakah aku mengenalnya, tapi kami satu sekolah dilihat dari seragamnya. Tapi, apa salahnya menghentikan langkah kaki untuk seorang siswa yang cantik. Aku menghentikan langkahku. Aku hanya merasa aneh, kenapa wanita ini mengenalku, karena aku merasa tidak pernah terlalu akrab dengan seseorang di sekolah. Aku tidak yakin apa ada yang menganggapku teman baik di sekolah.
Setelah berada di sebelahku, ia tersenyum, kami melanjutkan perjalanan pulang sekolah itu.
"Maaf ya, mungkin kita belum saling kenal, aku mengganggu perjalananmu."
"Ah, tidak apa, lagipula aku tidak terburu-buru."
"Kenalkan, namaku Tiffani, kamu bisa panggil aku fani."
"Oh, ya, dan kenapa kamu bisa tahu namaku?" tanyaku.
"Emm...hahaha, memang kenapa? Satu sekolah wajar dong kalau kita mengenal teman kita" katanya.
Aku jadi sedikit malu, karena menganggap hal-hal seperti itu sesuatu yang penting. Mungkin itulah kelemahan karena tidak biasa berteman. Lagipula dia ini perempuan, teman sesama lelaki saja tidak ada yang bisa dibilang teman karib buatku.
"Haha, ya, benar juga. Mungkin aku yang kurang memperhatikan teman-teman di sekolah, maaf ya."
"Ya, sepertinya kamu suka sendirian. Aku di kelas tiga C, kamu di kelas tiga A kan?"
"Kok kamu tahu, kamu suka memperhatikan orang-orang ya?"Â kataku.
Wajahnya memerah, mungkin karena aku tidak terlalu pandai memulai percakapan apalagi dengan orang yang baru aku kenal.
"Apa kamu selalu seperti ini berbincang dengan orang, sekalipun baru berkenalan kamu langsung apa adanya, tanya tanpa basa basi?"Â katanya dengan wajah masih bersemu merah.
"Oh, maaf, aku kurang sopan ya?"
"Ah, tidak, kamu malah sering sekali meminta maaf"Â katanya.
"Kamu tinggal dimana? Saya sebentar lagi harus berbelok di persimpangan di depan itu."
Ia menunjukkan sebuah persimpangan jalan sekitar lima puluh meter di depan.
"Oh, saya harus berjalan sekitar lima kilometer lagi. Aku tinggal di dekat sungai di batas kota ini."
"Wah, pasti tenang sekali tinggal di dekat sungai. Setiap hari pastinya segar sekali suasananya, apalagi saat bangun pagi" katanya sambil memicingkan mata, seolah-olah sedang membayangkan rumahnya sendiri ada di dekat sungai.
"Tidak juga, pagi hari memang segar, namun semakin siang agak bising juga karena rumahku dekat dengan jembatan. Banyak mobil dan truk yang melintas" jawabku.
"Oh, begitu ya."
"Ya."
"Kamu setiap hari berjalan kaki pulang pergi ke sekolah ya?" tanyanya.
"Ya, uang sakuku tidak cukup kalau aku naik angkutan umum pulang pergi ke sekolah. Lagipula aku senang berjalan kaki" kataku.
"Oh, begitu ya."
"Ya."
"Kamu keberatan nggak, kalau aku ikut berjalan kaki bersamamu setiap pulang pergi ke sekolah?"Â
Aneh sekali hari ini, pikirku. Ada orang yang tidak aku kenal, berkenalan juga baru sepuluh menit, dia minta supaya aku temani berjalan kaki setiap hari pulang pergi ke sekolah. Bukankah aku orang yang mungkin dianggap aneh oleh teman-teman sekolah, karena suka menyendiri. Penampilanku juga bisa dibilang buruk atau bahkan mungkin mengenaskan. Baju lusuh, karena tidak mungkin bagi keluarga kami untuk setiap tahun membeli baju sekolah lebih dari sekali, begitu juga sepatu, topi dan tas. Semuanya sudah diperhitungkan ibu dengan ketat. Karena ibu hanya seorang guru biasa, dan bapak adalah seorang petani.
"Kenapa harus keberatan? Kamukan bebas mau berjalan dengan siapapun?"
"Oh, ya, hmmmm... Kalau begitu sampai ketemu besok ya, simpang jalan ke rumahku di sini."
"Oke, sampai ketemu."
"Jam tujuh pagi, aku tunggu di sini, besok."
"Oke."
Hari ini matahari cukup terik. Kami berpisah setelah mengobrol dalam perjalanan selama lima belas menit. Lima belas menit yang aneh. Tapi entah kenapa, aku merasa cukup senang. Dia memang perempuan yang cantik, cukup bersabar juga. Aku tidak pernah membuat janji untuk berjalan bersama teman, baik laki-laki ataupun perempuan, atau membuat janji untuk bertemu sekedar mengobrol bersama seorangpun teman.
Mungkin karena aku merasa diriku terlalu aneh, maka sudah sewajarnya aku tidak memiliki teman akrab. Mengapa sekarang ada seorang asing yang tidak pernah ku kenal mau berjalan kaki pulang pergi ke sekolah bersamaku, atau jangan-jangan dia juga adalah seorang yang aneh? Aku membatin sambil berjalan menyusuri trotoar tanpa menghiraukan pejalan kaki lain dan kendaraan yang lalu lalang di jalan sebelahku.
Maka hari ini, aku mulai memiliki seorang teman, seorang perempuan. Dia berjalan kaki bersamaku setiap hari saat berangkat ke sekolah dan saat pulang ke rumah. Tidak ada hal yang penting yang kami bicarakan setiap perjalanan. Itu karena aku memang merasa diriku aneh, sehingga tidak pernah memulai pembicaraan pertama kali. Setiap kali, pasti selalu dia yang memulai pembicaraan.
Tidak ada yang terganggu dengan rutinitasku yang sudah teratur selama ini, sekalipun aku sudah memiliki seorang teman berjalan kaki. Aku masih tetap bersekolah, mengerjakan pekerjaan rumah, ikut les dan mengikuti ibadah pada hari Minggu, seperti biasa.
Pernah pada suatu Sabtu siang, saat kami berjalan pulang dari sekolah di tengah hari yang panas terik, ia mengenakan baju seragam yang bersih dan wangi, rambutnya yang sebahu diikat sebelah dengan pengikat rambut berbentuk pita berwarna biru, sehingga aku bisa melihat sebelah telinganya yang putih. Sementara aku mengenakan seragam yang sudah lusuh, kerah bajuku bahkan sudah ada robek-robeknya karena bekas sikat cucian.
"Pinjami aku topimu dong, panas sekali hari ini, boleh?" katanya mengejutkanku.
"Emmm...emmmm...bagaimana ya?" kataku agak gugup.
Topi sekolah yang aku pakai sudah berumur dua tahun, atau mungkin lebih. Sudah ada robek di sebelah sisi depannya, tetapi setiap hari Sabtu memang selalu dicuci ibu, sesekali olehku. Untuk topi ini aku punya alasan kenapa tidak pernah diganti. Terlepas dari ibu yang cukup hemat, bahkan mungkin pelit, aku sendiri sebenarnya sangat tersiksa apabila harus memakai barang-barang baru. Bagiku, sesuatu yang baru adalah suatu hal yang harus dihadapi dengan berhati-hati. Aku sudah nyaman dengan barang-barang yang sudah lama aku pakai, seakan sudah menjadi bagian dari tubuhku sendiri. Sementara, yang baru belum tentu cocok denganku. Tapi, tidak enak juga menolak permintaan pertolongan dari seorang perempuan, karena memang panas sekali hari ini. Hanya saja, tidak cocok rasanya topi sekolah lusuh yang robek itu melekati rambutnya yang indah itu.
"Panas sekali, masa topi saja kamu tidak mau pinjamkan kepada teman?"Â katanya dengan nada agak sedikit merayu.
"Baiklah, ini, tapi itu bau sekali loh, mungkin banyak ketombe di sana" godaku.
"Hahaha, benar juga, karena aku lihat kamu tidak pernah tidak mengenakan topi ke sekolah."
"Kenapa sih, padahal kalau tidak memakai topi kamu jadi lebih tampan loh" katanya lagi. Kali ini dengan nada yang terasa lebih genit.
Aku hanya merasa malu, karena topi itu memang sudah sedikit robek. Tapi kami terus saja berjalan.
"Jack, setelah tamat SMP nanti kamu mau melanjutkan sekolah ke mana?"
"Ah, di sini saja, paling cuma butuh waktu lebih lama untuk berjalan kaki sekitar 10 menit lagi dari sekolah kita sekarang" jawabku.
"Bagaimana ya rasanya kalau bisa terus berjalan kaki bersama, Jack?"
"Ya sudah, kamu tinggal ikut berjalan kaki saja bersamaku kalau mau."
"Itulah, ayahku sudah mengatakan kalau aku mau dimasukkan ke asrama sebuah sekolah khusus putri di Jogja."
"Bagus buatmu, sepertinya kamu akan cocok di sana. Mungkin cewek cantik sepertimu memang tidak aman di sekolah umum di sini. Apalagi kalau di SMA, kan cowoknya jahil-jahil. Di asrama kamu akan aman"Â kataku.
"Hmmm...seperti itu ya?"
"Barangkali..." kataku.
"Jack, hari Minggu nanti bisakah aku datang ke rumahmu? Aku mau melihat sungai yang dekat dengan tempat tinggalmu itu."
"Sepertinya bisa, boleh"Â kataku.
"Oke Jack, sampai ketemu, jam sembilan aku datang ke rumahmu ya."
"Oke."
Memang sudah hampir dua bulan, Tiffani berjalan kaki pulang pergi sekolah bersamaku, setiap hari. Namun, kami tidak pernah bertemu sekalipun selain saat perjalanan pulang pergi ke sekolah itu. Setiap hari aku menjalani rutinitasku seperti biasa. Permintaannya untuk datang ke rumah hari Minggu nanti adalah sesuatu yang tidak biasa. Tapi apa yang tidak biasa sudah merupakan hal yang tidak aneh lagi bagiku. Sudah terlalu banyak hal aneh yang kutemukan selain ajakan untuk berjalan-jalan di hari Minggu.
Besoknya, hari Minggu, tidak seperti biasa, aku tidak pergi ke gereja. Jam sudah menunjukkan pukul 8:30 wib. Kepada ibu aku berkata bahwa aku kurang enak badan, dan mau tidur saja di rumah. Ibu tidak merasa ada yang aneh, karena aku memang tidak pernah berbohong. Mungkin baru hari ini saja.
Biasanya ibadah Minggu yang dimulai pukul 9:00 wib akan selesai pukul 11:00 wib siang. Aku punya waktu dua jam berjalan-jalan di tepi sungai bersama Tiffani. Pukul 8:45 ibu dan kedua adikku pergi ke gereja, sementara bapak sudah lebih dulu pergi. Aku langsung mandi, berganti pakaian dan menungguinya di teras rumah, aku belum sarapan. Pukul 9:05 ia datang. Ia mengenakan celana jins ketat, baju kaos putih tanpa kerah, sepatu kets wanita berwarna biru, tas kecil lucu yang berbentuk ransel dan ikat rambut berbentuk pita warna biru mengikat sebelah rambutnya, memperlihatkan telinganya yang putih, cantik sekali.
"Ayo kita pergi" katanya.
"Ayo" kataku.
Hanya butuh waktu berjalan kaki lima menit kami sampai di sungai. Sungainya tidak terlau besar, tapi kata orang-orang cukup dalam. Aku sendiri tidak pernah mandi-mandi di sana. Dari bibir tebing, sungainya kelihatan mengalir tenang, tapi agak keruh. Kami berjalan menyusuri sungai lewat jalan setapak yang kecil. Jalannya mengikuti lekuk-lekuk sungai, sehingga sepanjang perjalanan terdengar bunyi desau aliran sungai yang tidak terlalu besar. Kami berjalan hampir lima belas menit, dan tidak ada yang kami bicarakan selama itu. Kali ini, aku yang memulai pembicaraan.
"Kamu sudah capek belum?"
"Tidak juga, aku sesekali mendaki gunung bersama ibu dan ayahku di hari Sabtu" katanya.
"Oh, menarik sekali, aku belum pernah mendaki gunung" kataku.
"Kalau libur begini biasanya kamu melakukan apa, selain berjalan-jalan ke sungai ini tentunya?"
"Biasa saja. Kalau tidak disuruh ibu mencuci baju dan mencuci piring-piring kotor, biasanya aku suka membaca di bawah pokok kayu di pekarangan rumah" kataku jujur.
"Kamu tidak suka bermain bersama teman-teman ya?"
"Ya, begitulah."
"Kenapa ada orang yang suka menyendiri sepertimu?"
"Aku tidak tahu, tapi aku sudah cukup senang kok dengan keseharianku?"
"Boleh kita duduk-duduk di sini?" katanya.
Ia menunjuk sebuah tempat yang agak rata di sisi tebing yang tertutup ilalang, namun masih bisa memandang ke arah jembatan, yang di sekitarnya ada gundukan-gundukan pasir sungai hasil penambangan manual buruh-buruh pabrik galian yang tidak beroperasi di hari Minggu.
"Boleh saja, tidak ada yang memiliki sungai ini, kita bisa duduk dimana kita mau" kataku.
Ia membentangkan sebuah kain berjemur yang biasa dipakai orang ketika berjemur di pantai.
"Sepertinya ini cukup nyaman buat tempat duduk, mari duduk" katanya.
"Ya."
Kami duduk bersebelahan, sambil memandang ke arah jembatan. Sejauh mata memandang, hanya ada ilalang-ilalang yang hijau di sekitar ladang-ladang yang ditanami jeruk, cabe, tomat dan sayuran yang sehari-hari di jual di warung-warung. Nun jauh di sana ada jembatan dan sungai yang mengalir tenang di bawahnya.
"Ini, aku ada bawakan kudapan" katanya.
Ia mengeluarkan dua kotak kue dari dalam ransel kecilnya.
"Wah, kebetulan sekali. Aku belum sarapan" kataku jujur.
"Hahaha, maaf, aku datang terlalu pagi atau kamu yang biasa bangun tidur kesiangan di hari Minggu ya. Sampai tidak sarapan segala?"
"Hmmmm..ya..ya.." kataku sambil menyantap kue bolu pisang yang rasanya tidak terlalu enak tapi tidak buruk juga.
"Ini aku yang buat loh, enak ya?" katanya lagi.
Pantas saja rasanya tidak terlalu enak pikirku, tapi jujur saja aku makan cukup lahap karena memang sudah agak lapar.
"Tidak buruk" kataku.
"Kamu jujur ya?"
"Ya."
"Jack, dua bulan lagi ujian nasional. Sebentar lagi kita tamat SMP"
"Lalu?"
"Kamu masih ingat kemarin aku bilang kalau ayahku menyuruhku masuk asrama putri di Jogja?"
"Ya, ingat."
"Rupanya bapak memang sudah menelfon kepala sekolahnya, ia mendaftarkanku, dan katanya aku harus lulus tes masuk ke asrama itu."
"Baguslah, kamu punya masa depan yang bagus di sana" kataku sambil memakan sisa kue bolu pisang itu.
"Jack, kamu serius mendengar atau memang mau makan saja?"
"Ya, aku mendengarkan."
"Jack, mungkin lebih menyenangkan kalau bersekolah di sini. Bisa berjalan bersamamu setiap hari."
Aku sudah menghabiskan seluruh kue di kotak yang pertama, sendirian menghabiskannya. Entah karena sudah merasa agak kenyang atau karena perubahan nada suaranya saat mengatakan pengandaiannya tentang lebih baik sekolah di sekolah umum di kampung ini, aku sadar dengan nada kesedihan dalam tekanan suaranya.
"Kenapa kamu berpikir seperti itu?" kataku.
Dia tidak menjawab beberapa saat. Dia mendekat ke arahku, menyelipkan lengannya menggamit lenganku. Aku terkejut, tidak menyangka dia melakukan itu. Sesaat kemudian, ia merebahkan kepalanya di bahuku. Ada perasaan aneh, dingin dan hangat bergantian mengaliri aliran darahku. Membawa perasaan itu segera menyusuri seluruh sudut tubuhku. Aku melambung, entah kemana, tidak tahu mau berkata apa. Kami terdiam beberapa saat. Aku membiarkannya terus bersandar di bahuku.
"Jack, apakah kamu suka kepadaku?"
"Enggg...ya, kurasa aku suka kepadamu" aku tidak menduga pertanyaannya ini.
Tapi kurasa aku memang suka kepadanya. Tidak saja karena ia memang cantik, tapi karena sejak awal pertemuan kami dalam segala suasana keanehan yang kurasakan telah membuatku merasa yakin bahwa ia lain dari yang lain. Ia memiliki suatu daya tarik dalam dirinya, begitulah yang kurasakan. Tapi aku bukan jenis orang yang pintar mengutarakan perasaanku.
Ia mendongakkan wajahnya ke arahku dalam kebisuan kami setelah beberapa saat. Tanpa kuketahui awal mulanya, kami berciuman. Sebuah ciuman yang alami dan bergairah. Aku belum pernah mencium perempuan sebelumnya. Enam atau tujuh detik kami berciuman. Wajahnya bersemu merah. Aku hanya merasakan kehangatan. Kurasa aku jatuh cinta.
Kami hanya duduk-duduk sesudahnya, sesekali saling meraba. Dia tetap duduk melekat dalam pelukanku. Kepalanya disandarkan ke bahuku. Tanpa sadar hari sudah semakin dingin. Kami sudah lebih dua jam duduk di sana.
"Bagaimana kalau kita pulang saja, tadi aku berbohong kepada ibu, aku bilang kalau aku sakit" kataku.
"Hahaha, ibu sendiri kamu bohongi. Bagaimana aku bisa yakin kalau saat ini kau tidak membohongiku" katanya.
"Aku baru sekali ini berbohong" kataku.
"Ayolah, kita pulang kalau begitu."
"Jack, jangan lupakan aku, setelah tamat SMP kita mungkin akan bertemu lagi atau bisa juga tidak" katanya.
"Kenapa aku harus melupakanmu?"
"Ya, kita tidak tahu, tapi aku senang kamu mau menjadi temanku, Jack."
Kami bergegas kembali pulang.
Dia pulang naik angkutan umum, aku kembali ke rumah. Di rumah, bapak, ibu dan adik-adikku sudah kembali dari gereja dan sedang duduk di meja makan, rupanya mereka akan segera berdoa. Jam sudah menunjukkan pukul 12:30 wib.
"Kamu dari mana? Katanya kurang enak badan?" tanya ibuku.
"Aku tadi pergi berobat" kataku, segera menarik kursi yang kosong dan ikut duduk mengitari meja makan. Â
Kami berdoa, doa sebelum makan siang. Aku menambahkan dalam doaku permohonan ampun, karena telah membohongi ibuku dan untuk tidak pergi beribadah. Sesuatu yang tidak pernah kulakukan sebelumnya, hanya karena aku jatuh cinta kepada seseorang. Jatuh cinta kepada seseorang yang akan segera pergi melanjutkan pendidikannya.
Begitulah, setelah tahun-tahun berlalu setamat SMP aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Pernah aku menghubunginya lewat telefon asramanya, saat itu tidak lama setelah gempa melanda Jogja. Aku menanyakan kabarnya, dan ia baik-baik saja. Ia mengatakan kalau ia menikmati suasana pelajaran di sekolahnya. Setelah itu, kami tidak saling mengetahui keberadaan masing-masing lagi.
Terakhir aku menelfon ke asramanya, kata pengurus asrama yang berbicara di telefon, dia sudah keluar dari asrama. Aku tidak menanyakan karena apa dan kemana dia pindah. Aku hanya teringat kalau ia pernah mengatakan bahwa ia sebenarnya lebih suka berada di sekolah umum. Mungkin ia sudah menemukan apa yang dia cari dan memutuskan untuk memilih melakukan apa yang dia sukai. Mungkin tidak ada yang tersisa dari diriku yang ada padanya, selain topi lusuh yang sudah robek di sebelah sisinya, yang sampai hari ini tidak pernah dikembalikannya.
Aku hanya perlu melanjutkan hidupku, tokh aku masih saja menemukan keanehan-keanehan lain dalam hidup yang kujalani. Kalau bukan aku yang aneh, kurasa memang dunia ini adalah tempat dengan banyak sekali keanehan. Aku masih mengingatnya, tapi tidak lagi merindukannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H