Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Si Sangap dan Telur Ayam Kampung

30 Oktober 2018   23:14 Diperbarui: 12 September 2022   21:59 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita ini tentang kisah hidup seorang anak yang dipelihara ayam kampung kesayangan Nini Itingnya.

Alkisah di sebuah kampung hiduplah satu keluarga dengan ibu, bapa, seorang anak dan neneknya. Keluarga bapa Sangap, begitu mereka dipanggil, karena Sangap adalah anak tertua di keluarga itu.

Kondisi ekonomi keluarga yang buruk dan tabiat bapa Sangap yang penjudi dan kerap pulang larut malam membuat keluarga itu hampir setiap hari diwarnai perang mulut antara ibu dan bapa Sangap.

Sangap adalah anak satu-satunya, dan duduk di bangku SMA kelas 3. Ia adalah seorang anak yang rajin dan tekun belajar.

Betapa hancur hatinya melihat ibu dan bapa yang hampir setiap hari cekcok mulut. Tak pernah ia rasayakan kasih sayang dan kehangatan keluarga, kecuali perhatian dari Nini Itingnya, sebutan nenek untuk perempuan dari marga Ginting pada Suku Karo.

Nini Iting adalah seorang perempuan renta yang praktis hampir tak mampu bekerja. Umur yang uzur membuat Nini Iting sudah lebih memikirkan liang kubur ketimbang melerai percekcokan anak dan menantunya di rumah.

Satu-satunya alasan Nini Iting menghirup nafas setiap hari adalah rasa kasih sayangnya kepada Sangap, cucunya, yang hidup dalam anomali dan ironi yang pahit. Di usia yang seharusnya orang tua mencurahkan seluruh daya untuk mendukung upaya pencapaian cita-citanya, ia bahkan tidak pernah merasakan kelembutan ibu dan perlindungan seorang bapa.

Itu rupanya membuat Sangap terpecut niatnya untuk menjalani hidup sebaik-baiknya sepahit apapun kenyataannya.

Setiap hari Sangap menjual beberapa butir telur ayam kampung peliharaan Nini Itingnya ke warung sebagai tambahan belanja rumah dan tabungan biaya keperluan sekolahnya. Kenyataan yang mungkin tak pernah disadari ibu dan bapanya yang sibuk cekcok setiap hari.

Pada suatu hari, terjadi pertengkaran hebat antara ibu dan bapa sangap. Tidak seperti biasanya, setelah capek bertengkar mereka biasanya tetap akan berangkat ke kasur masing-masing dengan mimpi buruk mereka.

Malam itu, keduanya pergi dari rumah dan tidak kembali. Meninggalkan Sangap dan Nini Itingnya yang sudah mati rasa di rumah mereka.

Hari berlalu, Sangap akan segera tamat SMA, dan secara luar biasa sangap diterima dari jalur pemanduan minat dan bakat, bebas test ke Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Air mata Sangap berlinang bersama Nini Itingnya.

Bukan karena ibu dan bapa sudah tidak ada, itu adalah masa lalu yang pahit baginya, tetapi karena Sangap sangat fokus menatap masa depannya. Ia sangat khawatir karena sekadar ongkos berangkat mendaftar ulang ke Yogya dia tak punya.

Naluri kasih sayang nini Iting Sangap mendorongnya berencana konyol yang tak pernah terpikirkan oleh sesiapa. Nini Iting Sangap berkata: "Anakku, jangan engkau khawatir, tak usah sedih, besok pagi bawalah ayam kampung kesayangan Iting, itu harta paling berharga yang aku punya selain dirimu. Besok kau jual ayam itu dan telur-telurnya ke warung, barangkali cukup untuk ongkosmu ke Yogya."

Sangap tak kuasa membantah perkataan Nini Itingnya, karena ia sadar kasih sayangnya yang begitu besar. Sangap sudah mengkalkulasi total uang yang bakal diterimanya dari hasil menjual ayam kesayangan "paling berharga" milik neneknya berikut telur-telurnya.

Semuanya tidak akan lebih dari 100 ribu rupiah. Hanya cukup untuk mengantarkannya ke Medan, dengan tambahan makan siang berikut segelas teh manis dingin plus tetesan air mata.

Keesokan harinya, Sangap melakukan apa yang disuruh Nini Itingnya. Sangap menjual ayam kampung "paling berharga" peliharaan Nini Itingnya berikut telur-telurnya ke warung.

Pemilik warung heran, kenapa ia menjual tidak hanya telur ayam hari ini, tetapi juga berikut ayamnya. Orang sekampung pun tahu kalau ayam itu harta satu-satunya milik neneknya.

"Sangap kenapa pula kau jual ayam peliharaan nenekmu itu?" Demikian kata pemilik warung.

Sangap menceritakan alasannya terbata-bata, kenapa sumber telur yang hari demi hari memelihara hidupnya pun harus ia jual. Sang pemilik warung tercekat kerongkongannya, hampir tak mampu berkata apa-apa.

Sejenak ia menghela nafas, lalu katanya: "Sangap, tak usah kau jual ayam itu, kembalikan ke nenekmu. Sini telur-telurnya, saya akan beli seharga tiket pesawatmu sampai ke Yogya. Berjuanglah, Nak, agar tak sia-sia perjuangan nenekmu menjualkan telur-telur ayam kesayangannya."

Sangap pulang ke rumah sambil berlari sekencangnya. Tak bisa lagi memilih antara menangis atau bahagia.

Ia melakukan ketiganya sekaligus. Berlari sambil menangis bahagia. Sampai di rumah ia menceritakan semuanya kepada neneknya.

Singkat cerita, Sangap berangkat ke Yogya setelah sebelumnya ia dan neneknya menikmati makan siang terakhir mereka. Lauknya telur dadar ayam kampung peliharaan neneknya.

Di Yogya, Sangap menjalani kuliahnya di UGM dengan semangat dan tekad membara. Anak kampung yang hidup dari hasil berjualan telur ayam kampung juga pasti bisa, pikirnya.

Ia adalah mahasiswa penerima beasiswa. Oleh sebab itu dia tidak terlalu pusing memikirkan biaya kuliahnya. Namun, dia tetap juga kuliah sambil bekerja, karena dirasanya sudah pasti bahwa hasil berjualan telur ayam kampung neneknya tak akan cukup lagi menghidupinya di Yogya.

Pada suatu kesempatan liburan, Sangap kembali pulang ke kampungnya. Tanpa menaruh dendam, yang pertama ia cari adalah ibu dan bapanya.

Ia sangat yakin kalau masih ada sisi baik dalam diri ibu dan bapanya, kalau tidak ia pasti sudah mati sejak bayi. Barangkali kesulitan hiduplah yang membuat ibu dan bapa tidak bisa bersikap hangat padanya.

Seperti ungkapan orang bijak, bahwa setiap orang pasti sanggup membuat limun kalau hidup memberinya cukup lemon. Tetapi apa daya, ibu dan bapanya adalah orang tak punya.

Sangap berhasil menemui ibu dan bapanya secara terpisah. Dia menceritakan semua kisahnya, mulai dari sejak ibu dan bapanya meninggalkan rumah neneknya.

Tanpa paksaaan, Sangap mengundang ibu dan bapanya datang ke rumah Nini Iting untuk merayakan natal keluarga. Hari itupun tiba, satu-satu mereka datang dalam canggung. Sangap dan Nini Iting sudah menunggu di rumah.

Sama dengan Sangap, Nini Iting bersikap diam selama ini bukan karena dia sudah tidak sayang dengan anak dan menantunya. Nini Iting merasa bersalah karena tidak mampu mendidik anak-anaknya menjadi anak yang tangguh dan berbakti kepada orang tua.

Menyayangi ayam kampung saja dia bisa. Apalagi menyayangi anak yang lahir dari kandungannya, pastilah dia sanggup merelakan raga dan nyawanya.

Disadur ulang dari drama natal kaum Lansia, "Saitun" GBKP Pujidadi, Binjai--2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun