Pada suatu hari di tanggal 18 Juni 2017, saya menemani bapak mengikuti ibadah kebaktian minggu di gereja GBKP Lau Simomo. Pertama kali mengikuti kebaktian di gereja ini, saat masuk ke dalamnya serasa sedang beribadah di sebuah gereja di Walnut Groove, di tengah padang rumput seperti di film Little House on the Prairie tetapi dengan pengantar Bahasa Karo.
Sekilas sejarah pemukiman Lau Simomo sebagaimana disampaikan pengkhotbah dalam ibadah, bahwa permukiman penderita kusta di Desa Lau Simomo diprakarsai oleh Pendeta E.J. Van den Berg, seorang misionaris Belanda yang tergabung dalam NZG (Nederlandsche Zendeling Genootschap), sebuah lembaga pekabaran injil dari Belanda dengan tugas utama memberikan pelayanan kerohanian.
Semula para penderita kusta dirawat dan menginap di rumah Pendeta E.J. Van den Berg di Kabanjahe menggunakan sebagian fasilitas kamarnya untuk menampung sementara para penderita.Â
Selain sebagai tempat penampungan, rumah tersebut juga dilengkapi dengan apotek. Akibat dari banyaknya pasien yang datang ke tempat tersebut maka kamar yang tersedia tidak dapat lagi menampung pasien, sehingga pendeta E.J. Van den Berg mengusulkan pendirian permukiman baru di suatu tempat tidak jauh dari tempat semula yang kemudian disebut Desa Lau Simomo.
Usulan pendeta E.J. Van den Berg itu tidak disetujui oleh Asisten Residen Tapanuli, Western Berg. Menurut Asisten Residen permukiman para penderita kusta sebaiknya dibangun di daerah Huta Salem di Laguboti, Tapanuli karena sebelumnya di sana pada tanggal 5 September 1900 telah dibangun permukiman oleh Rheinsche Zending, sehingga sangat memudahkan pelayanan kerohanian maupun kesehatan.Â
Namun pendeta E.J. Van den Berg menentang pendapat tersebut karena lokasinya jauh dan bukan di Tanah Karo dan menurutnya itu sebagai bentuk pengasingan.
Seandainya lokasi permukiman yang baru itu jadi ditempatkan di lokasi yang jauh itu, barangkali ungkapan perasaan para penderita kusta yang merasa terkucil itu mungkin kurang lebih terwakili oleh pesan syair lagu Karo tempo dulu "Simulih Karaben" berikut ini:
nde aku kuja mulih ku gundari
ija ndia inganku ngadi-ngadi
latih kel bage suari ras berngi
denden rukur picet ari
oh ... si mulih karaben
ercakap aku la radum
arih-arih la erteman nake
kerah iluh rusursa ngandung
erdalan pe la terjingkangken nande
oh ... si mulih karaben
Sebuah syair yang menceritakan perasaan sedih yang sangat mendalam dari seseorang yang merasakan kesepian yang tak terkira, seolah tidak ada lagi harapan hidup, tidak punya sandaran dan teman untuk berbagi, pulang ke rumah saat malam menjelang tanpa ada orang yang mengharapkan, sendiri dalam tangis sedu sedan pengucilan.
Untuk menyelesaikan permasalahan itu maka diadakan Sidang Kerapatan Raja Bale Berempat dengan menghadirkan Asisten Residen Tapanuli dan Raja-raja Karo (para Sibayak).Â
Dalam sidang, uraian dan alasan memilih tempat permukiman yang disampaikan oleh pendeta E.J. Van den Berg sangat menarik dan menggugah para peserta sidang, sehingga sidang dengan persetujuan para peserta yang hadir menghasilkan keputusan untuk membangun permukiman penderita kusta ditempat yang diinginkan, di Lau Simomo.
Selanjutnya pada tanggal 25 Agustus 1906 dimulailah pembangunan permukiman penderita kusta di tempat baru tersebut. Pada saat itu pulalah pertama kali nama Lau Simomo yang dalam bahasa Karo, Lau berarti air atau sungai dan Momo berarti pengumuman. Selanjutnya orang-orang yang bermukim di permukiman itu juga menyebut tempat mereka dengan Kuta Keriahen atau desa sukacita.Â
Pembangunan permukiman dan fasilitas penderita kusta di Desa Lau Simomo dilaksanakan melalui beberapa tahap. Pembangunannya sekaligus bertujuan untuk mencegah penularan penyakit yang lebih luas kepada masyarakat, mempermudah perawatan dan pengobatan, termasuk merawat dan membina mentalnya.Â
Mungkin pada saat itu untuk pertama kalinya para penderita bisa merasakan sukacita karena mereka akhirnya memiliki harapan untuk sembuh. Dunia mungkin menganggap mereka layak dikucilkan, tetapi dari tempat ini akhirnya tersebar kabar baik dan sukacita, karena memberi tempat bagi mereka yang terkucil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H