Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Dari Kecerdasan Buatan hingga Tahu Apa yang Kita Pikirkan

9 November 2018   11:38 Diperbarui: 9 November 2018   17:33 1026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: geekwire.com

Apa yang Anda Pikirkan?

Pertanyaan singkat ini mampu melakukan represi terhadap kesadaran jutaan manusia dewasa ini, sehingga alam bawah sadar mengambil alih kendali atas kesadaran kita. Bahkan melalui kecerdasan buatan, serangkaian pertanyaan lainnya seakan mampu memetakan apa yang kita inginkan, apa yang kita pikirkan, oleh karenanya kita larut dalam jawaban-jawaban di dunia yang tidak kasat mata. 

Dari percakapan bersama beberapa teman sampai dini hari tadi, saya mencoba memikirkan arah kecenderungan otak kita bekerja saat ini yang sudah sangat dipengaruhi oleh kerja kecerdasan buatan.

Dalam salah satu bagian bukunya yang berjudul Marxisme Seni Pembebasan (Jakarta: Tempo & PT. Grafity, 2011, hlm. 182), Goenawan Mohamad menjelaskan mengenai komodifikasi. 

Komoditas mengandung pertentangan dalam dirinya, sesuatu yang konkret sekaligus abstrak. Ia tampil dalam bentuk, warna, aroma, tekstur yang menggugah, merangsang indra, menggetarkan imajinasi, tapi pada saat yang sama ia jadi abstrak, yang sifat hubungannya dengan manusia sepenuhnya kualitatif, majemuk dan berbeda, selain untuk pemuas kebutuhan melalui manfaat dan guna, komoditas juga menjadi pemuas tanda kelas.

Dari komoditas nilai tukarpun lahir, karena komoditas dapat dipertukarkan, komoditas diabstraksi jadi sederet ekuivalen, masing-masing sebagai titik dari basis skala yang sama, yang diukur melalui harga. 

Secara sosial nilai ekuivalen diterima secara umum melalui uang. Dengan uang ada yang didapat, namun ada pula yang hilang. Ekonomi pasar membuat terjadinya proses dimana hal yang sebelumnya tidak diperjualbelikan pun menjadi komoditas, disebut komodifikasi.

Komodifikasi yang gemuruh membuat hubungan sosial seakan lenyap dan tak jadi konkret lagi, yang saling berhubungan adalah komoditas satu dan lainnya. Manusia menjadi tenggelam dalam peradaban masyarakat ekonomi dalam pasar. 

Ia tidak bisa menentukan dirinya sendiri. Hal ini telah menjadi telaah panjang setelah Nietzsche dan Marx, dua pandangan yang sejajar terkait materialisme historis dan zoroastrianisme, yang memandang setiap komoditas lain hanya sebagai bentuk penampilan dari nilainya sendiri.

Saya berasumsi kalau kata komodifikasi adalah penggabungan dari kata commodity modification, atau modifikasi komoditi, maka bukan tidak mungkin proses komodifikasi atas pikiran pun berpotensi menjadikan pikiran sebagai komoditi, objek yang diperdagangkan dengan nilai ekonomi tinggi. Dalam ekonomi, permintaan dan penawaranpun saling mempengaruhi dan dilayani melalui sebuah pasar.

Mengutip tulisan Goenawan Mohamad (Ibid., hlm. 184), bahwa saat ini kita hidup pada abad masyarakat ekonomi, masyarakat konsumsi, dimana ekonomi pasar berkuasa. Dengan kata lain kita hidup pada sebuah pasar, dimana kita dikerumuni benda-benda dan begitu banyak tempat bercermin. 

Suatu masa dengan kecenderungan manusia bercirikan masyarakat leisure class, kelas yang asyik, lapisan masyarakat yang punya banyak uang dan waktu luang dan menikmati keduanya dengan layak.

Pasar adalah proses hal-ihwal jadinya komoditas; sayuran, makanan, kendaraan, bahan bacaan, pakaian, paket ibadah, paket acara, dll. Pokok ini bila ditinjau pada zaman kita ini, dimana kita bicara tentang maraknya dua hal yang oleh Daniel Bell disebut sebagai dua penemuan manusia yang paling menakutkan sejak ditemukannya mesiu, yaitu iklan dan cara beli barang tanpa bayar kontan. Iklan tidak putusnya menggoda dan mengubah isi kepala, dari keinginan jadi keperluan. 

Sementara beli barang tanpa bayar kontan memungkinkan orang banyak memperoleh benda-benda yang tak terjangkau dengan gampang, dengan mencicil dan mengangsur, dan kartu kredit dan ilusi "mudah dapat" yang lain.

Pasar justru menghadirkan kesendirian dan keterasingan. Karena kebersamaan yang semu dan perjumpaan sementara yang berlangsung di permukaan, antara penjual dan pembeli yang masing-masing hanya memikirkan bagaimana kebutuhannya sendiri terpenuhi. Di pasar, orang-orang terdekat kita jadi pesaing kita, mendesak kita untuk berpacu, penuh keinginan untuk saling mengalahkan. 

Maka itu di pasar, rasa iri bukan hal yang salah, rakus bisa jadi bagus. Disini kebenaran adalah soal singkat dan sederhana, ya dan tidak, pro atau anti. Sebuah gambaran dunia dengan tempat pikiran serba sempit dan serba praktis, tapi pongah, menurut Nietzsche. 

Maka sekarang kita saksikan apa yang terjadi di sekitar kita, komunitas yang beragam, yang bersifat lokal serta intim, sudah dan sedang retak. Kebersamaan manusia berubah menjadi kerumunan massa, kemudian jadi kerumunan dimana segala macam jual-beli berlangsung, sesuatu yang tadinya tidak diperjualbelikan pun jadi komoditas.

Dari percakapan bersama beberapa teman sampai dini hari tadi, saya mencoba memikirkan kalau pikiran pun sudah menjadi komoditas, maka sulit memikirkan apakah masih ada hal yang tidak bisa diperjualbelikan. Kita bukan tanpa sengaja melakukan represi terhadap kesadaran kita melalui teknologi, termasuk kecerdasan buatan. 

Kata kawan saya itu, karena kecerdasan buatan sangat tergantung kepada data, maka kecerdasan buatan tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa data. Sebelum data dimanipulasi, ia masih tidak terstruktur dan tidak berguna. 

Dengan sadar atau tanpa sadar, bisa kita bayangkan berapa bit data yang ditransfer ke media sosial setiap kali ratusan juta penggunanya di seluruh belahan dunia meng-update status sebagai jawaban atas pertanyaan "Apa yang Anda pikirkan?" di satu detik yang sama. 

Seandainya kita bisa memiliki perangkat yang bisa mendengarkan percakapan pengguna media sosial setiap hari, kemudian diolah dan dianalisa untuk keperluan tertentu, maka tidak bisa dibayangkan keriuhan dan kerusakan seperti apa yang bisa kita dapatkan. 

Hal ini mungkin dijelaskan melalui pandangan beberapa tokoh, antara lain pendapat filsuf sekaligus fisikawan Stephen Hawking, yang pernah mengingatkan bahwa ketergantungan terhadap kecerdasan buatan adalah awal dari kehancuran peradaban manusia, atau ungkapan sebuah antinomi perasaan dari Karen Armstrong, seorang pengarang sekaligus feminis, yang merasakan sesuatu yang tak terlihat melalui semilir angin yang sepoi dan paradoks keheningan yang riuh. Karena itu berhati-hatilah dalam berpikir dan dalam membagikan jawaban atas apa yang anda pikirkan, terutama di dunia yang tidak kasat mata.     

"...di mana kesendirian berhenti, pasarpun mulai, dan dimana pasar mulai, mulai pulalah riuh dan rendah para aktor besar dan desau kerumun lalat beracun". ---Zarathustra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun