Proses bisnis batik, sejatinya bukan sekedar menggoreskan canting ke selembar kain, membubuhkan paduan warna yang harmoni sehingga tercipta sebuah kain bermotif nan indah. Selama ini, batik banyak dibahas dari sisi asal muasalnya, keragaman motif, teknik batikan, pewarnaan, pelestarian, maupun pengembangannya sebagai komoditas industri.
Padahal, batik lebih dari apa yang terlihat. Sehelai kain batik mengajarkan kita tentang banyak hal. Batik adalah tentang keselarasan. Keselarasan warna, motif dan pola berulang, yang terjaga. Batik adalah tentang konsistensi. Konsistensi dan keuletan dalam menghasilkan karya terbaik. Batik juga mengajar-kan pentingnya mengedepankan kualitas.
Batik mengajarkan kita bahwa kualitas adalah kunci menggapai keunggulan. Artinya, kesuksesan tidak diraih dengan instan, tetapi dengan proses panjang dan perjuangan tanpa kenal lelah. Tidak ada jalan pintas dalam membatik. Untuk menghasilkan kain batik berkualitas, ada proses panjang, mulai dari ngemplong (mencuci kain mori), nyorek/mola (menjiplak atau membuat pola) mbathik (menorehkan malam batik ke kain mori), nembok (menutupi bagian-bagian yang tidak boleh terkena warna dasar).
Kemudian, ada step medel (pencelupan kain yang sudah dibatik ke cairan warna secara berulang-ulang), ngerok dan mbirah (ngerok kain secara hati-hati dengan menggunakan lempengan logam), kemudian mbironi (menutupi warna biru dan isen-isen pola), menyoga (mencelupkan kain ke dalam campuran warna cokelat dari soga), hingga nglorod (melepaskan seluruh malam/lilin dengan memasukkan kain yang sudah cukup tua warnanya ke dalam air mendidih, dibilas dengan air bersih, dan diangin-anginkan hingga kering).
Batik merupakan warisan budaya nusantara yang mempunyai nilai dan perpaduan seni yang tinggi, sarat dengan makna filosofis dan simbol yang mencerminkan cara berpikir masya-rakat pembuatnya. Batik adalah ekspresi budaya yang memiliki nilai estetika yang tinggi bagi masyarakat Indonesia.
Keunikan yang indah itu merupakan salah satu pembentuk karakter bangsa Indonesia yang membedakan kita dengan bangsa lain sehingga dapat menjadi identitas dan jati diri bangsa. Keberadaan batik sebagai identitas dan warisan budaya bangsa Indonesia semakin diakui sejak ditetapkannya batik sebagai world heritage oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009, sehingga Pemerintah Indonesia menetapkan tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional.
Saat ini koleksi batik semakin beragam, baik jenis bahan mapun coraknya. Ada yang bahan dasarnya katun, rayon, rami, sutra, bahkan serat alam. Demikian pula pemakaian dan modelnya juga tidak terbatas pada busana resmi seperti pakaian kerja, akan tetapi dalam skala kehidupan yang lebih luas, seperti busana casual, busana pesta, maupun busana sehari-hari.
Ragam batik di bumi Nusantara memiliki keunikan dan karakteristiknya masing-masing, sehingga semakin menambah pilihan pemakaian busana batik. Di Jawa Tengah, kita punya Batik Pekalongan, Solo, Pati, Semarangan, Wonogiren, Lasem, Banyumasan, dan di Klaten ada Batik Tembayat. Masing-masing motif memiliki ciri khas yang menjadi simbolisasi potensi daerah.
Warisan kearifan lokal ini tidak akan bertahan lama jika kaum muda kita tidak berupaya melestarikannya. Apalagi maraknya peredaran kain printing motif batik dengan harga relatif jauh lebih murah dan minimnya pengetahuan masyarakat untuk membeda-kan mana yang asli, membuat pasar produk batik tulis semakin terpojok. Atau juga, persoalan pasar yang minim bisa menjadi ancaman bagi para pembatik untuk pindah ke profesi lain. Ini juga menjadi ancaman bagi mememudarnya kearifan lokal. Lantas, apa yang harus dilakukan untuk melestarikan batik?
Masalah fundamental yang perlu dibenahi diawal adalah masalah pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang batik. Bila masyarakat paham benar, bagaimana nilai historis dan filosofis kain batik, serta paham bagaimana selembar kain batik itu dibuat, maka tentu pandangan mereka akan berubah. Setidaknya masyarakat akan lebih menghargai dan dapat membedakan kain batik asli dan printing.
Ramah Lingkungan
Bagaimana ibu-ibu di setiap sudut Kampung, di beranda rumahnya meniup cantingnya, menorehkan malam di kain dengan motif batik yang khas. Bahan-bahan alami pewarnaan batik juga cukup mahal. Jadi, keseluruhan biaya produksi batik pun cukup tinggi. Itulah sebabnya mengapa harga jual batik tulis tangan relatif lebih mahal.
Pelestarian batik sebagai kearifan lokal, harus disandingkan dengan tren pasar atau antusiasme masyarakat. Semua itu merupakan kearifan lokal Jawa Tengah yang adi luhung, yang harus terus kita lestarikan. Penghargaan masyarakat terhadap nilai kearifan lokal ini menjadi kunci penting dalam rangka mempertahankan budaya batik. Masyarakat yang memilih nilai daripada harga, produsen yang lebih menghargai para pengrajin, dan para pengrajin yang mau melakukan modifikasi atas motif-motifnya.
Keberadaan beberapa komunitas batik, asosiasi perbatikan, kita harapkan mampu menjadi salah satu pasukan pelestari batik, yang terus bergerak melakukan aksi agar batik semakin diminati dan dicintai semua kalangan. Pada skala yang lebih luas, pelestarian batik sebagai kearifan lokal ini, harus disandingkan dengan selera masyarakat. Kalau berbicara pengembangan batik di era ini adalah bicara kreativitas dan inovasi, bicara kualitas dan desain.Â
Disamping motif yang pakem seperti Sidomukti, Sekar Jagad, Wahyu Tumurun, Parang Kusuma, Batik Lasem, dll, harus ada desain batik yang inovatif, mengikuti perkembangan zaman. Sesekali perlu juga desain yang atraktif yang menyentuh selera anak muda. Namun demikian, seiring dengan pengembangan batik, satu hal yang harus menjadi perhatian besar kita adalah soal Unit Pengolahan Limbah (UPL) produksi batik. Hal ini harus dikelola secara baik agar tidak menimbulkan permasalahan lingkungan. Selamat Hari Batik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H