Sarat Pesan
Aneka rasa dan warna dapat berhamburan dalam geguritan. Geguritan membawa kita pada klimaks tapi juga bisa anti klimaks. Puisi berbahasa jawa itu serba ada serba bisa. Ada yang merasa tersindir, ada yang berasa tertahan, bisa membuat terkekeh-kekeh tapi juga bisa membikin orang mengurungkan senyum, bisa sensi tapi bisa sensasi, dll.
Menghadapi dan mengatasi pusaran covid-19 Â ini, kita mesti disiplin melakukan protokol kesehatan dan keamanan dari negara. Bermasker, bekerja di rumah atau menjaga jarak adalah bagian mencegah gusarnya covid-19. Kita perlu konsisten dan jangan sampai kita justru menjadi spoiler.
Kita mesti Tarik-ulur. Jangan selalu tegang, tak perlu sensi tinggi, apalagi selalu apriori atas semua aksi dan peran-peran semua pihak, tidak usah tak perlu menyalah-nyalahkan pemerintah, tak layak menuntut tinggi negara, tak usah ngedumal dan atau menggerutu. Tidak baik menjadi narsis. Kita berusaha sekuat tenaga dan berdoa tanpa jeda mengusir koloni pandemi.
Di saat-saat seperti itu, kita perlu menziarahi peristiwa, kita butuh kawan yang empatik yang menunda bahkan mengurai lara sedih melalui geguritan.
Pada tataran praksis, fenomena geguritan yang baik (hati) membuat kita lebih kreativ dalam menyuarakan opini, komentar, kritik maupun satire. Namun demikian, pada proses inovasi geguritan hingga kini masih penting atas pendampingan dari para guru, dosen, orang tua maupun influencer yang arif agar konten dan konteks geguritan terbebas dari unsur sara.
Karena, jika geguritan yang kita kreasikan kala memunggungi regulasi dan norma bisa berperkara hukum. UU ITE menjadi reminder yang memandu dan membantu. Edukasi soal geguritan, penting karena ada sajian, tayangan maupun tuntutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H