Di depan api unggun, Kanaya terlihat mulai sedih karena sebenarnya ia tidak terlalu suka kehidupan di alam bebas, ditambah lagi situasi yang sepertinya sudah diluar kendali. Kenyataan bahwa saat ini dia ada di hutan semata-mata karena desakan Anggi kakak kelasnya.Â
Dia bertanya buat apa orang harus repot-repot ke alam liar, ke hutan, ke gunung, apa manfaatnya selain kerepotan yang mungkin ditimbulkannya. Aku menjawab dengan mengutip syair pada original sound track film Gie, bahwa dengan berbagi waktu dengan alam, kita akan tahu siapa diri kita sebenarnya, belajar hakikat manusia.Â
Mungkin Kanaya tersadar kalau dirinya lebih banyak menambah kesulitan-kesulitan saja dengan ketakutannya yang terkadang kekanak-kanakan. Menyadari hal itu, Kanaya menjadi sedikit lebih memberanikan diri dan lebih kooperatif apabila ada penjelasan-penjelasan untuk dilakukan.
Selama kurang lebih satu jam sudah mobil yang kami tumpangi mogok, aku teringat kembali suatu pelajaran tentang kepemimpinan dari John Maxwell, leadership is influence, nothing more nothing less, bahwa kepemimpinan adalah tentang mempengaruhi, tidak lebih tidak kurang. Apakah sekarang aku sudah berhasil mempengaruhi Kanaya sehingga ia menjadi lebih bekerjasama, aku kurang tahu.
Lima belas menit kemudian sipenjaga tiba di lokasi. Karena Lukman, Prita dan Kevin anaknya tidak mungkin menginap dipondok, sementara Her harus ikut ke kota supaya besok bisa segera memperbaiki radiator mobilnya yang rusak dan kembali lagi untuk memasangnya, maka Kanaya yang selanjutnya akan dibonceng ke pondok.Â
Namun Kanaya menolak, katanya mau tetap tinggal bersamaku menemani Lukman sekeluarga dan Her di sekitar api unggun, menunggu mobil jemputan dari kota. Tapi aku tegaskan bahwa Kanaya tidak akan bisa ikut ke kota karena mobil sedan itu hanya bisa mengangkut empat orang. Kanaya tetap tidak mau ikut ke pondok, katanya dia baru mau pergi ke pondok bersamaku setelah Lukman, Prita, Kevin dan Her berangkat dengan mobil ke kota.
Mendengar itu aku jadi teringat sepenggal ungkapan puisi Soe Hok Gie dalam Mandalawangi-Pangrango :
Senja ini, ketika matahari turun
Ke dalam jurang-jurangmu
Aku datang kembali
Kedalam ribaanmu, dalam sepimu