Mohon tunggu...
Aven Jaman
Aven Jaman Mohon Tunggu... Administrasi - penulis

Menjadi Berarti

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bendera PDIP Dibakar demi Alihkan Isu Skandal Jiwasraya? Begini Analisanya

2 Juli 2020   16:44 Diperbarui: 2 Juli 2020   16:46 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latar kisah, saat Century pecah memenuhi ruang-ruang kasak-kusuk publik satu dasawarsa silam, video unyil ala Ariel sama Cut Tari dan Lunmay ikutan muncul. Century pun akhirnya kalah trending meski tetap menyisakan sejumlah tanya sampai kini akibat tayangan pemersatu bangsa itu lebih merebut perhatian publik. Catat! Duit Century yang lenyap itu tak sampai 10 T.

Kini, Jiwasraya digulirkan di pengadilan dengan dakwaan telah terjadi gagal bayar ke nasabah akibat konon katanya kongkalikong direksi 2008-2018. Lokalisir kasus ini mengundang keanehan mengingat fakta bahwa Jiwasaya sudah dapat cap disclaimer dari BPK pada 2007. 

Olengnya Jiwasraya sebelum 2008 justru hendak dicarikan solusinya oleh direksi 2008-2018 yang dijadikan terdakwa kini. Pemicu oleng Jiwasraya sebelum 2008 sama sekali tak disenggol-senggol. Catat! Duit yang diklaim menguap di Jiwasraya ini kurang lebih 12 T, katanya.

Nah, jika dibanding Century, Jiwasraya harusnya diberi perhatian lebih oleh publik mengingat kerugiannya yang sistemik sampai injak angka belasan triliun. Jadi, kita semua semestinya ramai-ramai beri perhatian pada kejanggalan drama di pengadilan yang tengah berlangsung saat ini atas kasus BUMN satu ini. 

Perhatian publik adalah momok menakutkan bagi mereka yang suka bermain di dalam gelap, di balik meja atau di belakang layar. Maka, menjadi kewajiban bagi mereka untuk mencari cara agar jangan sampai publik benar-benar beri perhatian pada kasus ini. Tapi bagaimana cara supaya publik teralihkan perhatiannya? Inilah yang coba saya jawab lewat analisa berikut. Simak tuntas!

Bendera PDI P Dibakar, Begini Pengakuan Haikal Hasan, Jubir PA 212

Hari Minggu 28 Juni 2020 kemarin benar-benar istimewa. Sebuah fakta akhirnya terungkap dari sumbernya langsung. Saya dan mungkin bahkan semua peserta yang lain pun sama-sama dibuat tercengang-cengang.

Betapa tidak, hal yang tak disangkakan sebelumnya terjadi juga. Benar-benar di luar dugaan.

Hal yang mencengangkan itu terjadi ketika berlangsungnya dialog virtual yang diselenggarakan oleh LSM IBSW pimpinan Nova Andika, ME. Adalah Haikal Hasan pelakunya.

Jika sebelum diskusi, saya sempat menduga akan ada momen "cakar-cakaran" antara Babe Haikal dan DR. Boni Hargens yang turut tampil sebagai narsum lainnya dalam diskusi yang dikemas dengan tema "Infodemic PDIP Identik PKI, Ulah Siapa? Imbas Polemik RUU HIP" itu. Namun ternyata, yang terjadi justru sebaliknya.

Boro-boro mendengar pernyataan yang provokatif dari Ustad Haikal, yang ada malah pernyataan yang bikin ayem. Iya, Babe Haikal yang tampil sebagai Jubir PA 212 dalam format diskusi 2 jam-an itu tampil sejuk, sangat bertolak belakang dengan gambaran yang didapat selama ini tentangnya.
 
"Saya itu sangat Pancasilais. Karenanya, saya tidak ingin ada ideologi import yang coba-coba gantikan ideologi kita ini. Ada dari China dengan pengaruh komunisnya, kita tolak. Ada dari Arab Saudi dengan Wahabinya kita tolak, dari Iran dengan Syiahnya, kita tolak, dari Suriah dengan ISISnya, kita tolak semua.
 Gambaran bahwa saya seolah-olah bagian dari antikebhinekaan, antidemokrasi itu kan hasil framing akun-akun yang memotong-motong pernyataan-pernyataan lengkap saya. Faktanya saya ini konsultan. Klien saya 80% adalah Chinese, Kristen"
, demikian Haikal berapi-api.

Lebih lanjut, sehubungan dengan tema pembakaran bendera PDIP, Haikal menegaskan bahwa itu ulah penyusup. Sebagai salah satu koordinator aksi, dia merasa sudah maksimal dalam persiapan aksi, namun yang namanya penyusup di tengah kerumunan orang sebanyak itu, dia sendiri tentu tidak mampu mencegah penyusupan.

Maka, sebagai akhir klarifikasinya, Haikal cuma bisa meminta maaf dan berniat untuk bersilaturahmi dengan PDIP. Perkataannya tersebut terang aja membuat semua peserta diskusi menjadi lega, malah DR Boni sampai menawarinya untuk ngopi-ngopi bareng.

Salah satu peserta dari Jogja bernama Indra Bhakti bahkan saking leganya, ikut sesumbar langsung ke Haikal, "Jika Ustad Haikal konsisten dengan pernyataannya, saya tawarkan diri jadi juru kampanye bila Ustad berniat nyaleg pada 2024 dari PDI P".  Asyik!

Lalu, Siapa dan Bekerja untuk Siapa Para Penyusup Itu?

Jika pernyataan Haikal Hasan ini benar bahwa ada penyusup dalam peserta aksi dan diidentifikasi sebagai pembakar bendera PDIP, lantas siapa atau mungkin tepatnya demi apa mereka menyusup? Guna menjawab pertanyaan ini, ada baiknya para pembaca membuka kanal yutub penulis pada konten berjudul, "#Fenomena Langka: Gerhana Matahari Cincin ketika Jokowi Ulang Tahun" ini mulai menit 02.45 dan seterusnya di mana di situ saya kemukakan 4 kelompok pembenci Jokowi yang otomatis pula jadi perusak NKRI. (Kalau berkenan, sempatkan pula untuk subscribe kanalnya, gaess... Hehehe.. )

Dari ke-4 kelompok tersebut, satu di antaranya saya sebutkan adalah barisan para koruptor yang akibat penerapan prinsip transparansi dalam pemerintahan Joko Widodo, mereka tidak bisa lagi leluasa menggarong. Karenanya, mereka berdaya upaya sedemikian rupa agar pemerintahan Joko Widodo jangan sampai bertahan lama.

Pada perhelatan pemilu 2019, mereka ada di kubu seberang karena berharap Jokowi terjegal untuk naik memerintah kedua kalinya. Pas ketika Jokowi akhirnya tetap keluar sebagai kampiun pemilu Presiden 2019, strategi berikutnyalah yang mereka kembangkan: tumbangkan Jokowi di tengah jalan.

Inilah jawaban mengapa negeri kita tidak pernah sepi dari berita akan aksi-aksi unjuk rasa hingga tindakan anarkis selama ini. Tak lama setelah Pilpres 2019 digelar, Papua  mereka buat bergolak jelang pelantikan Jokowi.

Menyusul setelahnya isu intoleransi pecah di Karimun dan Minahasa setelah ternyata Papua berangsur-angsur kembali bisa pulih. Kedua insiden ini pun berakhir hampa, tak terjadi apa yang diharapkan kreator isu.

Lalu tiba-tiba...dhuarrrr! Kasus Jiwasraya mencuat ke publik. Bermula dari pengumuman yang digelar BPK 9 Januari kemarin. Lalu tak lama berselang, pada 14 Januari 2020, kejaksaan menahan 5 tersangka kasus. Pelahan tapi pasti, pengembangan dari keterangan para tersangka inilah kemudian mengundang tanya di benak publik.

Ceritanya, kasus bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Enam terdakwa dituduh telah kongkalikong yang menyebabkan gagal bayarnya Jiwasraya kepada para nasabahnya.

Akan tetapi, sebagaimana berulang-ulang kali saya dan beberapa penulis lainnya ungkap ke publik bahwa berdasarkan investigasi Tempo Maret 2020 dan pengakuan salah satu terdakwa (Beny Tjokro), Jiwasraya sebetulnya sudah rusak sejak 2006 akibat repo terhadap saham milik Bakrie Group yang tidak ditebus-tebus juga.
 
Yang mengherankan kita, Bakrie sama sekali tak diusik. Oleh BPK dan Kejaksaan kasus Jiwasraya dipaksakan tetap digelar dengan melokalisir kasusnya hanya pada era 2008 ke sini saja. Fakta olengnya Jiwasraya pada sebelum 2008 sama sekali tak disinggung-singgung.

SEKARANG ANDA SEMUA PERLU MELIHAT dengan jeli! Khusus tahun ini isu PKI mulai digulirkan pada Maret, tepat ketika kejaksaan mengembangkan penyelidikan terhadap tersangka Jiwasraya yang sudah lebih dahulu diamankan pada Januari. Lalu pada Mei 2020, isu PKI ini makin massif, menemukan momentumnya pada persoalan RUU HIP.
 
Yang rancang RUU HIP adalah DPR. Di DPR, tak cuma fraksi PDI P yang terlibat menyusun. Kalau pun misalkan diusulkan oleh PDI P sekalipun, toh yang terlibat membahasnya kemudian menjadi RUU adalah semua fraksi, tak hanya PDI P. Namun, mengapa kemudian PDI P saja yang disalah-salahkan, diserang-serang habis-habisan dengan isu kebangkitan komunisme?

Saya termasuk orang yang tak mudah ditipu oleh adegan yang tertayang. Bagi saya, menganalisa sebuah akrobasi politik tak bisa dengan menghubung-hubungkan begitu saja fenomena yang tampak.

Menggali dan coba menemukan otak utama maupun motiv di balik apa yang tertayang adalah sebuah tuntutan di jiwa guna hadirkan sesuatu yang dekati kebenaran kepada pembaca. Syukur-syukur kalau yang dihadirkan adalah sebuah kebenaran faktual seperti ketika saya berhasil membongkar kebusukan niat Ratna Sarumpaet tahun lalu.

Demikian pun, pembakaran bendera PDIP bisa saja hanya kamuflase, sebuah trik penyamaran demi sembunyikan agenda kepentingan.

Lihat! Yang tertayang adalah PA 212 berunjuk rasa konon karena kepeduliannya kepada Pancasila. PA 212 selama ini sering dikonotasikan berintim ria dengan pengusung ideologi khilafah.
Sehingga, bisa mudah ada anggapan kalau aksi ini adalah aksi para pengusung khilafah. Kalau tidak jeli, publik bisa terjebak dalam kesimpulan tersebut.
 
Di atas kertas, PDI P adalah partai yang lagi berkuasa saat ini. Partainya kaum nasionalis-sekular ini adalah yang bersama partai nasionalis-religius plus golongan Gus Durian paling keukeuh menolak penerapan ideologi khilafah bagi segenap penjuru negeri.

Maka, hancurkan PDI P, bakal memuluskan agenda ganti ideologi. Kesimpulan seperti ini bisa saja benar.

Namun, demi melihat adanya isu lain yang tayang bareng dengan isu tersebut di hadapan publik, rasanya perlu pula menggali jangan sampai insiden bakar bendera PDIP hanyalah kamuflase atas agenda lain yang lebih mengancam kepentingan pemesan isu.

Saya di Sisi Para Nasabah, Tak Rela Kisah Ini Berakhir Seperti First Travel

Isu pencideraan Pancasila dan kemunculan kembali PKI khusus pada tahun ini terjadi tidak seperti biasanya. Kalau biasanya bulan Agustus hingga Oktober, tahun ini dimulai pada Maret dan mulai masif pada Mei. Bulan-bulan yang kalau disimak secara saksama adalah bulan-bulan yang penting sehubungan dengan perjalanan kasus Jiwasraya digeber di hadapan publik.

Jadi? Apakah pembakar bendera PDIP adalah orang-orang HTI atau pengusung khilafah? Saya meragukannya. Malah condong untuk menduga bahwa ini adalah framing guna mengaburkan proses di pengadilan terkait Jiwasraya.

Tujuannya? Jelas, agar publik jangan sampai terbetot perhatiannya ke sana dan sama-sama menemukan janggalnya proses ini dilangsungkan di Tipikor Jakpus. Maklum, gelaran sidang ini lebih mirip ke dagelan yang tak lucu namun memaksa kita untuk tertawa getir demi melihat letoynya OJK, begonya BPK dan bobroknya Kejaksaan.

Kenapa? Jelas ada fakta kerusakan Jiwasraya sebelum 2008, kok kasusnya dilokalisir dari 2008 ke sini saja oleh BPK? Kalau goreng-menggoreng saham gocapan adalah sebuah kejahatan pasar modal, kenapa OJK tak semprit ketika oleh direksi saham Jiwasraya hendak dimainkan dengan model skema ponzi demi menutupi lubang warisan direksi Jiwasraya sebelum 2008?

Eh, kini Kejaksaan memaksa perkara ini lanjut dengan maksud ada yang masuk bui sebagai tumbal terhadap penegakan keadilan yang semu. Tampak ada upaya menegakkan keadilan, namun yang didakwa bersalah pakai tebang pilih.

Itukah yang namanya pengadilan? BIG NO! Ini adalah akal-akalan supaya kasus ini berakhir begitu saja, ada kejahatan, ada pengadilan, ada yang masuk bui, lalu selesai?

Nurani macam apa yang dimiliki sampai buta melihat bahwa di sini nasib nasabah dipertaruhkan? First Travel memberi contoh. Begitu pelaku perusak tatanan keuangan anggota jamaah haji dalam biro perjalanan haji itu masuk bui, duit para calhaj pun menguap seketika.

Tidak! Jiwasraya tidak akan kami biarkan berakhir seperti itu. Duit nasabahnya mesti balik. Siapa yang membalikkan? Ya siapa saja yang bertanggung jawab di balik macetnya Jiwasraya sejak awal.

Jangan dilokalisir dari 2008 saja! Mau lindungi siapa nih, Boss? CATAT! Tak mau jujur dan adil dalam memroses para pelaku "perusakan" Jiwasraya, nasib kalian digantung di tangan para netijen julid negeri +62.

Sekarang, pilih jujur atau karir kalian para penegak keadilan di arena sidang itu ikut terbantai di ujung jari-jemari netijen hanya demi lindungi pelaku lain dari gagal bayarnya Jiwasraya?

Jawablah dalam heningnya doa dan tahajjudmu! Salam(*)

Catatan penulis: Artikel ini digubah dan diperkaya ulang atas artikel yang sudah pernah terbit di kanal ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun