Suatu masa dengan kecenderungan manusia bercirikan masyarakat leisure class, kelas yang asyik, lapisan masyarakat yang punya banyak uang dan waktu luang dan menikmati keduanya dengan layak.
Pasar adalah proses hal-ihwal jadinya komoditas; sayuran, makanan, kendaraan, bahan bacaan, pakaian, paket ibadah, paket acara, dll. Pokok ini bila ditinjau pada zaman kita ini, dimana kita bicara tentang maraknya dua hal yang oleh Daniel Bell disebut sebagai dua penemuan manusia yang paling menakutkan sejak ditemukannya mesiu, yaitu iklan dan cara beli barang tanpa bayar kontan. Iklan tidak putusnya menggoda dan mengubah isi kepala, dari keinginan jadi keperluan.Â
Sementara beli barang tanpa bayar kontan memungkinkan orang banyak memperoleh benda-benda yang tak terjangkau dengan gampang, dengan mencicil dan mengangsur, dan kartu kredit dan ilusi "mudah dapat" yang lain.
Pasar justru menghadirkan kesendirian dan keterasingan. Karena kebersamaan yang semu dan perjumpaan sementara yang berlangsung di permukaan, antara penjual dan pembeli yang masing-masing hanya memikirkan bagaimana kebutuhannya sendiri terpenuhi. Di pasar, orang-orang terdekat kita jadi pesaing kita, mendesak kita untuk berpacu, penuh keinginan untuk saling mengalahkan.Â
Maka itu di pasar, rasa iri bukan hal yang salah, rakus bisa jadi bagus. Disini kebenaran adalah soal singkat dan sederhana, ya dan tidak, pro atau anti. Sebuah gambaran dunia dengan tempat pikiran serba sempit dan serba praktis, tapi pongah, menurut Nietzsche.Â
Maka sekarang kita saksikan apa yang terjadi di sekitar kita, komunitas yang beragam, yang bersifat lokal serta intim, sudah dan sedang retak. Kebersamaan manusia berubah menjadi kerumunan massa, kemudian jadi kerumunan dimana segala macam jual-beli berlangsung, sesuatu yang tadinya tidak diperjualbelikan pun jadi komoditas.
Dari percakapan bersama beberapa teman sampai dini hari tadi, saya mencoba memikirkan kalau pikiran pun sudah menjadi komoditas, maka sulit memikirkan apakah masih ada hal yang tidak bisa diperjualbelikan. Kita bukan tanpa sengaja melakukan represi terhadap kesadaran kita melalui teknologi, termasuk kecerdasan buatan.Â
Kata kawan saya itu, karena kecerdasan buatan sangat tergantung kepada data, maka kecerdasan buatan tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa data. Sebelum data dimanipulasi, ia masih tidak terstruktur dan tidak berguna.Â
Dengan sadar atau tanpa sadar, bisa kita bayangkan berapa bit data yang ditransfer ke media sosial setiap kali ratusan juta penggunanya di seluruh belahan dunia meng-update status sebagai jawaban atas pertanyaan "Apa yang Anda pikirkan?" di satu detik yang sama.Â
Seandainya kita bisa memiliki perangkat yang bisa mendengarkan percakapan pengguna media sosial setiap hari, kemudian diolah dan dianalisa untuk keperluan tertentu, maka tidak bisa dibayangkan keriuhan dan kerusakan seperti apa yang bisa kita dapatkan.Â
Hal ini mungkin dijelaskan melalui pandangan beberapa tokoh, antara lain pendapat filsuf sekaligus fisikawan Stephen Hawking, yang pernah mengingatkan bahwa ketergantungan terhadap kecerdasan buatan adalah awal dari kehancuran peradaban manusia, atau ungkapan sebuah antinomi perasaan dari Karen Armstrong, seorang pengarang sekaligus feminis, yang merasakan sesuatu yang tak terlihat melalui semilir angin yang sepoi dan paradoks keheningan yang riuh. Karena itu berhati-hatilah dalam berpikir dan dalam membagikan jawaban atas apa yang anda pikirkan, terutama di dunia yang tidak kasat mata. Â Â Â