"Maaf ya, mungkin kita belum saling kenal, aku mengganggu perjalananmu."
"Ah, tidak apa, lagipula aku tidak terburu-buru."
"Kenalkan, namaku Tiffani, kamu bisa panggil aku fani."
"Oh, ya, dan kenapa kamu bisa tahu namaku?" tanyaku.
"Emm...hahaha, memang kenapa? Satu sekolah wajar dong kalau kita mengenal teman kita" katanya.
Aku jadi sedikit malu, karena menganggap hal-hal seperti itu sesuatu yang penting. Mungkin itulah kelemahan karena tidak biasa berteman. Lagipula dia ini perempuan, teman sesama lelaki saja tidak ada yang bisa dibilang teman karib buatku.
"Haha, ya, benar juga. Mungkin aku yang kurang memperhatikan teman-teman di sekolah, maaf ya."
"Ya, sepertinya kamu suka sendirian. Aku di kelas tiga C, kamu di kelas tiga A kan?"
"Kok kamu tahu, kamu suka memperhatikan orang-orang ya?"Â kataku.
Wajahnya memerah, mungkin karena aku tidak terlalu pandai memulai percakapan apalagi dengan orang yang baru aku kenal.
"Apa kamu selalu seperti ini berbincang dengan orang, sekalipun baru berkenalan kamu langsung apa adanya, tanya tanpa basa basi?"Â katanya dengan wajah masih bersemu merah.
"Oh, maaf, aku kurang sopan ya?"
"Ah, tidak, kamu malah sering sekali meminta maaf"Â katanya.
"Kamu tinggal dimana? Saya sebentar lagi harus berbelok di persimpangan di depan itu."
Ia menunjukkan sebuah persimpangan jalan sekitar lima puluh meter di depan.
"Oh, saya harus berjalan sekitar lima kilometer lagi. Aku tinggal di dekat sungai di batas kota ini."
"Wah, pasti tenang sekali tinggal di dekat sungai. Setiap hari pastinya segar sekali suasananya, apalagi saat bangun pagi" katanya sambil memicingkan mata, seolah-olah sedang membayangkan rumahnya sendiri ada di dekat sungai.
"Tidak juga, pagi hari memang segar, namun semakin siang agak bising juga karena rumahku dekat dengan jembatan. Banyak mobil dan truk yang melintas" jawabku.
"Oh, begitu ya."
"Ya."
"Kamu setiap hari berjalan kaki pulang pergi ke sekolah ya?" tanyanya.
"Ya, uang sakuku tidak cukup kalau aku naik angkutan umum pulang pergi ke sekolah. Lagipula aku senang berjalan kaki" kataku.
"Oh, begitu ya."
"Ya."
"Kamu keberatan nggak, kalau aku ikut berjalan kaki bersamamu setiap pulang pergi ke sekolah?"Â
Aneh sekali hari ini, pikirku. Ada orang yang tidak aku kenal, berkenalan juga baru sepuluh menit, dia minta supaya aku temani berjalan kaki setiap hari pulang pergi ke sekolah. Bukankah aku orang yang mungkin dianggap aneh oleh teman-teman sekolah, karena suka menyendiri. Penampilanku juga bisa dibilang buruk atau bahkan mungkin mengenaskan. Baju lusuh, karena tidak mungkin bagi keluarga kami untuk setiap tahun membeli baju sekolah lebih dari sekali, begitu juga sepatu, topi dan tas. Semuanya sudah diperhitungkan ibu dengan ketat. Karena ibu hanya seorang guru biasa, dan bapak adalah seorang petani.
"Kenapa harus keberatan? Kamukan bebas mau berjalan dengan siapapun?"
"Oh, ya, hmmmm... Kalau begitu sampai ketemu besok ya, simpang jalan ke rumahku di sini."
"Oke, sampai ketemu."
"Jam tujuh pagi, aku tunggu di sini, besok."
"Oke."