Adakah yang kita kenang dengan Kota Blora? Blora punya sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer, Daerah ini juga memiliki kawasan hutan jati yang dikenal dengan Randublatung, Kabupaten ini pun menyimpan kelompok masyarakat yang fenomenal, yakni Samin. Blora menggenggam pula kesenian Barongan dan Tayub. Lagi-lagi, Blora itu kaya, di sana ada keraton Jipang.
Blora juga sarat dengan tambang atau sumur minyak yang bernilai fantastik. Dan, tatkala baru-baru ini semburan lumpur Blora menjulur, tak sedikit cerah dan kusut menjelma. Semburan lumpur Blora berasa membawa kecerahan, karena peristiwa ini mampu mendorong beberapa kampus, ilmuwan dan kelompok-kelompok studi berdatangan melakukan riset dan harapannya mampu memberi rekomendasi konstruktif sehingga tak berulang kejadian melelahkan itu.
Bagi sebagian warga, semburan ini juga menjadi area destinasi wisata baru meski instan. Karena peristiwa ini tak pernah terjadi sebelumnya, dan tak pernah terpikirkan bahkan terprediksikan oleh siapapun.
Kemudian, peristiwa ini pun bisa menjadi lahan ekonomi baru bagi warga sekitar dengan melayani para pengunjung kawasan terdampak ini dalam pengambilan gambar, menyediakan warung makan maupun minum, lahan parkir, memasarkan cindera mata lokal berbahan baku lumpur atau tanah semburan, misalnya menjadi komoditas yang bernilai ekonomi.
Semburan ini membawa anak muda  atau kaum milenial mendokumentasikan kejadian unik itu ke dalam video, vlog, film maupun kisah inspiratif untuk disebarkan melalu media sosialnya (Instagram, twiter, face book, line, dll). Peristiwa ini pun menyulut kaum muda tak gagap IT dan belajar sharing dengan dunia.
Sekurangnya lewat reportase sederhana atau climen. Di sini kita optimis, peristiwa ini medorong kelahiran penulis baru (debutan), seperti halnya para penulis yang membuat riang kolom topik pilihan di Kompasiana lewat topik pilihan,"Semburan Lumpur Blora."
Hal lain yang cukup menyejukkan, kala kasus semburan lumpur ini menyeka kita untuk semakin kencang mengibarkan bendera kemanusiaan, membantu warga terdampak dan memulihkan infrastruktur maupun budaya infrastruktur yang ada, misalnya.
Meski semburan lumpur panas di Blora ini menurut hemat beberapa pihak dinyatakan bukan ulah manusia tapi karena karena faktor alam, yakni saratnya kandungan mineral. Bleduk Kuwu di Grobogan membuat peristiwa serupa yang mendahuluinya pada tahun 2013 silam.
Di luar itu, tentu semburan lumpur Blora ini juga membawa kekusutan tersendiri bagi lahan pertanian yang terkubur lumpur, tak sedikit hewan ternak hilang, mati bahkan tak ditemukan, beberapa tempat usaha dan apasar pun terimbas rusak oleh panas lumpur, bahkan beberapa unit rumah maupun permukiman yang terganggu akibat lumpur yang acap membuat asa terkubur, tentu saja beberapa sarana prasarana atau infrastruktur menjadi tak memadai dan tentunya butuh anggaran untuk recovery ekonomi.Â
Suka tak suka, semburan lumpur Blora memaksa pemerintah supra desa hingga level desa harus merogok kocek untuk membangun kembali Blora yang beberapa titik atau desa mengalami disrupsi lumpur. Semua pihak harus menyadari dan punya kesadaran tinggi jika dampak semburan itu tak pernah mengubah apapun jika tak dilakukan gotong royong.
Maka kemudian, upaya-upaya kebersamaan, keguyuban, keroyokan konstruktif dan kolektif menjadi amunisi baru pula bagi perbaikan dan pemulihan, sekurangnya membantu pemerintah dalam mengalokasikan anggaran belanjanya, apalagi sekarang ini pemerintah telah, sedang dan akan terus berjuang bersama rakyat menghadapi dan mengatasi pandemi.
Pada situasi kuyu atas semburan lumpur Blora mengingatkan kita pada peristiwa semburan lumpur Lapoindo di Jatim beberapa tahun berlalu. Jika Lapindo menurut kesimpulan beberapa kajian terjadi atas faktor alam, maka lumpur Blora ini pun lebih dipengaruhi faktor alam (juga).
Untuk itu, peristiwa semburan lumpur yang terjadi di beberapa wilayah sebelumnya dan Blora ini semoga menjadi aktivitas semburan yang terakhir di negeri ini. Peristiwa yang mengayunkan kemuraman ini semestinya juga menjadi momentum kita bersama untuk selalu memberi perhatian kepada alam, mencintai lingkungan dan selalu mengasah kepekaan pada warga sekitar atau terdekat.
Keterpanggilan
Kita mendorong dan menggerakkan, sumburan lumpur panas Blora ini sekurangnya semakin merekatkan dan menggemukkan "pager mangkok," yang jauh lebih bernyawa ketimbang, "pager tembok."
Yang perlu kita pahami, semburan lumpur seperti di Blora ini hendaknya membuat kita semua lebih waspada dan menggiatkan sistem keamanan lingkungan (siskamling). Kita tak ingin peristiwa itu terulang dan tak kita harapkan terbit lagi tangisan, sedu-sedan, apalagi saling menyalahkan.
Maka, kita harus memahami dan membiasakan diri dengan tatanan hidup baru (new normal), agar bisa berdamai dengan Covid-19 maupun pasca semburan lumpur Blora ini. Bukan berarti virusnya menang dan kita pasrah. Atau bukan berarti kita tak melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan selepas lumpur Blora menyembur.
Yang pasti, kita harus berubah, beradaptasi hidup normal tapi dengan standar anti covid dan bebas dari kebencanaan lain, termasuk semburan lumpur. Karena kita semua harus tetap beraktivitas. Petani, guru, pedagang, insinyur, tukang, ojek, penjahit, perawat dan dokter, dll harus bekerja. Siswa harus belajar. Maka dibutuhkan adaptasi dengan meningkatkan standar kualitas hidup.
Kepada asosiasi perantau Blora di mana pun berada, kini Blora memanggil, Blora butuh sentuhan invisible hands untuk bangun dan bangkit dari duka. Juga upaya merawat alam, mengantisipasi bumi dan menghelat semangat.
Kini, bolehlah kita membaca novelnya Pramoedya, "Cerita dari Blora," tapi jangan pernah lupakan Blora. Inilah keterpanggilan kita, Pertiwi memanggil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H