Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Desa dan Asupan Gizi Politik

7 September 2020   14:10 Diperbarui: 7 September 2020   14:30 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebentar lagi kita bakal menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak Tahun 2020. Perhelatan ini menjadi sukacita atau keriangan politik bagi seluruh masyarakat. Momentum coblosan pilkada nampaknya masih dalam musim perjuangan menghadapi dan mengatasi pandemi covid-19.

Tak kota tak desa selain masih perlu intervensi pemerintah berupa bantuan stimulan terdampak covid-19, keduanya juga masih butuh kucuran anggaran kesehatan, ekonomi, sosial, pendidikan, dll untuk keluar dari belenggu kemiskinan dan penggangguran juga kesenjangan. Menjelang pilkada tahun ini, nampaknya desa penting dipasok lebih banyak lagi soal gizi politik.

Gizi politik berupa pasokan aliran informasi yang utuh atas gelaran pemilu, praktik berdemokrasi yang sehat dan fair, hak dan kewajiban warga negara, di samping pentingnya keteladanan dari para politikus dan elit lain dalam menyikapi atas PR bangsa, bagaimana menjadi desa yang mandiri, dewasa dan mengakar.

Jika sekarang baru mulai memberi perhatian dan memikirkan tentang desa dengan segenap problemanya, itu tidak salah. Akan lebih merasa bersalah ketika seumur hidup kita tak pernah memberikan kontribusi konstruktif bagi pedesaan.

Tak keliru juga kala baru di tahun ini hadir bahkan berhamburan melakukan pendekatan dan merasa berkewajiban melunasi hutang politiknya kepada masyarakat desa. Seluruh pihak hadir melakukan inventarisasi poblem, mendiskusikan, brainstorming bersama menggali akar permasalahan desa.

Juga menawarkan alternatif pemecahan hingga memberi solusi meskipun bukan panasea (obat mujarab) tapi sedikitnya mampu mentransformasi sosiokultur warga : dari yang malas ke rajin, semula individu menjadi gotong royong dan dari berganting menjadi independen.

 Masyarakat yang awalnya konsumtif bergeser ke produktif maupun berangkat buta IT menjadi tidak gaptek bahkan jika bermula apatis menuju partisipatif. Juga yang sejak awal golput menjadi masyarakat yang sadar dan berpartisipasi penuh memberikan suara pada pesta demokrasi. Atau sekurangnya, warga dengan kerelaannya hadir dalam berbagai forum musyawarah desa, karena hal sederhana itu akan turut menentukan nasib masa depan mereka.

Memang, bantuan dana maupun fisik penting, tapi sekali lagi gizi politik juga tidak kalah penting untuk menghela desa keluar dari kecemasannya. Cemas melakukan kesalahan, takut mengekspresikan diri, maupun ragu-ragu dalam memberikan jawaban kepada publik atas kekurangan desa selama ini. Atau dalam konteks up date, yakni desa masih takut jika harus berperkara hukum ketika meng-SPJ-kan penggunanan dana desa karena kekurangpemahaman Kades dan perangkatnya.

Desa menjadi pangkal harapan pasokan gizi politik ini atas dua pertimbangan. Pertama, saat perumusan gizi politik bisa merujuk kepada kondisi eksisting desa hari ini meski tentu saja tak sama persis. Sejak zaman kolonial, kemerdekaan, reformasi, desa menjadi basis merumuskan peta politik perjuangan dan pembangunan sehingga desa sekarang pun tetap layak digelontor gizi politik yang tentu saja tak hanya berhenti menjelang atau menghadapi tahun politik.

Kedua, untuk mengantisipasi dan dalam rangka menaikkan angka partisipasi politik orang desa dalam pesta serentak demokrasi, maka aliran gizi politik ke titik titik pedesaan sudah seharusnya bukan menjadi komoditas mahal, harapannya jangkar moral politik pedesaan pun semakin matang dan tak rentan dijual belikan.

Untuk itu, tak kurang layaknya untuk merawat kondusifitas dan kesadaran politik masyarakat desa, dalam hal ini pemerintah desa maupun pemda perlu menerbitkan aturan-aturan baru yang mampu membangun kolaborasi dan kerukunan warga desa, sehingga nihil gejolak masyarakat.

Setiap peraturan harus dibicarakan terlebih dahulu dalam rapat bersama forum masyarakat sebelum diterbitkan. Karena, kebijakan apapun dapat secara signifikan memberikan pengaruh terhadap iklim event pilkada. Dengan demikian, setiap kebijakan bisa diarahkan kepada keberpihakan masyarakat, kepentingan warga, kemanfaatan desa.

Narasi Desa

Masyarakat harus dilibatkan dalam menentukan kebijakan yang akan berpengaruh ke banyak orang. Jangan sampai kajian yang dikeluarkan tidak diperhitungkan secara mendalam dan berdampak kekecewaan pada masyarakat.

Misalnya, untuk program bantuan pangan non tunai (BPNT), penyaluran dana desa maupun bantuan keuangan yang mengalir ke desa harus bisa dikeloa secara tansparan, akuntabel dan fair, termamsuk bantuan langsung covid-19 maupun sembako.

Hal ini untuk meminimalkan potensi gejolak/gesekan warga. Sehingga harus dipastikan apa yang sudah diprogramkan benar-benar tepat sasaran dan langsung menyentuh kepada ke kebutuhan masyarakat.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin pada Maret 2020 mencapai 9,78 persen. Jumlah ini meningkat 0,56 persen poin terhadap September 2019 dan meningkat 0,37 persen poin terhadap Maret 2019. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang, meningkat 1,63 juta orang terhadap September 2019 dan meningkat 1,28 juta orang terhadap Maret 2019.

Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan saat ini jumlah pengangguran di Indonesia sudah naik sekitar 3,7 juta orang akibat pandemi COVID-19. BPS mencatat total penganggur per Februari 2020 adalah 6,88 juta orang. Dengan tambahan ini jumlah penganggur Indonesia bisa menjadi sekitar 10,58 juta orang (tirto.id, 3/8/2020).

Angka-angka murung di atas menjadi tantangan bersama. Menghadapi situasi demikian, maka kemudian mengelola desa dengan dinamika politiknya yang unik, juga bisa menjadi mesin uang bagi warga desa sendiri, Pilklada bagi warga desa sebetulnya dapat menjadi surga bagi orang-orang kreatif. 

Sebut saja percetakan leaflet pilkada, pembuatan kaos kandidat maupun parpol, merancang baliho, spanduk maupun acara talkshow media, semua itu butuh imajinasi, kreasi dan inovasi yang harus berani keluar dari rutinitas dan produk tersebut dipastikan dijamin keunikannya dan punya nilai beda dengan dagangan produk lainnya. 

Di sini perlu narasi lokal tapi ber-impact politik besar bagi partisipasi politik warga desa. Nalar publik pedesaan akan bersaing dengan para bussinesman muda lain yang berasal dari kota untuk berebut sedikit berkah kue tahun pilkada. 

Apapun produk anak-anak desa di tahun maupun panggung politik ini harus berkorelasi secara seimbang antara das sollen dan das sein dengan peningkatan taraf hidup dan kualitas hidup orang desa di tengah perayaan politik kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun