Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Netralitas Birokrat, Masihkah (Perlu) Ada?

29 Oktober 2018   22:14 Diperbarui: 24 September 2020   09:47 861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengukuhan Pamong Praja Muda Angkatan XIII STPDN Tahun 2005 (dokpri)

 

Netral bisa diartikan secara kontekstual tidak memihak, tidak positif dan tidak negatif, tidak kiri dan tidak kanan, dan lain sebagainya sesuai konteks. Seringkali dipakai untuk menggambarkan suatu situasi yang seolah-olah berada ditengah-tengah, mungkin bisa juga ditafsirkan sebagai moderat, atau bahkan abu-abu.

Sebagaimana sains mengartikannya tidak positif dan dan tidak negatif, maka netral mungkin bisa juga dianggap bernilai nol atau bahkan tidak terhingga, tidak terdefinisi atau imajiner, untuk menjelaskan bahwa netral bukan berarti tidak bernilai sama sekali.

Dalam konteks kenegaraan, ada pandangan yang mengkonseptualisasi negara sebagai hubungan yang melibatkan rakyat selaku pihak yang diatur dan pemerintah selaku pihak yang mengatur, suatu hubungan substruktur dengan suprastruktur. Hubungan tersebut dipengaruhi oleh dinamika proses politik, dalam arti kekuasaan, dalam rangka mewujudkan keteraturan, ketertiban dan kesejahteraan. Pada saat yang sama, hubungan itu juga dipengaruhi oleh dinamika birokrasi pemerintahan, selaku motor penggerak fungsi-fungsi negara dalam arti yang luas.

Dalam negara demokrasi, rakyat terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam menentukan arah negara maupun kebijakan pemerintahan. Hal ini terlihat antara lain melalui proses pemilihan secara langsung, baik anggota legislatif maupun eksekutif. Bahkan pada kondisi tertentu rakyat dapat menumbangkan suatu rejim melalui delegitimasi kekuasaan penguasa, baik secara langsung maupun tidak langsung, mana kala rakyat merasa kedaulatan yang sudah mereka embankan kepada penguasa tidak berpihak kepada cita-cita bersama, terutama kepentingan rakyat selaku pemilik kedaulatan yang sesungguhnya.

Konsep bernegara yang telah diletakkan di atas dasar-dasar fundamental oleh pendahulu bangsa ini, setidaknya sampai saat ini masih tetap mengalami ujian yang berat. Tidak jarang setiap pergantian rejim kekuasaan, baik di pusat maupun di daerah, dimaknai sekaligus sebagai pergantian dinasti politik. Bahkan dalam tingkat yang lebih ekstrim dicirikan melalui brutalnya faktor primordialisme mengalahkan rasionalitas dan kompetensi, termasuk dalam mengangkat seseorang dalam suatu jabatan di pemerintahan.

Hal-hal yang bersifat primordial yang salah dikelola akan menjadikan fundamen negara bangsa yang telah menjadi dasar berdirinya negara ini, yakni konseptualisasi dan implementasi Pancasila, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika sungguh hanya akan menjadi hal yang memang benar-benar abstrak dan mimpi belaka. Empat pilar itu memang sedang dan masih saja dalam ujian yang tidak mudah.

Bagi para birokrat, keempat hal fundamental tersebut seharusnya telah mengkristal pada status dan perannya, serta terwujud dalam sikap dan tindakannya. Oleh karena itu, birokrat selain menjalankan peran sebagai katalisator pemerintahan, seharusnya juga berperan sebagai moderator, perekat kebangsaan, dengan dasar ideologis yang terinternalisasi secara personal dan terintegrasi secara teritorial.

Pertautan dari berbagai faktor khas karakteristik negara bangsa, dan potensi konflik tarik menarik kepentingan politik di satu sisi, menempatkan birokrasi dan para birokrat dalam wilayah yang dituntut harus netral. Haruskah memang PNS netral dan betulkah PNS sebenarnya netral pada praktiknya? Adakah yang sama sekali bebas dari keberpihakan dalam hidup ini?

Bahkan Yesus pun menjalankan peran politik dalam hidupnya. Dia berpihak kepada kaum yang lemah, tertindas, miskin, sakit, menderita dan tidak bahagia. Keberpihakan-Nya adalah dalam rangka memberdayakan mereka yang tidak berdaya.

Di India, bahkan Mahatma Ghandi berpihak kepada pribumi yang terjajah, baik secara ideologi, ekonomi maupun keyakinan. Keberpihakannya adalah dalam rangka memerdekakan mereka yang terjajah.

Bahkan Sukarno, tampil menantang imperialisme guna memihak rakyat yang tidak memiliki keyakinan diri dan ditindas dalam penjajahan.

Keberpihakan adalah suatu karunia. Ada hal yang transenden yang melatarbelakangi motif seseorang dalam memilih atau tidak memilih untuk melakukan sesuatu. Kehendak bebas yang melekat pada setiap individu, jelas akan mempengaruhi kesadaran dan tindakannya. Manusia tetap harus memilih, sadar atau tidak sadar, mau atau tidak mau.

Kemampuan untuk memihak yang baik adalah hasil sebuah perjuangan. Para PNS pun memiliki kehendak bebas dalam dirinya, bahkan terkadang mengambil alih kendali kesadarannya melampaui aturan bahkan sanksi secara formal yang berlaku untuknya.

Pada sisi yang lain, PNS sejatinya adalah integrasi yang utuh dari pribadi manusia fisik dan manusia ideologis, memiliki status dan peran formal, guna mewujudkan tujuan bernegara. Integrasi itu tidak akan terwujud secara otomatis tanpa suatu perjuangan. Kesadaran itu harus terus digali, diasah, dipelajari dan dihidupi, karena kebutuhan berubah seiring zaman.

Belajar bisa dari sekolah, dari pengalaman, dari lingkungan, dari keluarga dan dari segala hal. Tujuannya bukan saja agar menjadi cocok dengan zamannya, tetapi juga agar kritis terhadap situasi dan tantangan zaman.

Menjadi loyalis tidak berarti tanpa daya kritis. Abdi Negara dan Abdi Masyarakat harus mau belajar dan berjuang memperbaiki diri, sekalipun dalam jatuh-bangun yang tiada hentinya.

PNS dituntut netral dalam politik praktis, tetapi tetap memiliki hak konstitusi untuk menentukan pilihan pribadinya. Namun, dalam praktiknya, baik sebagai pribadi maupun dalam arti kelembagaan, birokrat dan birokrasi seringkali terseret dan terjebak dalam tarik-menarik kepentingan politik sesaat yang melahirkan oportunisme dan pragmatisme.

Pada situasi ini birokrat dan birokrasi malah menjadi tidak netral sama sekali dalam artian yang negatif. Ada yang malah terang-terangan berafiliasi baik sebagai pribadi maupun mengatasnamakan kelompok kepentingan tertentu, mendukung salah satu pihak dalam suatu proses pertarungan politik, semisal pada proses suksesi dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Birokrasi terjebak pada kesesatan berpikir dalam memaknai loyalitas.

Loyalitas yang terutama sebagai abdi negara dan abdi masyarakat bukan hanya secara struktural, tetapi kepada pilihan, panggilan dan keyakinannya, yang secara ideal tertuang di dalam Pancasila dan secara konstitusional di dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945, untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Kepada tujuan itulah loyalitas birokrasi yang sesungguhnya.

Birokrasi dan birokrat justru harus mengambil sikap politik yang berpihak agar tujuan negara bisa tercapai, yaitu birokrasi yang berpihak kepada rakyat yang membutuhkan perlindungan, tidak sejahtera, tidak cerdas dan tidak tertib, tentunya dalam rangka menghadirkan perlindungan, mewujudkan kesejahteraan, kecerdasan dan ketertiban kepada warga negara yang dilayaninya.

Ia menjadi ibu, pelayan dan hamba bagi semua warga, tanpa batasan suku, agama, ras dan golongan. Pemimpin datang silih berganti tetapi birokrasi harus tetap tegak mengabdi.

Mengutip pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Pengukuhan Pamong Praja Muda Lulusan STPDN Angkatan XIII di Lapangan Parade Kesatrian STPDN Jatinangor pada Agustus 2005; "Negara akan runtuh jika birokrasi runtuh".

Selamat menjadi birokrat yang bebas menentukan pilihan politik, sekaligus menjaga pendirian politik, sebagai abdi yang netral sekaligus berpihak secara bijak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun