Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Online vs Konvensional (Sebuah Autokritik)

30 Oktober 2018   11:43 Diperbarui: 30 Oktober 2018   11:49 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada sebuah kesempatan saat menjemput bapak di terminal kedatangan bandara Kuala Namu, Deli Serdang, saya duduk di bangku ruang tunggu di sudut terminal yang berdekatan dengan pool salah satu taxi konvensional yang melayani antar jemput penumpang dari dan ke bandara. 

Sambil menghisap dalam-dalam batang rokoknya, beberapa supir taxi konvensional tersebut terlibat dalam pembicaraan serius dan sengit. 

Rupanya mereka sedang merencanakan unjuk rasa ke pimpinan perusahaan tempat mereka bekerja dan diteruskan ke pihak pengelola bandara, terkait dengan keluhan mereka atas menjamurnya layanan taxi gelap dan taxi on line yang secara signifikan sangat mengurangi pendapatan mereka yang bertahan dengan konsep konvensional. 

Kata salah seorang di antara mereka : "jelas-jelas taxi gelap dan on line itu tidak memberikan kontribusi apa-apa ke pihak pengelola bandara, sedangkan kita jelas-jelas membayar "cukai" sehingga bisa beroperasi dengan resmi di bandara ini, tetapi justru kita yang tidak kebagian penumpang."

 Di sela-sela perbincangan para supir datanglah calon penumpang yang ingin memesan jasa layanan taxi mereka, namun anehnya para supir saling melempar tanggung jawab kepada temannya supir yang lain untuk mengantarkan sang calon penumpang ke tujuannya. 

Sangat aneh, karena mereka mengeluhkan tidak ada calon penumpang yang mau memakai jasanya tetapi justru saat ada yang mau memesan mereka justru saling berdalih untuk menolak mengantar penumpang. Alasannya manajemen tidak fair, karena menugaskan supir tidak pada jadwal shift kerjanya, sementara yang bertanggung jawab pada shiftnya menghilang entah kemana. 

Setidaknya, selama setengah jam saya duduk di sana ada empat calon penumpang yang akhirnya membatalkan pemesanannya dengan menggerutu karena merasa diabaikan oleh para supir taxi dan manajemennya.
Melihat realita tersebut, ada satu nilai yang terkonfirmasi benar adanya dan berlaku sama di organisasi manapun, baik di korporasi swasta maupun organisasi birokrasi di pemerintahan. 

Mengutip tulisan Rhenald Kasali, Ph. D, seorang akademisi sekaligus ekonom yang juga pakar manajemen yang mengutip pendapat Deal & Kennedy bahwa ada tujuh budaya negatif yang mengontaminasi organisasi pada masa transisi. Ketujuh nilai tersebut dapat menghapuskan atau mengurangi karakter positif pengikat sebuah institusi, seperti nilai-nilai komitmen, kebersamaan, dan loyalitas. 

Satu diantara ketujuh nilai negatif tersebut menurut Deal & Kennedy adalah budaya mengedepankan kepentingan kelompok. Ini adalah nilai laten yang dapat muncul saat organisasi pada masa transisi, antara lain disebabkan karena kita tengah berada di sebuah empasan gelombang besar yang memutuskan mata rantai ekonomi lama dengan sebuah mata rantai ekonomi baru yang benar-benar berbeda. 

Era ekonomi lama (era industri) yang ditandai dengan cara kerja birokratik, stabil, hierarkis, integratif, berskala ekonomis, berbasiskan regulasi dan monopoli sesungguhnya telah berakhir. Kita tengah berada di era baru yang disebut era informasi atau era digital.

 Segala sesuatu yang tadinya bergerak secara linear dan beruntun, berubah menjadi sirkular dan bergerak serentak. Informasi yang tadinya bersifat simetris menjadi transparan dan demokratis. Akibatnya, cara berusaha berubah menjadi lebih kompetitif, ramping, demokratis, independen, dan menuntut lebih banyak pendekatan kewirausahaan. 

Organisasi yang terlambat atau bahkan gagal beradaptasi pada masa transisi ini akan mengalami krisis, yang ditandai dengan karyawan yang semula menganut etos kerja "memberikan kemampuan yang terbaik kepada perusahaan/ institusi" dan sebaliknya perusahaan akan memberikan "imbalan yang layak, karier yang jelas, serta kondisi kerja positif" menjadi etos kerja karyawan dan manajemen perusahaan yang ngasal, seiring dengan hubungan sosiologis karyawan dan manajemen perusahaan yang semakin merenggang dan kehilangan unsur saling percaya. 

Padahal manusia memerlukan kepercayaan dalam bekerja, karena kepercayaan menimbulkan keyakinan, harapan dan simbol kesatuan yang mendorong mereka terus bekerja, membangun spirit kebersamaan dan memberikan arti bagi kehidupan.

Tidak sepenuhnya, fakta supir taxi bandara konvensional yang sepertinya menunjukkan ciri-ciri mengalami krisis di tengah hempasan maraknya jasa taxi on line dan kerumitan-kerumitan di organisasi birokrasi pemerintahan di tengah semangat digitalisasi yang diwakili oleh semangat pengembangan konsep e-government dapat disejajarkan, tetapi teori manajemen dan organisasi yang menjelaskan potensi munculnya kondisi krisis serta penyebabnya menunjukkan bahwa nilai-nilai yang mempengaruhi dinamika pada suatu organisasi bersifat universal, bahwa untuk bisa bersama sangat dibutuhkan adanya kepercayaan. Pada masa transisi segala sesuatu yang sudah menjadi biasa di masa lalu tiba-tiba menjadi gelap, tidak jelas lagi. Semuanya butuh waktu untuk menjadi jelas kembali.

 Di saat nilai-nilai lama sudah tidak relevan untuk dipertahankan, sementara nilai-nilai baru yang diharapkan akan mempersatukan setiap individu dalam organisasi belum lagi terbentuk, maka selama proses transisi itu sangat dibutuhkan sub kultur-sub kultur dalam unit-unit organisasi tetap membina ikatan nilai yang kuat untuk mampu bekerja secara efektif, sehingga pada saatnya realitas baru terbentuk dan diterima secara luas, seluruhnya akan menikmati suatu kesatuan kultural yang dulu pernah dinikmati bersama. 

Mencoba sesuatu yang baru jelas tidak akan mudah dan mendapatkan banyak pertanyaan, bahkan dihiasi oleh beribu-ribu keraguan. 

Tetapi sebagai sesama saudara patutlah kita berikan walau sedikit saja keyakinan dan kepercayaan untuk manajemen bekerja, sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang paling menguntungkan bagi kepentingan bersama. Bukankah ilmu hukum juga menganut prinsip "in dubio pro reo"; dalam keraguan, hakim akan menggunakan hukuman yang paling meringankan bagi terdakwa. Entah siapa terdakwa, siapa hakim, pengamat bebas mengomentarinya.

Karena terlalu dalam memikirkannya sambil menyetir, saat perjalanan pulang keluar dari bandara, saya salah masuk jalur pintu tol, sehingga untuk ke Kabanjahe kami harus keluar dari pintu tol Lubuk Pakam di ruas tol yang baru beberapa waktu yang lalu diresmikan presiden. 

Maafkan saya pak, niat saya menjemput untuk mempercepat perjalanan bapak, malah akhirnya jadi jalan-jalan dan kemalaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun