Siapa sangka di antara gelagah lebat di tengah sawah yang telah terbengkalai, ada arbei yang berbuah ranum meski tidak mempersiapkan diri akan dipetik pada suatu ketika nanti, atau hanya akan jatuh ke tanah setelah terlalu matang.
Begitupun dalam menjalani kehidupan, tak selamanya semua orang akan mendukung apa yang kita lakukan, sekalipun itu adalah pelayanan bagi kebaikan bersama, kebaikan banyak orang. Di dalam budaya sosial baik kolektif maupun individual, tetap dibutuhkan para penyintas yang berjiwa kuat untuk mampu menerobos labirin kehidupan.Â
Sintas adalah bertahan hidup dalam kondisi yang tidak diinginkan, dalam jangka waktu yang lama. Seseorang yang mengalami kondisi demikian disebut penyintas. Penderita suatu penyakit berkepanjangan, orang yang mengalami perlakuan tidak adil dalam waktu yang lama, atau orang yang bertahan selama dalam pengasingan atau peperangan, adalah penyintas.
Kata 'penyintas' kali pertama muncul sekitar tahun 2005. Kata tersebut dipopulerkan oleh para aktivis kemanusiaan dan relawan saat terjadi bencana. Istilah ini merupakan terjemahan dari kata survivor dari bahasa Inggris yang berarti 'orang yang selamat'. Meskipun semua penyintas mengalami penderitaan, namun tidak selalu sama dengan korban akibat suatu kejadian. Sebab, korban, pada umumnya tidak memiliki kemampuan (berdaya) untuk bertahan dalam suatu kondisi, bahkan ada yang meninggal dunia. Dengan demikian, apabila seseorang yang menjadi korban dari suatu kejadian atau bencana, tetapi ia berhasil bangkit, maka ia disebut sebagai penyintas. Sumber: wikipedia
Mereka, para penyintas modernitas yg bertahan dalam jatuh bangun selera zaman, adalah sebagian kecil hal yang membesarkan hati dalam segala macam kekurangan. Orang-orang yang melayani dengan jiwa yang kuat, akan mengulurkan jabat tangan erat dengan mata bercahaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H