Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyintas Labirin, Berbuah dan Berseri Meskipun dalam Sepi

17 November 2018   10:33 Diperbarui: 17 November 2018   11:49 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini adalah ekspresi geliat batin, yang diniati menjadi kesaksian panggilan untuk tetap menjadi anggota masyarakat yang hidup dengan cinta dan menebarkannya di tengah situasi sosial yang sudah dan sedang menjalani ujian dalam derasnya potensi kerenggangan dan keretakan. Cinta, sekecil apapun penting untuk tetap dipelihara dan dipupuk, meskipun karenanya kita harus hidup dalam paradoks keheningan yang riuh.

Istilah sosiologi sebagai cabang Ilmu Sosial dicetuskan pertama kali oleh ilmuwan Perancis, bernama August Comte tahun 1842. Ia kemudian dikenal sebagai Bapak Sosiologi.

Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang masyarakat lahir di Eropa karena ilmuwan Eropa pada abad ke-19 mulai menyadari perlunya secara khusus mempelajari kondisi dan perubahan sosial. (wikipedia)

Dalam sebuah penjelasan tentang pendekatan sosiologis oleh Michael S. Northcott, diterapkan serangkaian kategori sosiologis, salah satunya adalah kategori stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas. Kondisi dan perubahan sosial di masyarakat juga tidak lepas dari proses sosial, seperti relasi intergroup, interaksi personal, penyimpangan, dan globalisasi.

Dalam sejarah runtuhnya uni soviet (1917-1991), sebuah sistem pemerintahan terpusat dari negara besar yang terdiri atas beberapa negara republik, dengan wilayah yang sangat luas, serta keberagaman etnik dan budaya, seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman di tengah kondisi masyarakat yang rata-rata miskin di bawah rezim yang diktator, mendorong tumbuhnya semangat pembaharuan.

Terutama karena perkembangan waktu, akhirnya memunculkan generasi baru. Generasi baru yang menginginkan adanya restrukturisasi ekonomi untuk menghentikan laju korupsi demi meningkatkan kesejahteraan dan adanya keterbukaan informasi.

Melalui apa yang dinamakan Mikhael Gorbacev sebagai Glasnost dan Perestroika, akhirnya malah menjadi senjata pamungkas meruntuhkan Soviet yang besar tetapi limbung menahan berat badannya sendiri.

Belajar dari sejarah, bahwa ukuran tidak selamanya berdampak positif bila tidak dikelola dengan baik, entah itu luas wilayah apalagi keragaman etnik, apabila kita gagal mengelolanya.

Sejarah mengajarkan pelajaran, bahwa dulu pun sudah disadari pentingnya untuk seperti syair Indonesia Raya: "bangun jiwanya, bangun badannya", atau seperti semboyan bahasa Latin yang dijadikan hiasan papan di dinding sekolah dasar dan menengah, "di dalam tubuh yang sehat ada jiwa yang kuat."

Kegagalan dalam mengelola sesuatu yang dianggap oleh orang lain sebagai potensi keunggulan pun bisa berujung keburukan seperti sejarah Uni Soviet.

Belajar dari tanaman Arbei (atau kopi-kopi dalam bahasa anak kecil di kampung ini), bahwa perdebatan atas pilihan mana yang terbaik, tentang kolektivisme atau individualisme, ternyata tidak berpengaruh banyak untuknya, yang tetap berbuah, berseri, meskipun dalam sepi, yang menyembunyikan ketidaktahuannya atas semua yang terjadi, yang tetap menjalani hari-harinya dalam rasa cinta, meski sendiri. Sampai suatu ketika ditemukan para penyintas yang tertarik melihat keranumannya.

Siapa sangka di antara gelagah lebat di tengah sawah yang telah terbengkalai, ada arbei yang berbuah ranum meski tidak mempersiapkan diri akan dipetik pada suatu ketika nanti, atau hanya akan jatuh ke tanah setelah terlalu matang.

Begitupun dalam menjalani kehidupan, tak selamanya semua orang akan mendukung apa yang kita lakukan, sekalipun itu adalah pelayanan bagi kebaikan bersama, kebaikan banyak orang. Di dalam budaya sosial baik kolektif maupun individual, tetap dibutuhkan para penyintas yang berjiwa kuat untuk mampu menerobos labirin kehidupan. 

Sintas adalah bertahan hidup dalam kondisi yang tidak diinginkan, dalam jangka waktu yang lama. Seseorang yang mengalami kondisi demikian disebut penyintas. Penderita suatu penyakit berkepanjangan, orang yang mengalami perlakuan tidak adil dalam waktu yang lama, atau orang yang bertahan selama dalam pengasingan atau peperangan, adalah penyintas.

Kata 'penyintas' kali pertama muncul sekitar tahun 2005. Kata tersebut dipopulerkan oleh para aktivis kemanusiaan dan relawan saat terjadi bencana. Istilah ini merupakan terjemahan dari kata survivor dari bahasa Inggris yang berarti 'orang yang selamat'. Meskipun semua penyintas mengalami penderitaan, namun tidak selalu sama dengan korban akibat suatu kejadian. Sebab, korban, pada umumnya tidak memiliki kemampuan (berdaya) untuk bertahan dalam suatu kondisi, bahkan ada yang meninggal dunia. Dengan demikian, apabila seseorang yang menjadi korban dari suatu kejadian atau bencana, tetapi ia berhasil bangkit, maka ia disebut sebagai penyintas. Sumber: wikipedia

Mereka, para penyintas modernitas yg bertahan dalam jatuh bangun selera zaman, adalah sebagian kecil hal yang membesarkan hati dalam segala macam kekurangan. Orang-orang yang melayani dengan jiwa yang kuat, akan mengulurkan jabat tangan erat dengan mata bercahaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun